27th Day
Pasti indah, jika saja ini cinta, bukan simpati semata.
📷📷📷
Rasanya cukup ganjil, ketika Adis tidak bergegas melarikan kaki melihat segerombolan orang yang berniat menyeberang. Gadis itu justru berjalan santai, sambil meremas tangan kosongnya. Sangat bukan Adis. Sebab biasanya dia akan heboh mendekat ke segerombolan orang serupa, agar bisa dengan mudah menyeberang bersama mereka.
Selang satu menit orang-orang itu berada di seberang, Adis baru sampai di tepi jalan. Lehernya menengok ke kanan, lalu awas meneliti sisi kiri. Dua pekan lebih mencoba mandiri dalam hal paling menegangkan ini, Adis tetap saja belum terbiasa. Ribuan cemas tidak lelah menyesaki kepalanya. Bagaimana jika terserempet? Bagaimana jika ada pengendara dengan rem blong yang berakhir menabraknya? Serta bagaimana bagaimana lain yang bermunculan satu per satu.
Namun, gadis itu menggeleng cepat, berulang-ulang. Enggan membiarkan dirinya kalah berkali-kali.
Adis menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Senyum yang sarat akan keterpaksaan pun terpulas di wajahnya. Kaki mungilnya terangkat, mengayun, dan sedetik lagi menginjak aspal jalan raya, jika saja tarikan seseorang pada pergelangannya tidak menghentikan aktivitas itu.
Adis menoleh dan langsung dibuat terkejut ketika mendapati seseorang yang berdiri sedikit di belakangnya. Bola matanya melebar, lalu berubah sendu saat debaran di jantungnya terdengar menggila.
"Lihat kanan kiri itu bukan sekadar formalitas saja. Lihat, kendaraan dari kananmu hampir dekat dengan kecepatan cukup tinggi. Anak kecil saja bisa lebih baik dari kamu!"
Ujaran tajam Jati membuat Adis bungkam seribu bahasa. Berbanding terbalik dengan berisik jantungnya yang semakin terasa sakit seiring geraknya yang tidak beraturan. Hampir saja sepercik senang menyusup, tetapi langsung raib saat menyadari satu hal yang menbuatnya menghindari pria itu belakangan ini. Juga yang membuatnya mencoba banyak hal yang sedari dulu sangat ia takuti, termasuk menyeberang.
Perlahan, Adis menggerakkan tangan, memutarnya pelan agar terlepas dari cekalan Jati.
"Terima kasih, Kak," ucapnya sambil menunduk, enggan menghadapi raut wajah sang pria. Seusainya, Adis kembali menghadapkan tubuh ke arah jalan raya.
"Kamu mau ke mana?"
Mendengar suara dari sebelahnya, Adis berusaha untuk tidak menoleh. Menghadapi pria itu sama sekali tidak mudah bagi perasaannya, juga bagi kekecewaan yang terus menyembul kala matanya beradu dengan wajah itu.
Andaikan saja Adis bisa tidak menjawab, pasti akan dia lakukan. Namun, rasanya tidak sopan. Apalagi pria itu masih berstatus sebagai pendamping kelompoknya. Maka, dia memutuskan untuk membuka mulut, meski kegetiran
"Tempat pemotretan."
"Di mana?"
"Ada, Kak. Di SD gitu."
"Di mana, Adisa?" kejar Jati, membuat Adis menghela napas.
"SD Ksatria," jawab Adis pada akhirnya, dengan atensi yang tidak sedikit pun beralih pada jalanan.
Setelah itu, keduanya diam. Hingga Adis memutuskan untuk melanjutkan langkah ketika di melihat kendaraan di sebelah kanan masih jauh dari tempatnya saat ini. Dia bersiap mengangkat tangan, memberi isyarat pada pengendara untuk memelankan laju mereka. Namun, lagi-lagi niatnya terhenti. Satu tangan kembali menahannya dan kali ini diikuti nada perintah yang akrab di telinga: tidak bisa dibantah.
"Saya antar."
Adis memejamkan mata, bersiap untuk menghadap pada senior dua tingkat di atasnya itu.
"Nggak usah, Kak. Saya naik Trans Jogja aja. Udah tahu rutenya, kok." Senyum tipis menjadi penghias kalimat itu, sementara pria di depannya entah mengapa menghela napas. "Saya permisi, Kak."
Jati bergeming, tidak sedikit pun mengabulkan niat Adis untuk lepas darinya. "Kamu menghindari saya."
Adis tahu, itu bukan pertanyaan. Namun, tetap saja dia menyangkal. "Kakak bicara apa, sih? Say ...."
"Aku, Adisa," ucap Jati tajam, mengoreksi.
Diam-diam, Adis tersenyum miring. Bagaimana mungkin perlakuan seperti itu tidak diartikan lain? Yah, walau nyatanya arti lain itu bukan perkara suka dan cinta.
"Kak, saya permisi. Kalau ketinggalan bus, harus nunggu lagi, keburu sore."
"Oke."
Hampir saja Adis bernapas lega, karena bisa lepas dari seseorang yang mampu membuat suasana hatinya berantakan ini. Akan tetapi, kelegaan itu menguap ke angkasa ketika Jati justru menariknya ke jalanan, ikut menyeberang.
"Kak ...."
"Naik bus kan? Ya sudah, ayo," ucap pria itu tegas setelah tiba di seberang jalan. Tanpa jeda, dia menarik Adis menuju halte Trans Jogja yang berada tidak jauh dari gedung FEB.
Sedang yang dilakukan Adis hanya diam, patuh pada permainan semesta yang menyeretnya. Meski di dalam hati senyum miris terus terkembang, menyatakan kekalahannya pada rasa yang terus melahirkan kecewa. Adis menyimpan rasa untuk Jati, sedang pria itu hanya ingin melindungi.
Apa dia selemah itu sampai semua yang berada dekat dengannya bisa dibilang "terpaksa" dekat karena Adis butuh dilindungi?
Sepanjang perjalanan, Adis bungkam. Membiarkan saja gerak-gerik Jati yang mengungkung tubuhnya, melindungi dari sesaknya bus di siang hari.
Setelah berganti bus sebanyak dua kali dan menelusuri gang-gang sempit, mereka akhirnya tiba di depan bangunan sekolah bercat cokelat-cream. Mata Adis memandangi ukiran pada gapura yang membingkai gerbang setinggi lehernya. SD Ksatria. Adis tersenyum. Apakah Radit bertemu cinta pertamanya di SD sampai-sampai tempat ini sangat spesial untuknya? Adis terkekeh geli dengan asumsinya sendiri.
Tiba-tiba seorang bapak dengan sarung melintang di tubuhnya tergopoh mendekat ke arah gerbang, membuat Adis turut mendekat ke benda besi yang membatasinya dengan gedung SD dengan sempurna.
"Ada urusan apa, ya, Mbak? Kebetulan guru dan karyawan sini sudah pulang. Kalau mau, kembali besok saja. Guru piket tetap hadir, kok, walaupun libur," ungkap sang bapak tanpa menunggu sahutan Adis.
Memperhatikan pria paruh baya yang bergerak membenarkan letak sarung, Adis tersenyum ramah. "Em ... saya mau ambil gambar di sini aja, kok, Pak. Boleh nggak, ya?"
"Masuk kelas, ndak?"
"Enggak, kok, Pak."
Berpikir sebentar, akhirnya sang bapak mengangguk. "Boleh kalau begitu, Mbak. Sebentar, saya ambil kunci gerbang dulu."
Tidak menunggu lama, kini gerbang di depannya terbuka, setelah bapak penjaga sekolah mengambil kunci yang dimaksud.
Adis melangkah melewati gerbang, tetapi langkahnya terhenti dan kemudian berbalik ketika menyadari Jati tidak turut bersamanya. Pria itu justru mematung, menatap lurus dengan jenis tatapan yang tidak bisa Adis artikan.
"Kak."
Pria itu menoleh, lalu berdeham dan berjalan melewati Adis. Membuat gadis itu menggeleng tak mengerti.
Setelahnya, Adis berkutat dengan kamera, membidik berbagai sudut dari tengah lapangan, lalu beranjak ke sudut lainnya. Dia juga bergerak ke koridor, mengabadikan lorong sepi itu di benda digital di tangan. Tidak lupa, gadis itu menyertakan foto milik Radit untuk diambil gambarnya.
Setelah merasa cukup, Adis menghampiri Jati yang tengah duduk di tembok sepinggang di depan kelas, membelakangi ruang-ruang tempat berlangsungnya pembelajaran. Pria yang tadi beberapa kali dilihatnya memainkan ponsel tanpa minat itu kini hanya menatap ke depan, tanpa benda serupa di tangan. Melamun? Entahlah, Adis tidak tahu.
Keduanya diam. Entah Jati sedang memikirkan apa, Adis tidak mau ambil pusing. Sementara gadis itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
Ini hari terakhir pemotretan. Tempat-tempat yang diabadikan Radit dalam kertas keramat miliknya sudah habis disinggahi. Perlahan, ada sesak yang menyusup di hatinya saat sadar pencariannya tidak membuahkan.
Setiap hendak beranjak dari satu tempat, Adis selalu berharap Radit akan datang di detik-detik terakhir. Harapan yang sama dengan apa yang membumbung tinggi saat ini. Rasanya, kini Adis ingin menetap lebih lama, menunggu sampai Radit datang entah kapan waktunya. Kalau saja itu mungkin.
Lamunannya buyar ketika dering panjang terdengar. Bukan ponselnya, tetapi milik Jati. Adis melirik pria di sebelahnya yang tengah meraba saku di dada, pinggang, dan seluruh tubuhnya secara berulang. Pemandangan itu membuat Adis mengernyit. Dia merasa kalau pria itu sedang tidak fokus.
Adis yang melihat ponsel menyembul dari saku celana belakang pria itu pun membuka suara. "Kak, di saku belakang."
Perkataan Adis membuat Jati menoleh, lalu segera melarikan tangan ke saku belakangnya. Hal yang membuat Adis semakin mengernyit. Setahunya, Jati selalu realistis. Menyimpan ponsel di saku belakang yang berisiko tertimpa tubuh benar-benar bukan seperti dirinya.
Pria itu berdiri, mengambil ponsel yang baru saja terimpit tubuh dan keramik. Tanpa sepatah kata, dia berlalu membelakangi Adis.
Pandangan Adis yang semula tertuju pada punggung pria itu kini beralih pada benda yang jatub dari saku celananya. Pasti ikut tertarik saat mengambil ponsel, begitu pikirnya.
Melihat Jati yang sudah menempelkan ponsel di telinga dan bergerak menjauh, Adis turun dari tempatnya duduk. Memilih mengambilnya alih-alih memanggil Jati.
Namun, gerakannya menjadi kaku saat sudah meraih benda berbahan kulit itu. Pengait yang tidak terpasang membuat salah satu isinya jatuh ke tanah saat Adis mengangkatnya.
Di sana, dua lembar foto tertangkap mata. Satu terbuka, dan satunya lagi tertutup hingga Adis tidak bisa melihat gambar apa yang ada di sana.
Meski begitu, satu gambar pun cukup membuatnya tertegun. Satu gambar yang membuat wajahnya pias, juga menghimpun kebingungan yang berarak singgah.
Di sana, terpampang jelas wajah cerah Adis yang tersenyum ke kamera, dengan cone es krim di tangan. Satu tangannya terulur menggenggam kamera. Sementara di sebelah kirinya, dua orang pria ikut berpose. Bas dengan wajah tengil, juga Radit yang tersenyum lebar tepat di tengah-tengah mereka.
Tangan Adis terulur, dengan tatapan yang tak sekali pun teralih. Gadis itu meraih satu gambar lain yang tergeletak dengan posisi tengkurap.
Seolah belum cukup keterkejutan yang dimiliki, foto itu tersenyum mengejek kebingungannya. Di sana, di titik yang menjadi fokus retinanya, tampak seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Dengan wajah datar, dia menghadap kamera. Sementara seorang pria yang lebih dewasa merangkul bocah itu dengan hangat, senyum lebar terpampang di wajahnya.
Wajah keduanya sangat familier. Versi muda tidak dapat menipu Adis sedikit pun.
"Adisa."
Mendengar namanya dipanggil, Adis perlahan bergerak. Meluruskan tubuhnya yang sejak tadi masih menunduk. Dengan gerakan patah-patah, Adis menatap Jati. Tangan kanannya yang menggenggam dua lembar foto terangkat ke wajah Jati. Memaksa pria itu meraup wajah versi mudanya dan Radit yang ada di sana.
Dengan mata memanas dan harapan membuncah, Adis melayangkan tanya, "Ini apa, Kak?"
Jati hanya diam. Wajah pria itu pias, meski Adis sama sekali tidak bisa membacanya.
"Kak, jawab aku! Ini apa?" sentaknya keras, sambil mengeratkan genggaman kedua tangan. Pada kertas foto di sisi kanan, juga dompet kulit milik Jati di tangan kiri.
Bersamaan dengan remasan yang mengerat itu, bunyi lirih terdengar. Membuat Adis menatap ke sebelah kirinya, di mana dua kartu identitas meluncur dari dompet. Satu kartu sangat ia kenal, sebab ia pun memilikinya-kartu tanda mahasiswa. Sementara yang satunya lagi membuat mata Adis menyipit, mengeja tulisan paling besar yang ada di sana. Sekolah Republik Indonesia Tokyo.
Tubuh Adis semakin melemas. Embun di pelupuk mata meluncur jatuh begitu saja. Dengan gerakan pelan, Adis kembali menatap Jati.
"Kak Jati ... siapa?" Selirih angin, intonasi campur aduknya terdengar. Namun, hanya desau angin yang berarak menyambut, sementara satu-satunya manusia yang menjadi harapan hanya bungkam dan menghindari tatapan.
Give Adisa a virtual hug, dong. Kasian dia, bingung mulu wkwk.
Karakter yang paling kamu suka di sini?
Karakter yang paling lemah menurut kamu?
Sampai sini, mau ngomong apa sama
Jati
Prasaji
Adis
Bas
Radit
Aku ke Prasaji: Semoga long distance religion antara kita cepat berakhir, ya 😢 HAHAH. Aku tim Prasaji sebenernya tu :( tim dia bahagia maksudnya ehe.
First Publish: February 13th, 2021.
Revision: March 2nd, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro