35th Day
Berulang kali kau bertemu hancurku, lemahku. Entah karena semesta ingin kau lihat aku dan segala luka, atau karena hanya padamulah sembuh itu ada.
📷📷📷
Perilaku yang diambil Adis saat ini sangat bukan gadis itu. Biasanya dia langsung merapikan tas dan isinya setelah sampai indekos, tetapi kini justru merebahkan diri dan menaruh tas serampangan. Pakaian kotor di dalamnya dia biarkan begitu saja, sebab tubuh yang sudah tidak enak sejak beberapa hari lalu kini tidak bisa diajak berkompromi. Adis memejamkan mata, lalu mengubah posisi menjadi meringkuk saat ada rasa dingin yang menyusup.
Malam keakraban jurusan memang diadakan di hotel dan sebagian besar kegiatannya indoor, tidak seperti beberapa jurusan di fakultas lain yang berlangsung di lapangan terbuka dan mengandalkan tenda. Namun, tetap saja kelelahan menumpuk memeluknya. Kegiatan yang dilalui Adis sangat maraton, mulai dari UTS dan persiapannya, diklat sekaligus farewell internship PRISMA, hingga malam keakraban yang baru saja usai. Rasa tidak enak badannya sudah bersarang sejak berhari-hari lalu. Adis juga sempat absen kegiatan saat malam keakraban kemarin, setelah dipaksa oleh tim medis karena gadis itu terlihat lemas dan pucat.
Mata Adis terasa berat, tetapi saat ingat satu hal, gadis itu beranjak duduk dan meraih tas di samping kasur. Dengan tangan yang terasa kesemutan. Adis mengambil ponsel dan men-setting alarm pukul setengah tiga sore. Sehabis asar nanti, dia harus menghadiri perayaan kecil-kecilan bersama kelompok OGM-nya yang sudah mendapat predikat kelompok teraktif. Kalau bisa, dia ingin absen saja. Selain karena tidak enak badan, juga karena dia sedang tidak ingin bertemu Jati. Namun, dia tahu betul bahwa momen ini hanya satu kali. Jadi, Adis memutuskan untuk tidur sebentar, setidaknya agar tubuhnya sedikit lebih baik.
Menyimpan ponsel di sebelah bantal, Adis hendak beranjak tidur. Namun, pintu kamarnya dibuka dari luar, membuat gadis itu kembali membuka mata.
"Dis, kamu mau pulang kapan?" tembak Mbak Nuha—senior Adis di indekos—sambil memegangi handle pintu dan menyembulkan kepala dari space kecil pintu yang terbuka.
Adis mengangkat kepala sedikit. "Besok, Mbak. Biar bisa di rumah sekitar tiga hari." Yah, libur pasca UTS hanya sepekan. Tentu saja harus segera pulang agar punya cukup waktu di rumah. Adis bahkan sudah memesan tiket kereta sejak beberapa hari lalu.
"Pagi, siang, sore?"
Adis menggerakkan tubuhnya untuk duduk. "Agak siang, Mbak. Tiketnya jam sepuluh, paling ke stasiun jam sembilanan."
"Oh, oke. Kayaknya nanti kamu yang terakhir, Dis. Aku pulang ntar sore, Gea besok pagi, tapi nanti dia nginep di kos temennya, ngerjain project UTS." Mbak Nuha membuka pintu lebih lebar. "Mbak-mbak semester atas kayaknya nggak pada pulang, kok, jadi kamu nggak sendirian di kos."
Adis mengangguk. "Oke, Mbak."
Di indekos Adis, penempatan kamarnya memang disesuaikan dengan semester. Mahasiswa semester atas berada di lantai dua, sedangkan mahasiswa tahun pertama dan kedua ada di lantai satu. Dan di libur UTS ini, mahasiswa di lantai satu memilih pulang semua.
"Kamu sakit, ya, Dis? Mukamu merah gitu. Demam?" Mbak Nuha beranjak memasuki kamar dan duduk di atas kasur.
"Enggak, Mbak. Capek dikit. Biasalah, dari kemarin maraton banget, aku belum terbiasa," balas Adis sambil terkekeh di ujungnya.
Mendapati hal itu, Mbak Nuha menyipitkan mata, juga terlihat khawatir. "Beneran?"
"Iya, cuma butuh tidur, kok." Adis tersenyum, meyakinkan.
Sekali lagi, Mbak Nuha menatap gadis itu. "Ya udah, kamu istirahat. Kalo belum baikan, bilang ibu kos aja. Beliau nawarin buat nginep di rumahnya, kok. Daripada kamu sendirian di sini."
Adis mengangguki. Memang, dia tidak terlalu dekat dengan mahasiswi penghuni kamar lantai dua. Tidak enak juga jika tiba-tiba merepoti, padahal semester atas pasti semakin banyak tugasnya.
Mbak Nuha beranjak setelah mendapat respons Adis, tetapi kembali berhenti di bingkai pintu saat Adis memanggil namanya. "Kenapa, Dis?"
"Nanti minta tolong bangunin jam setengah tiga, boleh? Aku udah set alarm, tapi takut nggak kebangun." Kalimat itu diakhiri Adis dengan ringisan.
"Oke, nanti aku bangunin, cipratin air kalau perlu." Kekehan mengiri perkataan Mbak Nuha.
Setelah Mbak Nuha meninggalkan kamar, Adis kembali merebahkan badan. Diabaikannya kondisi tubuh yang cukup lengket dan baju yang sudah tak nyaman dipakai. Adis memilih memejamkan mata, berharap kepalanya bisa sedikit ringan saat terbangun nanti.
📷📷📷
Hawa dingin terasa melingkupi tubuh Adis, tetapi rasa panas juga bersarang dalam satu waktu bersamaan. Gadis itu mengerang, merasa terganggu dengan tangan dingin yang menempel di dahinya. Samar, dia mulai merasakan nyeri kepala, juga perut yang terasa mulas.
"Dis ... badan kamu panas banget."
Sekali lagi, Adis hanya menggeram. Matanya masih menutup.
"Aduh, kamu udah makan belum? Makan dulu, yuk."
Kini, Adis dapat menangkap suara dengan lebih jelas. Itu Mbak Nuha. Gadis itu hendak membuka mulut, tetapi yang terasa adalah pahit, sehingga Adis memilih mengatupkan mulut lagi.
Panas dingin, nyeri kepala, mulas, nyeri ulu hati, dan kini Adis juga merasakan mual. Seluruh tubuhnya seperti dikerumuni ribuan semut. Adis bergerak gelisah, semakin meringkuk untuk menghalau dingin, meski dia juga kegerahan hingga rambutnya basah karena keringat.
Tidak lama, dering kencang terdengar. Kepala Adis semakin pening, tetapi gadis itu kemudian mengingat satu hal. Itu pasti alarm yang dia buat tadi.
Adis membuka mata, hendak meraih benda yang menjadi asal suara, tetapi Mbak Nuha buru-buru mendahului untuk mematikan dering itu.
"Aku panggilin ibu kos, ya, biar dibantu ke puskesmas."
Dengan meringis, Adis membalas tatapan seniornya itu. "Nggak ap ...." Adis belum menyelesaikan kalimatnya, ketika dia merasakan ada sesuatu yang naik ke tenggorokan. Gadis itu langsung mengatupkan mulut.
"Kenapa, Dis? Mau minum?"
Adis tidak menjawab kekhawatiran Mbak Nuha. Dia membekap mulut dengan kedua tangan, membuat Mbak Nuha bergegas berdiri. Adis tidak tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu. Dia hanya fokus pada isi perut yang kini sudah berada di mulutnya.
"Nih, Dis."
Mbak Nuha mengulurkan kresek ke depan Adis, lalu membantu gadis itu duduk. Adis menurut, mendekatkan kepalanya ke plastik itu dan mengeluarkannya isi perutnya di sana.
Lemas, sangat lemas. Gadis itu kembali ambruk dan memejamkan mata menahan nyeri di kepala, tidak memperhatikan apa yang dikatakan Mbak Nuha sebelum perempuan itu meninggalkan kamarnya dengan tergesa.
Mata gadis itu memejam, lalu setetes bening menerobos keluar dari bola mata yang tertutup kelopaknya. Dia terus menutup mata meski alam mimpi tidak mau menjemputnya.
Hingga tidak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat, disusul kehadiran manusia yang dapat Adis rasakan.
"Gimana, Nduk? Ke rumah sakit, ya?"
Adis hanya diam, bergerak sedikit saat tangan ibu kos menyentuh dahinya.
"Kamu meh pulang sekarang ta, Ha?"
Samar, Adis dapat mendengar suara ibu kos bertanya pada Mbak Nuha.
"Nggih, Bu'e. Udah pesen tiket kereta buat jam empat."
"Oalah. Yo wis, biar Bu'e yang anter Adis."
Adis tidak memperhatikan, tidak sedikit pun merespons. Badannya terlalu rapuh sekarang ini. Dia juga memilih mengabaikan ingatan tentang perayaan kelompok yang sebenarnya harus dia hadiri. Kali ini, Adis tidak bisa memaksakan tubuhnya lagi.
Entah berapa lama kesadaran Adis memudar. Kini, dia kembali disadarkan oleh sentuhan lembut di lengannya.
"Adis, yuk, ke rumah sakit. Itu mobilnya udah datang, biar Bu'e yang antar."
Adis membuka matanya, berhadapan dengan sosok ibu kos yang menatapnya penuh belas kasih.
"Ha, bantuin papah Adis ke depan."
Setelahnya, badan Adis ditegakkan, lalu dipapah sampai ke luar bangunan indekos. Adis yang lemah hanya bisa menurut, bergerak pelan keluar dari gerbang sambil menundukkan kepala.
"Adisa," panggil seseorang di depan Adis, suara pria.
Adis pun mendongak, yang langsung berhadapan dengan wajah Jati. Sejenak, dia memproses mengapa pria itu di sini. Namun, Adis tidak sedang dalam kapasitas berpikir. Gadis itu hanya menurut pada instruksi dua orang di kanan kirinya, memasuki mobil dan menyandarkan kepala ke bahu ibu kos.
Dia hanya pasrah, memejamkan mata dan membiarkan kegelapan menyambutnya. Tidak sekali pun berpikir akan ke mana mobil ini melaju. Bahkan tidak berminat memikirkan seseorang yang sedang mengemudikannya. Gadis itu sibuk dengan badannya yang tidak enak, lalu segera tertarik ke kegelapan yang tidak mengizinkan kesadarannya menyertai.
Halo! Gak ada konflik di part ini.
Bentar, aku mau napas dulu muehehe. Mendekati akhir, rasanya ngetik jadi berat banget T___T
Gapapa, gapapa.
Thank you, yaaa, udah baca.
Oiya, kalau prediksiku, sekitar lima bab lagi bakal ending, nih. Tungguin, ya! Eheheh.
(Ini author note sebelum revisi, tapi gak aku hapus dehhh, biar mengenang proses menuju ending adis-jati itu wakakakak)
See ya!
First Publish: March 12, 2021.
Revision: March 7th, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro