1st Day
Seribu kali pun menjumpai perpisahan, tidak ada manusia yang bisa terbiasa.
📷📷📷
Untuk pengalaman pertama berkelana di rimba, bukan realitas seperti ini yang ada di bayangan Adis. Tidak sekali pun ia berpikir bahwa ketenanganlah yang paling banyak ia dapatkan. Tanpa sadar, Adis tersenyum. Mungkin perasaan seperti ini yang dirasakan Radit, sampai-sampai pria itu rela mengulangi penat untuk kembali menjelajah gunung.
Pandangan Adis memutar. Objek terdekat dari jangkaunnya hanya pohon-pohon rimbun, juga puluhan pendaki yang berlalu-lalang, turun maupun bergegas menuju puncak Gunung Salak. Bak semut-semut yang selalu bersalaman saat berpapasan dengan sesamanya, para pendaki pun demikian. Saling melempar senyum, menebar keramahan meski tidak saling mengenal. Menghangatkan suhu yang berada di angka sepuluh derajat celsius.
Pantas jika Radit menyukai tempat ini. Semua tentang gunung tampak serasi dengan kepribadian lelaki itu. Dingin dan hangat dalam satu waktu. Kokoh dan kesepian di sisi lainnya.
Tanpa sadar, satu bulir bening meluruh, membasahi pipi Adis yang sudah pias diterpa dinginnya udara gunung. Satu karena sebuah hal di belakang, satu lagi karena ia akan mengulang hal serupa mulai sekarang. Apa itu? Tentu saja, perpisahan. Hal yang tidak pernah disukai Adis.
Terakhir kali menemui kata perpisahan, seluruh sesak bergumul di dadanya. Sampai sekarang pun rasanya masih tetap menyakitkan. Perpisahan tanpa selamat tinggal, tanpa doa dan janji agar kelak bertemu kembali. Kini, saat sakit itu belum sepenuhnya hilang, Adis harus merasakannya lagi. Berpisah dengan sahabat-sahabat yang selalu bersamanya. Meski kali ini, ada segunung doa dan ikrar untuk tetap mengingat dan kembali bersua di kemudian hari, tetapi kesenduan tidak juga menjauh dari dirinya. Ah, dengan atau tanpa kata, perpisahan tetap sama menyesakkan.
"Astaga, Dek. Kenapa, sih, lo?"
Di balik pandangan yang mengabur, Adis melihat Bas berjongkok di depannya. Tangan pemuda itu menggenggam sebotol air mineral berukuran 750 mililiter. Bukan cemas yang tergambar di wajah Bas, tetapi kekesalan yang tidak susah-susah disembunyikan. Memang ekspresi anti mainstream bagi seorang kakak yang melihat adiknya menangis.
Adis memusatkan pandangan ke arah Bas. Seperti sudah memprediksi, Bas menghela napas lelah saat sedetik kemudian mendapati Adis mengencangkan tangisannya. Bahkan, kini suara rengekan terdengar jelas di telinga.
"Bang, masa aku pisah sama Imel? Nanti yang nyeberangin aku di Jogja siapa?" rengek Adis di tengah tangis. Membuat keempat sahabatnya mendekat dengan gerakan malas, mengerubungi gadis itu.
"Astagfirullah temen gue gini banget, sih?" Imel menyahut. Suaranya terdengar heran dan kehabisan akal.
Sambil mengusap air mata dan tanpa memperhatikan respons Imel, Adis melayangkan tatapan memohon. "Mel, kamu ke Jogja aja, ya, bareng aku?"
Kini semua orang menampilkan ekspresi yang sama, sebal. Kedua teman lelakinya bahkan bergerak memunggungi Adis. Seolah enggan menyaksikan kelanjutan drama yang sedang digarap oleh gadis itu.
Di antara lima bersahabat itu, Adis adalah satu-satunya orang yang akan meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Hampir setiap hari gadis dengan rambut berponi itu melancarkan rayuan, bahkan paksaan agar salah satu temannya mau ikut belajar ke Yogyakarta. Namun, tidak sekali pun tingkah Adis membuahkan hasil. Justru teman-temannya heran. Sebab Adis sendiri yang memilih Jogja sebagai tempatnya berkuliah, padahal tetap di Jakarta bukan suatu hal yang sulit direalisasikan. Jadi, kalau berat untuk pergi, kenapa tidak tinggal saja? Toh, Adis memegang pilihan itu.
Bagi teman-temannya, Adis aneh. Sebab mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ada di kepala squad paling kecilnya itu.
"Jujun juga belum jujur kalau suka sama aku, loh." Suara Adis yang sarat akan rengekan, langsung membekukan gerakan kedua remaja pria yang hendak beranjak. Juna mematung. Kini, tatapan horor dari Iman yang berdiri di sebelah kanannya, membuat tubuh pria itu kebas. Punggungnya juga panas, sebab sadar sedang dihujani tatapan. Terungkap sudah perasaan yang selama ini dia sembunyikan.
"Jun?"
"Juna?"
"Juna, lo sejak kapan suka sama Adis?"
"Jun, lo nggak salah suka sama adek gue? Mau rukiah sama takmir masjid deket rumah gue, nggak?"
Sahutan-sahutan mulai terdengar saat mereka dapat menangkap maksud perkataan Adis. Yang terakhir adalah suara Bas. Orang yang selalu ingin menjadi nomor satu dalam hal mem-bully Adis.
Sementara itu, tidak ada reaksi berarti yang ditampilkan Adis. Dia tetap menyusut air mata yang terus turun sambil memasang wajah sendu yang hiperbolis. Sedang Juna sudah sangat ingin berteleportasi ke Segitiga Bermuda. Dia rela menelan asinnya air laut sebanyak mungkin, daripada harus menghadapi olok-olokan sahabatnya di kemudian hari. Pasalnya, mereka selalu menertawakan hadirnya perasaan dalam persahabatan. Entah di film, novel, maupun satu-dua teman di sekolah. Jadi, sudah pasti Juna akan menjadi bahan tertawaan setelah kebenaran ini terungkap.
Sial. Kenapa gue harus suka sama cewek modelan Adis, sih? batin Juna kesal.
Juna masih memunggungi Adis, Bas, dan tiga cewek yang melayangkan wajah protes sebab tidak tahu menahu soal hal ini. Wajahnya memerah, sedang Adis justru kembali berujar seenaknya sendiri. "Jujun ikut aku ke Jogja aja, ya? Aku janji, deh, mau pacaran sama Jujun."
"Dih!" Rara mendecih. Semua percakapan dengan Adis selalu berujung sama. Memaksa setidaknya satu dari lima orang itu untuk ikut menuntut ilmu di Jogja.
Kini, semua orang benar-benar membubarkan diri, menghampiri ransel masing-masing. Wajah Juna masih pias. Dia beberapa kali mencuri pandang ke arah Adis, tapi segera membuang muka saat Adis memasang tatapan dan wajah sok imut. Juna selalu lemah ditatap seperti itu oleh Adis.
"Ayo lanjut. Udah kelamaan istirahat kita." Mengabaikan kekesalan yang masih tersisa, Bas mengomando. Tas di gendongannya terlihat paling besar dan penuh, sebab sebagian barang Adis berada di dalamnya.
Semua orang mengiyakan. Mereka memasang ransel setelah memasukkan air minum yang sempat dikeluarkan. Baru bersiap dan belum satu langkah pun beranjak, gerakan Bas dan keempat sahabat Adis terhenti. Karena apa lagi jika bukan ulah Adis?
"Ayo ikut aku ke Jogja aja!" seru Adis dengan keras. Bahkan para pendaki lain pun ikut menoleh.
Masih berdiri tiga meter dari Adis, Bas menahan gemas lalu mengeluarkan kata-kata yang membuat Adis langsung bungkam. "Dek, gue bilang Ayah supaya maksa kuliah di Jakarta aja, ya?"
Belum sedetik berlalu, Adis langsung berdiri dari duduknya. Ancaman Bas yang satu ini memang selalu berhasil menghentikan aksi pemaksaan Adis, meski dia pasti akan melancarkan drama pemaksaan lagi. "Ngaduan!" gerutu Adis kesal.
Alasan seorang Adisa Pramudhita mengambil studi di Jogja bukan hanya perkara kualitas kampus ataupun romantisme Jogja. Ada hal yang membuatnya harus ke sana, tinggal selama yang ia bisa sampai sebuah pertanyaan dan ketidakpastian menemui jawabannya. Sebab di kota itu, ada seseorang dan segala jejaknya yang harus Adis temukan, untuk mendapat jawab dari berbagai tanya di kepala. Meski sangat sulit mendapat izin, juga sangat berat meninggalkan ibukota dan kehadiran sahabatnya, Adis tetap harus ke sana. Menyambangi kota itu. Jogja. Kota yang menjadi asal warna baru di masa putih biru dan putih abu-abunya.
Lagi-lagi, saat mereka sama sekali belum beranjak, Adis kembali mencegah niat rombongan. Netranya menangkap seorang pemuda yang tidak bergabung dengan rombongan mana pun. Pemuda itu hanya duduk sendirian. Seolah sengaja memisahkan diri dari kumpulan orang-orang yang sedang menjejaki keramahan alam. Tangannya mengepal, lalu membuka lebar. Terus seperti itu. Seperti sedang mengusir dingin yang menyerang.
Tanpa pikir panjang, Adis membuka risleting tasnya. "Bentar, Bang," katanya kepada Bas. Membuat pria itu menoleh ke arah Adis sekilas. Inisiatif apalagi yang akan dilancarkan Adis?
Setelah menemukan benda yang ia cari, yaitu sebuah sarung tangan bulu berwarna biru muda, Adis tersenyum. Dia lantas menghampiri seorang pria yang duduk sekitar empat meter di belakangnya. Adis mengulurkan kain hangat itu kepada si pria dengan rambut hitam rapi tanpa penutup kepala. Adis semakin heran. Memangnya dia tidak kedinginan, ya? batin gadis itu. Adis saja sudah memakai penutup kepala, tapi udara dingin masih gencar mengecupi telinga. Bagaimana dengan pria itu?
"Kak, ini dipakai aja," ucap Adis langsung ke intinya, saat posisi gadis itu sudah berada di samping si pria.
Pria itu mendongak. Wajahnya yang semula tidak peduli, berangsur terkejut saat mendapati senyum di wajah Adis. Matanya hampir membeliak, tapi pria itu amat pandai mengendalikan emosi. Dia membagi pandangan antara wajah Adis dan sarung tangan yang ada di tangan gadis itu. Adis masih tersenyum. Selalu terlihat tulus meski matanya masih sembab. Namun, senyum itu digantikan raut bingung saat pria tanpa sarung tangan itu langsung beranjak meninggalkannya. Tanpa sepatah kata ataupun gerakan untuk menyambut niat baik Adis.
Langkah pria itu menjauh. Meninggalkan Adis dengan kebingungannya.
"Yah, kok aku dicuekin?"
"Dicuekin, kan. Salah sendiri over inisiatif."
Suara lirih Adis dan Bas saling beradu di angkasa, meski dua orang itu tidak mendengar satu sama lain. Begitu juga dengan deru napas lelaki yang baru beranjak dari hadapan Adis. Ruang yang luas mengikat ketiganya, ketika masing-masing udara yang diembus bergerak diterpa angin. Saling menjauh dan mengasing, kemudian melayang mendekati titik yang sama.
Bingung untuk Adis, prihatin milik Bas, dan kerinduan yang menyentuh dinding kalbu pria itu. Hari itu adalah awal mereka bertemu dan saling memadu ruang. Tanpa mereka tahu, menjadi hari yang akan mengawali temu-temu lain, dengan persoalan yang lebih dari rumit untuk bisa diselesaikan.
Hai! Terima kasih, ya, sudah membaca dan nggak berhenti di prolog aja. :) Boleh klik tanda bintang di bawah, nggak? Nggak ada maksud lain, aku cuma pengen tahu kalau kamu lagi baca ini melalui isyarat vote. Juga, aku nggak mau kamu memendam persepsimu tentang cerita ini sendirian. Jadi, bagikan di sini aja. Okeee?
First Publish; October 28, 2020
Revision; May 18, 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro