Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38th Day


Keputusasaan dalam pencarian, atau tikaman pisau setelah menemukan, bukanlah hal yang ingin kau pilih. Namun, tak ayal harus kau hadapi.

📷📷📷

Pernahkah kamu berada di posisi bingung hendak bereaksi seperti apa, bahkan pada cicak di plafon yang kehilangan keseimbangan lalu jatuh ke selimutmu yang terbentang? Seperti inilah Adis sekarang. Dia hanya diam, ketika cicak itu cepat-cepat menyingkir dari atas kain yang menyelimutinya. Dia tidak bergerak sama sekali, seolah kehabisan akal bahkan untuk merasakan semburan AC yang terlalu dingin.

Mata Adis mengikuti perginya sang cicak. Hatinya tersenyum miris. Cicak itu datang terlambat, jika memang mitos kejatuhan cicak akan mendatangkan kabar tak mengenakkan itu benar. Sebab lebih dari seratus menit lalu, Adis sudah mendapatkannya.

Atau ... memang akan ada satu hal buruk lagi? Entahlah, Adis bukan orang yang mempercayai mitos seperti itu. Dia hanya tahu, bahwa kini ... seluruh tubuhnya terasa terpisah satu sama lain. Hingga ia merasa tidak utuh, tidak lengkap, cacat. Namun, semua sakit pada masing-masing bagian sukses mendonasikan rasa sakit yang tidak bisa ditolaknya.

"Yang aku lihat tadi, bukan Kak Jati yang kukenal, Bang. Sebenernya ada apa?"

Kalimat yang ternyata pemicu meledaknya sebuah bom itu kembali menggema di kepala. Disusul dengan pemutaran film yang rasanya ingin dia tinggal tidur saja, seperti saat menonton serial Marvel bersama Juna di bioskop. Namun, tidak bisa. Suara-suara yang membawa kabar tak terduga itu kembali menelisik kepalanya, meski sepasang mata mencoba memejam kuat. Kini, Adis hanya pasrah, membiarkan bayangan itu kembali menajam di pikiran. Pada saat-saat sebelum ruang keluarga yang sejak tiga bulan lalu selalu dia rindukan, berubah menjadi tempat yang ingin dia lupakan.

"Bang, jangan diem aja. Aku tahu ada hal yang nggak aku ketahui di antara kalian. Please, jangan bikin aku jadi orang bodoh, yang sebulan lalu benci setengah mati sama Kak Jati dan sekarang harus bingung lagi sama apa yang terjadi di depan mataku sendiri."

Adis menggeram frustrasi, saat Bas masih saja menunduk memegang kompres yang dia tempelkan ke sudut bibir. Sofa yang didudukinya terasa panas, meski di tempat itu hanya ada mereka berdua dan AC jelas menyala.

Lama, mereka diam. Adis menghentikan serbuan tanya yang masih ingin dia lontarkan. Punggungnya menyandar, memjamkan mata dan mencoba tidak memperhatikan bungkamnya Bas yang duduk sembilan puluh derajat darinya.

Tentu saja, rasa pusing masih melingkupi kepala Adis. Sesekali ulu hatinya terasa nyeri. Kondisi kesehatannya tentu saja belum cukup baik, tetapi Adis menolak untuk langsung beristirahat, membuat Adis memaksakan kelopak matanya akhirnya menurut untuk bicara berdua. Yah, walaupun sedari tadi yang terjadi hanya dialog satu arah saja.

Gadis itu memijat pangkal hidung, ketika untuk pertama kalinya Bas mau bersuara. Sebuah kalimat singkat yang membuat jantung Adis seolah jatuh ke perut, lalu berdetak kencang di sana hingga ia merasa mual.

Namun, Adis masih berharap pendengarannya salah, hingga ia memutuskan untuk mengklarifikasi. "Bilang kalau aku salah dengar." Tatapannya tertuju pada Bas, yang kini turut menatapnya penuh ... rasa bersalah? Entah, Adis tak mengerti apa yang ada di kepala kakaknya itu.

Bas menatap Adis lamat-lamat, lalu sebuah gelengan menjadi jawaban yang dia minta. "You don't. Ajeng memang mantan istri Radit ...."

"Yang selama menikah dengan Kak Radit, justru menjadikan Abang sebagai satu-satunya orang yang dia cintai?" Adis memotong cepat. Tidak lagi dapat dideskripsikan bagaimana kondisi hatinya saat ini. Apa yang dia rasakan sekarang? Marah? Akan tetapi, pada siapa? Pada cinta dua orang yang menghancurkan Radit? Atau pada dirinya sendiri yang berbagi darah yang sama dengan orang itu?

Namun, di antara air mata yang mulai meleleh, Adis merasa malu. Kilasan cerita tentang Radit yang dipaparkan Jati kembali terputar di kepalanya. Betapa pria itu sudah terlampau terluka bahkan sejak usianya masih bisa dihabiskan untuk mewarnai masa-masa SMA-nya. Dan setelah mendapatkan orang-orang yang dengan bangga dia ceritakan kepada adiknya, Radit harus kembali terluka.

"Apa pun yang sedang lo pikirkan, jangan salahkan Ajeng. Sejak awal semua ini memang sudah berat buat dia."

Adis tidak menjawab. Kedua telapak tangannya telungkup menutup wajah. Dia menangis. Lalu, sebuah rengkuhan hangat menyambutnya, diikuti bisikan halus yang kemudian terdengar.

"Ini salah Abang, Dis. Marah ke Abang aja, jangan orang lain." Jeda sebentar sebelum Bas kembali berucap, "Keluarga Ajeng dan standar sosial yang mereka anut nuntut dia buat segera menikah, Dis. Kami saling tahu bahwa kami memiliki perasaan yang sama, meski orang lain sama sekali nggak ngerti. Tapi waktu itu Abang nggak bisa janji bakal nikahin dia di waktu dekat. Dan ... Radit, teman kami juga, memiliki niat dan perasaan yang bisa menjanjikan Ajeng sebuah pernikahan. Mereka menikah."

Mendengar hal itu, Adis mendorong Bas, membuat pelukannya terlepas. Lalu, tatapan terlukanya beradu pada raut pias Bas. "Itu yang buat aku secara tiba-tiba harus kehilangan Kak Radit? Karena Abang nggak mau hidup tersiksa melihat mereka bersama? Abang egois!" Mata Adis menyalak marah. "Aku marah sama Yogyakarta yang udah bikin Abang sama Kak Radit temenan. Karena kehadiran Abang di hidup Kak Radit adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi!"

Adis menyusut sudut mata, sedang giginya sibuk menggigit bibir bagian dalam untuk mencegah lolosnya isakan.

Kalimat itu adalah kalimat terakhir, sebelum akhirnya gadis itu berdiam diri di kamar ini. Hanya membiarkan pintu kamarnya terbuka saat Ayah dan Ibu yang mengetuk.

Sebenarnya, agenda melepas rindu macam apa yang justru membuatnya ingin tertidur selama yang dia bisa?

Sungguh, Adis tidak habis pikir dengan semua ini. Ajeng juga teman Radit? Hah! Dia bahkan baru tahu fakta itu sekarang. Yang tidak bisa dia bayangkan lagi adalah bagaimana perasaan Jati, yang sudah jelas sangat berterima kasih kepada Bas, tetapi justru harus dikecewakan sedemikian besar.

Ingatan Adis melayang pada hari saat Jati mulai menjauhinya. Tepatnya, pada kejadian saat mereka melihat-lihat foto di ponsel Adis bersama Eyang. Kini, dia menerka satu hal. Bahwa di antara foto Ribbi, ada satu figur yang mereka kenali. Siapa lagi kalau bukan Ajeng?

Kepala Adis pening. Sungguh, dia tidak mengerti harus bereaksi seperti apa. Kini, yang dia lakukan adalah menyibak selimut dan beranjak turun. Matanya tertuju pada gorden yang tertutup. Sungguh, dia merindukan Radit.

Adis menghampiri lemari, menyambar kardigan tebal yang bisa memeluk tubuhnya yang kedinginan. Tanpa menyambar apa pun—bahkan ponsel—Adis menghampiri pintu kamar. Diputarnya kenop itu agar dia bisa bebas dari ruangan yang semakin lama semakin terasa sempit ini.

Dengan mata sembab, Adis berjalan ke ruang tamu. Dia butuh udara segar, sekadar dengan berkeliling kompleks dan mengingat kembali kehadiran Radit di sana. Kalau diam saja di kamar, dia yakin sebentar lagi kepalanya akan pecah.

Hanya butuh sepersekian detik untuk membuka kenop pintu yang akan membawanya keluar dari rumah ini, tetapi sepersekian detik sisanya membuat Adis mengurungkan gerakan. Suara samar yang amat dia kenallah yang menghentikan niatnya.

"Maaf. Mbak tahu, Mbak jahat sejak memutuskan back street dengan Bas padahal tahu betul kalau Radit juga menyukai Mbak." Suara itu terdengar remang, terhalang pintu dan dinding yang menjulang kokoh. Namun, Adis tahu betul bahwa Ajeng-lah yang berbicara. Akan tetapi, dengan siapa?

"Dan memanfaatkan pria malang ...."

"Dia tidak malang."

Suara dingin itu menjawab pertanyaan Adis. Suara penuh amarah itu milik Jati, yang tidak Adis tahu sejak kapan sudah di sini.

"Iya, maaf. Maksud Mbak ...."

"Bisa tolong ganti sapaan itu? Saya tidak pernah ingat sudah memiliki Kakak perempuan."

Adis menggigit bibir. Suara itu teramat tajam. Yang mana Adis mungkin tidak akan sanggup menghadapinya.

Diam lama, sebelum suara Ajeng kembali terdengar. "Oke, maaf. Saya minta maaf, sudah memanfaatkan Radit. Saya kira, seiring waktu saya juga akan mencintai dia. Tapi nyatanya enggak."

"Apa Anda mau bilang kalau Kak Radit tidak cukup pantas dicintai?"

Lagi, jantung Adis terasa seperti diremas. Jati jelas terluka, amat sangat terluka.

"Bukan begitu. Sepenuhnya ini salah saya, Jati. Karena selama dua tahun pernikahan kami, saya tidak pernah sedetik pun melupakan Bas." Mungkin, saat ini Ajeng sedang menangis, jika dinilai dari suaranya yang bergetar. "Namun, jangan juga salahkan Bas. Dia juga bukan orang yang bahagia atas semua ini. Bahkan mungkin sejak awal dialah yang paling terluka."

"Karena dia tidak mampu memiliki Anda? Itu salahnya sendiri, kenapa harus merasa jadi yang paling tersakiti?"

Suara itu tenang, menusuk. Sama seperti kritik-kritiknya yang biasa Adis dengar. Namun, kali ini disertai kemarahan dan Adis yakin ... juga rasa sakit.

Adis masih mematung di depan pintu. Meski sudah cukup paham tentang kisah yang mereka bicarakan, tetapi Adis enggan menjauh.

"Bukan begitu. Kamu perlu tahu yang sebenarnya."

"Memang untuk itu saya di sini. Datang dari Yogyakarta dan menuruti kemauan Eyang untuk tidak membenci tanpa tahu pasti, sebab wanita sepuh itu tidak ingin cucunya menyimpan dendam tak pasti. Padahal, saya jauh lebih memilih membenci Anda saja dibanding harus bertemu dan mendengarkan hal keji lainnya."

Adis mematung. Jadi, untuk ini Jati mengantarnya? Karena Eyang dan bukan dirinya. Entah mengapa, hati Adis terasa remuk. Apakah kini Jati secara resmi membencinya juga?

"Maaf, Jati. Tapi yang perlu kamu tahu, mereka adalah dua pria dengan kasih sayang amat besar." Jeda sebentar. "Bas bisa saja menikahi saya, tetapi dia masih memiliki harapan agar Radit saja yang melakukannya. Pertama, karena dia tahu betapa Radit tidak pernah main-main atas cintanya."

"Dan cinta yang tidak main-main itu sudah Anda rusak begitu saja."

Hela napas terdengar. Mungkin, saat ini Ajeng sedang menggigit bibirnya menahan isakan.

"Ya, saya melakukannya. Saya juga merusak harapan Bas. Namun, sekali lagi, Bas tidak sekali pun salah. Dia melakukan ini juga karena ada hutang besar yang harus dia lunasi." Adis mengerjap bingung. Hutang apa? Bagian ini belum pernah ia dengar sebelumnya. "Radit memberitahumu tentang operasi translpantasi hatinya untuk Adis?"

Seketika itu juga, tubuh Adis menegang. Mengapa perkara ini turut dibicarakan? Apa hubungannya?

"Saya ... tidak pernah mendengarnya." Suara Jati tidak lagi terlampau dingin. Ada emosi lain yang menyusup. Perasaan bingung, mungkin?

Dan setelah suara itu terusaikan, tanya Adis terjawab. Gadis itu tak kuasa menahan genangan air mata yang mulai merambat turun.

"Gadis itu sudah sejak lama mengalami kegagalan fungsi hati. Dan saran untuk operasi tidak pernah terlaksana, sebab tidak satu pun dari Bas atau ayah dan ibunya yang memenuhi kriteria. Sementara keluarganya yang lain mungkin terlalu takut untuk menjalani operasi sebesar itu. Dan Radit-lah orangnya, yang mengajukan diri untuk menjadi pendonor."

Adis tertegun. Tanpa sadar, dia meraba tepat ke bawah tulang rusuk kanan, di mana hatinya berada. Dia jelas tahu kalau sebagian hati Radit-lah yang tumbuh di sana. Namun .... Kaki Adis melemas. Apakah ini yang menjadi alasan Bas mundur dan berakhir dengan petaka yang lebih besar?

"Dan saya adalah pihak yang membuat keputusan Bas harus segera diambil. Saat saya harus segera menikah, dia tahu Radit masih mencintai saya. Lalu, dia meminta Radit melakukannya, menikahi saya. Karena pria itu tidak pernah mau melihat Radit terluka. Hingga sekali lagi saya katakan, saya-lah yang  menghancurkan harapannya."

Adis berpegangan erat pada kenop di genggaman, membuat besi itu berputar kala tubuhnya hendak meluruh ke lantai.

"Saya tidak bermaksud memojokkan Radit dan membela Bas. Tapi satu hal yang pasti, Bas juga terluka. Dia meminta kami menyembunyikan pernikahan dari Adis dengan dalih tidak mau Adis terluka. Namun, yang sebenarnya adalah, karena dia sendiri tidak mampu hidup berdampingan dengan kenyataan bahwa saya dan Radit sudah bersama."

Semuanya terlalu memusingkan. Dan untuk kali ini saja, Adis setuju pada Jati. Bahwa sebaiknya dia tidak tahu saja. Sebaiknya dia menjadi bodoh saja. Namun, Adis tahu itu tidak adil, egois. Sebab baginya, dia memang pantas menerima hal semenyakitkan ini setelah menjadi sebab kesakitan Radit, Bas, Ajeng, dan ... Jati yang harus kehilangan kakaknya.

Adis pening, pusing. Dia ingin tidur untuk waktu yang lama dan berharap kala bangun semua ini hanya mimpi belaka.


Hm ... bingung mau bilang apa :v

Eheheh. Tebakanmu bener kalau kondisi kayak gini bakalan ada?

Huhu, so sorryyy kalau seterbaca itu :(
Semoga kamu tetep enjoy. Ehehe

Kritik saran, pesan kesan, bisa drop sini. 🤭

See ya!

First Publish: March 26th, 2021.
Revision: March 9th, 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro