36th Day
Apa yang lebih menyakitkan dari perasaan bahwa kau tidak pantas menerima segala uluran yang nyata di depan mata?
📷📷📷
Nyeri samar yang menjalar dari pergelangan tangan membuat Adis mengernyit. Kelopak mata yang menghalangi masuknya cahaya ke netra segera terbuka, membuat pantulan plafon asing di atasnya tertangkap mata. Bau antiseptik khas rumah sakit segera menusuk hidungnya dengan tajam, membuat gadis itu hendak menoleh, tetapi urung ketika rasa pening segera menghinggapi.
"Sudah baikan, Mbak?"
Suara dari samping membuat Adis kembali menoleh. Lirih, dia menjawab, "Pusing."
Perempuan berjas putih itu tersenyum. "Maaf, ya, ganggu tidurnya. Baru disuntik antibiotik."
Ah, ternyata suntik yang terkenal menyakitkan itu yang membuatnya terbangun tadi. Kini, Adis sudah bisa menangkap informasi bahwa ibu kos memang membawanya ke rumah sakit. Namun, hal yang terakhir yang dia ingat adalah ketika dia memasuki mobil. Selain itu, tidak ada. Lalu, bagaimana Adis bisa sampai di ranjang rumah sakit yang dikelilingi tirai hijau yang membatasinya dengan ranjang pasien lain ini?
Belum sempat berspekulasi, tirai yang tertutup disingkap dari luar, menampilkan sosok pria berkulit pucat dengan rambut yang disisir ke kanan, seperti biasanya. Pandangan mereka bertemu, tetapi segera terputus saat sang pria beralih menatap ke kiri di mana dokter berdiri.
"Hemoglobinnya rendah, mbaknya sepertinya juga kurang tidur dan pola makannya ndak terjaga, jadi perutnya kram dan nyeri ulu hati. Dari hasil lab, gejala tifus ringan juga, Mas."
Adis turut menyimak kalimat dokter yang ditujukan kepada Jati, dengan sesekali memejamkan mata saat pening di kepalanya kembali terasa.
"Baik, Dokter, terima kasih."
"Sama-sama, ya, Mas. Dijaga pacarnya, diingatkan juga kalau kesehatan tetap yang utama."
Mendengar kalimat itu, Adis mengalihkan tatapan ke arah Jati, langsung bertemu dengan mata pria itu yang juga jatuh ke arahnya. Kecanggungan segera menyelinap, membuat Adis cepat-cepat membuang muka dan mencegah kepalanya memikirkan apa yang dirasakan Jati untuknya saat ini.
Untungnya, dokter kembali bersuara dan sedikit melonggarkan mereka dari kecanggungan yang melingkupi. "Malam ini nginap dulu, ya, Mbak. Besok kalau sudah suntik antibiotik kedua dan demamnya agak turun, bisa pulang, kok," kata wanita itu yang dibalas Adis dengan anggukan dan senyum tipis.
Bersamaan dengan tersampaikannya pesan itu, dokter bergerak meninggalkan Adis, yang artinya membiarkan hanya Adis dan Jati yang ada di bilik kamar itu.
Adis hanya diam, satu sisi karena tidak tahu hendak berbicara apa, sisi lainnya karena sibuk merasakan berbagai hal tidak menyenangkan yang kini menggerayangi tubuhnya. Gadis itu menarik selimut hingga sebatas leher, sama sekali tidak menjatuhkan tatap pada Jati. Namun, sudut matanya dapat melihat dengan jelas ketika pria itu bergerak untuk mendudukkan diri di kursi yang ada di samping ranjang Adis.
Sejenak, tidak lagi ada suara setelah derit kecil yang tercipta saat Jati mendudukkan diri. Namun, hal itu langsung sirna saat dehaman kecil muncul dari mulut sang pria, membuat telinga Adis aktif, tetapi tidak juga mau menggerakkan kepalanya untuk sekadar mencari tahu isyarat apa dehaman itu.
"Butuh sesuatu?"
Adis terkesiap. Rasanya sudah lama sejak pria itu bicara dalam konteks pribadi dengannya. Maka, yang dilakukan Adis adalah menatap Jati yang entah kenapa seperti memberikan tatapan ragu dan juga ... khawatir? Entahlah. Adis tidak mau berharap untuk hal yang kedua.
Sebelum menjawab, Adis melarikan mata ke nakas. "Nggak perlu," begitu katanya, sambil bergerak pelan untuk menggapai gelas yang ada di sana.
Meski sedikit bergetar dan masih dengan efek kesemutan, dia mengulurkan tangan dan mengangkat gelas itu. Tanpa diduga, tangannya dicekal. Jati mengambil alih kegiatan Adis, membuatnya segera menatap pria itu. Dari jarak yang amat dekat, harum kayu manis segera menyelinap ke hidung Adis, menciptakan sedikit sesak yang membuatnya ingin menangis. Diam-diam, Adis merutuki jiwa melankolis yang selalu aktif saat kondisi kesehatannya buruk.
"Cukup bilang tolong saja, bisa?" tanya Jati membalas tatapan Adis. Tanpa banyak bicara, Adis melepaskan tangannya dari gelas dan kembali pada posisi semula, tetapi kini memilih bersandar. Namun, lagi-lagi Jati mengambil alih tugasnya yang hendak menjadikan bantal sebagai sandaran.
Adis hanya diam, menerima saja perlakuan Jati. Juga ketika pria itu menyodorkan segelas air. "Ibu kos kamu yang meminta saya untuk datang, sekarang beliau sudah pulang," ujar Jati sambil meletakkan gelas ke atas nakas.
"Maaf, ngerepotin."
Helaan napas terdengar, dan bukannya membalas dua kata itu, Jati melontarkan kalimat lain. "Minta tolong apa pun kalau kamu butuh sesuatu."
Di tempatnya, kekehan ringan lolos dari bibir Adis. "Butuh penjelasan, bisa minta tolong juga?" Gadis itu tidak melepaskan matanya dari Jati, untuk mendapati sorot redup dari pria berkulit putih itu.
"Adisa ...."
"Iya, tahu, kok, Kak. Terbaik buat saya, kan? Buat kita?" jeda sebentar, dengan senyum sinis yang mengiringi, "Memang semua orang selalu tahu yang terbaik buat saya, nggak kayak saya yang nggak tahu apa-apa."
Senyum miris lagi-lagi terukir dan kali ini Adis sudah mengalihkan atensi dari Jati, mencoba tidak peduli dengan reaksi yang akan dia berikan. Rasanya, Adis sangat lelah. Perasaan yang bercampur aduk seolah mencapai puncaknya saat ini, menjadi satu dengan sakit fisik yang sedang memeluknya. Ingin rasanya meminta pria itu pergi saja. Namun, akan dengan siapa dia di rumah sakit?
Keheningan yang mencekam itu segera terpecah, saat dering panjang terdengar. Adis memasang telinga, mengenali lirik-lirik Flying Without Wings yang merupakan lagu kesukaan Radit dan dirinya, sekaligus lagu yang menjadi nada dering telepon miliknya.
Adis menoleh ke arah nakas, tetapi yang dia cari justru diulurkan oleh Jati. Ponselnya kini berada di depan mata, di atas tangan terbuka pria itu.
"Teman kosmu yang memberikan ponsel kamu ke saya, sekaligus beberapa baju yang sudah ditata ibu kos ke dalam tas," Jati menjelaskan tanpa diminta. Sedang Adis hanya mengangguk singkat, lalu meraih ponselnya.
Tanpa pikir panjang, digesernya layar ponsel untuk menerima panggilan, membuat algoritma counting durasi telepon segera berjalan dengan nama Mbak Ajeng di atasnya. Segera, suara kakak iparnya itu terdengar.
"Assalamualaikum, Dis. Kok belum ngabarin? Ini udah hampir magrib, loh. Katanya selesai habis zuhur? Masih ada kegiatan? Kamu nggak apa-apa, kan, tapi?"
Serentetan kalimat langsung menyerbunya, bahkan sebelum Adis menjawab barang satu tanya yang ada. Adis menghela napas, merasakan panas di matanya. Sudah tahu, kan, kalau sisi melankolis Adis sangat aktif saat dia sakit?
"Mbak, aku di rumah sakit," ujarnya lirih. Kalimat singkat itu langsung ditanggapi Mbak Ajeng dengan pertanyaan yang sarat kekhawatiran. Setelah mengetahui kondisi singkat Adis, wanita itu menutup telepon, berkata akan menghubungi Bas dan meminta pria itu menelepon Adis.
Meski sudah sebulan lebih berlalu, Adis belum kembali seperti sedia kala. Interaksinya dengan Bas memang kian membaik, tetapi untuk bersikap manja kepada pria itu ... Adis masih berpikir puluhan kali untuk melakukannya. Sebab, bukankah sikap itu yang membuat Bas menyembunyikan segala hal tentang Jati darinya? Namun, kali ini Adis membiarkan saja saat Mbak Ajeng berkata akan meminta Bas menjemput Adis saja. Karena dia memang butuh Bas. Dia tidak suka sendirian di kala seperti ini.
Hanya berselang menit, lamunan Adis terbuyarkan. Dering ponsel di genggaman terdengar dan kali ini suara Bas-lah yang menyambut saat Adis mengangkatnya.
"Dek, gimana? Lo sama siapa sekarang?"
Begitulah tanya Bas setelah mereka saling melontarkan salam. Pasti Mbak Ajeng sudah memberi tahu keadaan Adis saat ini. Seketika, rasa panas di mata Adis bertambah ketika mendengar suara Bas. Air matanya luruh, dan dengan usaha untuk mendobrak tenggorokan yang tercekat, gadis itu bersuara, "Aku mau pulang."
"Kan lo lagi sakit, Dis. Ntar di perjalanan malah nggak enak badan lo."
"Nggak apa-apa, pokoknya aku mau pulang. Mau ketemu Ayah sama Ibu juga." Di kondisi seperti ini, mendadak rindu yang dirasakan Adis sejak mendiami Yogyakarta terasa berlipat porsinya.
Di seberang, Bas mendesah. "Di situ aja, ya? Abang lagi nggak bisa absen ngantor, Dek. Nanti akhir pekan Abang ke situ aja, nemenin lo. Ya?"
Mendengar kalimat itu, setetes bening kembali turun. "Nggak mau, Bang. Mau pulang."
"Dis, Abang nggak bisa jemput. Nggak dalam kondisi bisa ambil cuti."
Menyusut air mata, "Nggak apa kalo nggak bisa jemput. Aku bisa sendiri."
"Oke. Besok malem Abang jemput kamu."
"Nggak usah, kan Abang ada kerjaan. Aku bisa sendiri."
Helaan napas terdengar di ujung telepon. Adis menggigit bibir bawahnya. Ternyata, dia memang kekanakan, manja, dan entah berapa banyak kata serupa yang bisa disematkan untuknya. Ah, ternyata memang bukan salah Bas yang memilih menyembunyikan rahasia itu, bukan salah Bas yang mengira kalau Adis tidak cukup kuat. Namun, memang karena Adis sendiri yang menciptakan kesan itu. Kali ini pun, saat menyadari, Adis tetap kukuh dengan sikap kekanakannya.
"Dek ...."
"Biar saya antar kamu."
Suara itu terdengar bersamaan. Bas di seberang menghentikan kata, sedang Jati di sebelahnya berkata lugas.
Kepala Adis langsung menoleh, langsung bertemu dengan raut serius Jati yang kini sedang menatapnya mantap. Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinga. "Apa, Kak?"
"Biar saya saja yang antar."
Hening, lagi. Apa pria ini sadar dengan apa yang diucapkannya? Apakah dia tidak ingat bagaimana langkah lebarnya meninggalkan Adis di belakang berkali-kali? Kenapa sekarang dia harus peduli? Kasihan? Ah, sungguh Adis lelah jika alasannya harus yang satu itu.
"Dek, siapa?"
Suara Bas terdengar samar, tetapi Adis masih terfokus dengan Jati. "Kasihan, ya, sama saya? Nggak usah, deh, makasih."
"Itu ... Gaha? Maksud Abang ... Jati?"
Adis menghela napas, beralih pada ponselnya lagi. Hari itu, saat Adis mengatakan bahwa dia sudah tahu semuanya dan sudah tahu soal adik Radit, Adis juga memberi tahu bahwa Jati adalah orang yang sama dengan yang Bas temui saat mencarinya waktu itu.
"Iya," ujarnya lemas.
Diam, cukup lama. Sampai Adis mengecek apakah panggilan masih tersambung, Bas baru kembali bersuara. "Em, dia mau nganter lo? Bisa diiyain aja, nggak, Dek?"
Adis melirik Jati sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. "Udah dulu, Bang. Aku mau salat Asar, sebelum masuk Magrib. Tenang aja, aku nggak akan nyusahin Abang, entah akhirnya pulang atau enggak."
Tanpa menunggu jawaban, Adis menutup telepon. Tangannya menyingkap selimut dan mencoba untuk turun dari ranjang, hendak salat. Ketika Jati bergerak hendak membantu bersamaan dengan kata yang hendak diucapkan, Adis mengangkat tangan, mencegah pria itu berbicara ataupun mendekat. Dia kesal pada dirinya sendiri. Kesal, karena mau bagaimana pun, Adis tidak benar-benar bisa melakukan segalanya sendiri.
Akuuu pengen denger pendapat kamu tentang cerita ini :((( Boleh kasih aku komentar, gak? Sepiii banget ih, pengen ngobrol sama kamu hihi
Thank you, sudah membacaaa!
See ya!
First Publish: March 15th, 2021.
Revision: March 8th, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro