Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2nd Day



Sekesal-kesalnya Bas saat ini, kekhawatiran tetap mendominasi saat dia sudah berputar-putar tanpa henti, tetapi sang adik belum juga ia temui. Jalanan Malioboro semakin riuh, tidak peduli bahwa Bas ingin semuanya berhenti bergerak, sehingga matanya bisa menjelajahi semua sudut tanpa interupsi. Bas mengacak rambutnya frustrasi, lalu menatap dua ponsel di genggaman dengan sebal dan sesal. Bahkan saat ini Adis tidak membawa ponselnya. Ah, membawa pun percuma, sebab ponsel itu teronggok mati kehabisan daya.

"Maaf, Mas. Lihat cewek ini nggak?" tanyanya pada orang kesekian sambil menyodorkan layar handphone yang menampilkan sosok Adis. Namun, lagi-lagi yang didapati hanya gelengan dan samar ucapan maaf.

Hingga di langkah lebarnya yang entah sudah keberapa, ia menabrak bahu seorang pria dengan sweter navy yang kebesaran di tubuhnya. Ponsel di tangan Bas terlempar ke depan pria itu. Dengan otomatis, sosok dengan tinggi yang setara dengan Bas itu langsung memungutnya, untuk kemudian melihat dengan jelas paras cantik di layar ponsel yang masih menyala. Tubuh pria itu mematung seketika, ketika menyadari betul siapa perempuan yang fotonya tertampil dalam layar.

"Sori, Mas. Gue buru-buru." Bas mengambil ponsel dari tangan pria yang masih memperhatikan layar dengan kebingungan, seolah benda itu menampilkan gambar yang tidak seharusnya ada di dunia. Setidaknya tidak untuk ada di dunianya.

"Sori juga, Mas."

Pria itu sudah akan berlalu, tapi Bas buru-buru menahannya dengan kalimat tanya. "Mas, ada liat cewek ini nggak?"

Sebenarnya tidak butuh melongok kembali untuk memastikan siapa kiranya yang Bas maksud. Namun, pria itu tetap menjatuhkan atensi pada layar handphone yang disodorkan Bas. Lalu, gelengan singkat dan ucapan maaf terlontar dari mulutnya.

Mereka hendak saling berlalu, tapi si pria menahan Bas dengan ucapannya. "Mas, boleh minta nomornya? Coba saya bantu cari. Nanti kalau ketemu, bisa langsung hubungin Masnya."

Pria itu adalah Jati. Seseorang yang bukan baru sekali melihat kakak beradik yang sedang saling terpencar itu. Adis dan Baskara sudah lama dia kenal, meski tidak sebaliknya. Hal itu yang mumbuat Jati mengikuti intuisi. Dia langsung berjalan cepat ke arah yang berlawanan dengan perginya Bas, setelah Bas membagikan nomor ponselnya.

Kalau Bas terburu-buru bergerak ke arah Titik Nol Kilometer Jogja, maka Jati mengambil langkah ke arah stasiun Yogyakarta. Tidak tahu kenapa. Saat ini, dia hanya ingin menemukan Adis dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Sedang menurut perhitungannya, Adis akan lebih cepat ditemukan jika dia mencari di tempat yang berbeda dengan Bas.

Jati mengambil langkah lebar. Mengabaikan suara hatinya yang meminta untuk menghentikan langkah saja. Kecemasan lebih mendominasi dibanding rasionalitas dan kata hati. Jati hanya tidak mau mendengar kata hilang lagi. Dia tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya, jika kali ini Adis mengalami hal buruk di satu sudut yang tidak diketahui siapa pun.

Sepanjang jalan yang dia susuri, sosok yang dicari tidak kunjung ditemui. Kini, Stasiun Yogyakarta sudah berada dalam raupan mata. Jalan Malioboro sudah tidak lagi terlihat bahkan sejak dia berbelok ke Jalan Stasiun Tugu-jalur terdekat ke Stasiun Yogyakarta jika ditempuh dengan jalan kaki.

Sebenarnya, Jati hanya mencoba peruntungan saja. Menurut Jati, kalau Adis dan Bas datang ke Malioboro untuk berlibur, kemungkinan terbesar stasiun yang mereka pilih adalah Stasiun Yogyakarta. Sebab stasiun itulah yang paling dekat dengan Jalan Malioboro jika ditempuh dengan jalan kaki. Bisa jadi Adis menuju ke stasiun setelah sadar bahwa dia terpisah dari kakaknya. Sebab stasiun adalah sektor formal, di mana tindak kriminal bisa diminimalisir. Itu pun jika Adis memiliki pemikiran yang sama dengan Jati. Ah, sebenarnya Jati yakin kalau Adis akan berpikir demikian.

Meski begitu, dia tidak menaruh banyak ekspektasi bahwa Adis memang berada di tempat yang dia prediksi. Pria itu sudah siap jika harus mengambil langkah kembali untuk menyambangi Stasiun Tugu Yogyakarta, jika memang Adis tidak berada di spekulasi tempat yang pertama.

Namun, langkahnya langsung melambat ketika melihat Adis sedang duduk di deretan belakang kursi tunggu. Tangan gadis itu mengarahkan sebuah kamera instan ke bocah di sampingnya. Fokus membidik objek yang kini membelakangi Jati. Untuk sejenak, Jati tertegun memperhatikan senyum lebar Adisa saat kertas foto tercetak dari kamera. Wajah itu persis seperti potret yang selama ini dia kenal melalui kertas foto. Tidak ada gurat kekhawatiran bahwa kini dia sedang terpisah dengan sang kakak.

Ketika bocah laki-laki yang menjadi objek foto berlari ke kursi depan, senyum Adis memudar. Seolah pergi bersama kertas polaroid yang dibawa bocah kecil itu. Kini, wajah kesal dan tidak tenang yang tercermin di sana. Bibir Adis mencebik, sementara matanya awas menatap jarum jam yang melingkar di tangan.

Melihat hal itu, Jati berniat mendekat. Namun, segera urung saat sadar bahwa sebaiknya dia tidak menampakkan diri di depan Adis. Untuk itu, dia memilih merogoh saku untuk menelepon Bas.

Tidak ingin gadis itu mengenali--walaupun cukup mustahil sebab mereka hanya bertemu sekali dan benar-benar sekilas--Jati membalikkan tubuhnya, menyingkir ke pilar agar tidak menghalangi jalan. Sekali men-dial, tidak ada jawaban. Mungkin Bas terlampau panik hingga tidak menyadari dering dan getar di telepon.

Jati mencoba sekali lagi, tetapi gerakannya terhenti kala sebuah tangan menarik lengan sweter yang dia kenakan. Refleks, pria itu membalikkan badan dan raut wajahnya langsung berubah kala gadis berponi menatapnya penuh harap.

"Bener, ini Masnya."

Tubuh Jati membeku, juga terkejut ketika menyadari bahwa Adis mengenalinya. Dengan susah payah, jakunnya naik turun menelan ludah.

"Maaf?" ujarnya berpura-pura tak mengerti.

Namun, senyum Adis langsung tersungging. Seolah secercah harapan hadir. Gadis itu meraih lengan Jati dengan kedua tangannya, lalu mendongak untuk menatap wajah pria yang menjulang di depannya.

"Kita ketemu di pos pendakian waktu itu, Mas. Inget, kan? Saya mau minjemin Mas sarung tangan loh, waktu itu."

Antusiasme Adis hanya dibalas Jati dengan mengangkat sebelah alis. Lagi-lagi berpura-pura tidak mengerti, agar mereka tidak perlu terikat apa pun setelah ini. "Saya nggak kenal kamu."

Mulut Adis mencebik. "Ish. Pokoknya saya udah mau bantuin Mas, entah Mas inget atau enggak. Jadi sekarang gantian bantu saya, ya? Saya kepisah sama Kakak saya. Mana ponsel saya kebawa sama dia dan kayaknya kehabisan baterai, soalnya saya telepon tadi nggak aktif. Terus saya nggak ingat nomor Kakak saya." Menguasaikan kalimat itu, wajah Adis bertambah murung. "Saya mau minta tolong dengan cara apa juga nggak tahu sebenernya."

Jati menatap gadis itu lama. Menjelajahi wajahnya yang kini tertunduk lesu. Seperti ada yang menuntun, pria itu mengikuti arah pandang Adis yang tertuju pada lantai. Sepasang sepatu kets membungkus kaki pendeknya, dengan tali sepatu warna-warni yang disimpul sedemikian rupa hingga membentuk kupu-kupu.

Tanpa sadar, Jati tersenyum dan melupakan persoalan yang sedang mereka hadapi.

"Mas, mau bantuin saya, kan?"

Suara Adis membuyarkan lamunan Jati. Membuat pria itu berhenti mengamati sesuatu di bawah sana dan kembali ke realitas.

Membalas tatapan Adis cukup lama, Jati akhirnya menghela napas dan bersiap membalikkan badan. "Saya buru-buru, maaf."

Begitu saja, Jati berlalu dari hadapan Adis. Sambil berjalan, tangannya mengutak-atik ponsel dan kembali mencari nomor Bas. Menutup telinga dari desahan kecewa milik si gadis.

📷📷📷

Jati merebahkan tubuh di sofa kamar. Sebelah tangannya dia gunakan untuk menutup wajah. Kesadarannya hampir luruh, tetapi jeritan singkat dari ponsel membuat kantuk sedikit menyingkir.

Ada satu pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dia langsung membuka room chat dengan kontak yang dia namakan "Bas". Meski Bas tidak menyebutkan namanya, tetapi Jati sudah tahu bahkan nama lengkap pria itu.

Bas

Btw, lo asli Jogja?

Jati menghela napas mendapati sifat humble dari pria itu. Persis seperti yang diceritakan Radit dulu, melalui email yang dikirimkan lelaki itu. Sebelum membalas, Jati men-scroll pesan sampai pada pesan pertama yang datang sore tadi. Dia membaca ulang keseluruhan pesan itu.

Bas

Thanks banget, Bro. Adek gue udah ketemu, nih.

Sama-sama, Mas.

Lo di mana, nih? Kita makan, yuk, sebelum gue pulang ke Jakarta.

Sebagai ucapan terima kasih.

Sori, Mas. Aku nggak bisa.

Yah, sayang banget.

Eh, sori, dari tadi gue pakai lo-gue gini.

Lupa kalo lagi di Jogja.

Eh, dulu gue juga pake lo-gue, sih, pas kuliah di sana. Hehe.

Santai, Mas.

Gue pulang malem ini. Besok udah nggak di Jogja.

Lo beneran nggak bisa, ya? Padahal gue utang banyak sama lo.

Sori, Mas, nggak bisa.

Take care, ya, baliknya.

Bas memang adalah Bas, yang kata Radit selalu antusias dalam setiap percakapan. Mendapati hal itu dengan mata kepala sendiri, Jati tersenyum. Perkataan Bas salah. Bukan dirinya yang berhutang banyak pada Jati, tapi Jati-lah yang bahkan tidak tahu hendak membalas kebaikan Bas dengan apa.

Jati mengiyakan pertanyaan Bas dalam pesan terakhirnya itu, lalu beranjak dari sofa. Kini, benda yang dia tuju adalah nakas di samping tempat tidur. Dibukanya laci meja, lalu beberapa buku catatan langsung tampak di sana. Jati mengambil satu-satunya buku yang bersampul cokelat. Buku yang paling mencolok, sebab sisanya berwarna serupa; hitam.

Di lembar pertama buku itu, terukir kalimat dengan ukuran yang cukup besar. "Tentang Peri-ku: Adisa Pramudhita".

Buku itu yang membawa Bas menemukan Adis sore tadi. Buku itu juga yang membuat Jati berhenti bergerak dan mengurungkan niat untuk mendekati si gadis. Juga masih buku itu, yang membuat Jati memilih berlalu dan meninggalkan Adis dengan raut kecewanya.

Buku itu ... yang mengingatkan Jati agar tidak pernah hadir dalam hidup Adis. Meski dia sangat ingin membalas segala kebaikan Adis pada Radit ... dulu.

Hai! I'm checking interaction. Boleh tolong klik ikon bintangnya gakk? Share pendapat temen-temen juga dong, tentang cerita ini ^^ Biar aku tahu kalau aku nggak sendirian di sini hihi.

First Publish: October 29, 2020.
Revision: June 8, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro