18th Day
"Cukuplah ketidaktahuan memelukmu, sebab tahu hanya akan menghadirkan sendu," begitu pikirmu sebelum hari-hari berat yang kau sembunyikan itu datang untuk kemudian berlalu.
📷📷📷
Dulu, Radit pernah bilang kalau kesibukan sesrorang tidak bisa dilihat dari perspektif orang lain. Kita tidak bisa mengecap seseorang sibuk, produktif, dan sejenisnya hanya melalui sudut pandang kita. Sebab, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana seseorang menyusun prioritas, serta apa saja yang dia hasilkan setelah menghabiskan banyak waktu, kecuali dirinya sendiri. Adis selalu setuju dengan pemikiran itu. Namun, kini dia perlu memastikan kembali perihal ini dan yang dia lakukan adalah meneror Bas sejak mata kuliah Pengantar Ilmu Akuntansi usai.
"Dek, sumpah gue lagi kerja. Lo nelepon temen cowok lo aja sana."
Di seberang sana, nada suara Bas terdengar kesal. Namun, hal itu tidak dipedulikan oleh gadis yang hari ini menggerai rambut sepunggungnya. Dia terus mencecap rasa gurih dari suapan chicken katsu curry, dengan kepala menempel pada meja kantin. Buku kuarto hard cover berisi angka-angka memusingkan menopang kepalanya.
"Ish. Abang mah. Aku udah ngasih ID LINE dia ke Abang, sesuai maunya Abang. Gantian, dong, bantuin aku." Adis masih mengunyah, sambil tangannya meraih garpu dan menusuk sepotong lagi chicken katsu yang sudah disiram kari kental.
"Gue minta juga supaya bisa ngawasin lo. Kan buat lo juga. Napa jadi gue yang utang ke lo, deh. Udah, ah."
Melihat tanda-tanda telepon akan ditutup, Adis menyambar, "Ih. Ya kan dia mau nganterin aku, berarti bantuin Abang jaga aku. Abang harus berterima kasih ke dia." Kepala gadis itu menegak, seketika matanya tertuju pada teman-teman sekelas yang sedang mengantre di beragam stan, meski dia tidak benar-benar memperhatikan hal itu dan justru kembali berfokus pada sambungan telepon. "Nggak mau tahu, aku bakal teror Abang sampe Abang bantuin aku."
"Oke." Dengan nada mengalah dan kesal yang tak sedikit pun disamarkan, Bas menyahuti. "Pertama, mungkin dia emang sibuk dan nggak ada waktu buat nemuin lo, jadi ya udah. Lo bawa terus aja makanan buat dia, kasihin kalau nggak sengaja ketemu. Kedua, dia nggak nganggep bantuin lo sebagai hal yang perlu di-terima kasih-in, karena ya ... dia pembimbing lo, kan? Dan ketiga, dia mungkin emang nggak mau ketemu lo. Berisik, sih, lo."
Ya. Topik yang membuat kakak-beradik itu uring-uringan adalah tentang Jati yang sejak tiga hari lalu menolak untuk bertemu dengan Adis. Katanya, dia tidak punya waktu, padahal Adis sudah menyanggupi untuk menyesuaikan waktu luang Jati saja. Toh, hanya sebentar, karena Adis hanya ingin memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih. Namun, berbagai kalimat dilontarkan pria itu untuk mempertahankan pendiriannya. Satu tanya pun terus bersemayam di kepalanya. Memangnya, kesibukan macam apa yang sedang digeluti pria itu? Masa karena aku berisik, sih? batin Adis kebingungan.
"Ah, udahlah. Abang bikin emosi aja."
"Lah, elo yang bikin gue emosi."
Menanggapi nada tak habis pikir yang terdengar dari speaker ponsel, Adis mendengkus malas. Sebenarnya, dia juga tidak tahu betul mengapa bisa segalau ini.
"Tensi gue naik, nih, ngadepin lo. Udah, ah. Gue tutup, ya?"
Adis bergumam, tidak tertarik dengan omelan di seberang. Namun, buru-buru pita suaranya bekerja ketika bibir Bas sudah sampai di ujung salam. "Wait! Abang nggak usah contact Kak Jati yang enggak-enggak, loh. Awas kalau bikin aku ...."
"Iye."
Putaran bola mata menghiasi wajah Adis, meski dia tahu bahwa Bas tidak bisa melihatnya. Karena keduanya tidak ingin saling memperpanjang percakapan, sambungan segera terputus setelah dua salam mengudara melalui sambungan nirkabel itu.
Betul. Araga Baskara-kakak terabsurdnya-meminta kontak seseorang yang membantu Adis mengerjakan project fotografi, dengan imbalan janji tidak akan terlalu sering menerornya. Walhasil, permintaan itu dituruti, meski Adis tidak yakin betul pria itu seratus persen menuruti janjinya. Setidaknya, dengan memberikan nomor seseorang yang bersama Adis, pria itu tidak akan banyak mengomel menyuruhnya berhenti saja.
Namun, hal yang membuat Adis tidak habis pikir adalah keputusannya sendiri yang lebih memilih memberikan ID LINE Jati dibanding Prasaji. Padahal, Prasaji-lah yang dengan suka rela menawarkan diri untuk membantu, meski dua agenda sebelumnya gagal terlaksana.
Adis kembali menyuapkan satu potong makanan gurih di hadapannya tanpa selera, bertepatan dengan Fau dan dua teman sekelompoknya yang berjalan mendekat, dengan piring-piring di tangan. Adis adalah satu-satunya yang tidak membeli makanan, karena dia sudah membawa dari indekos. Dua boks, malah.
"Duh, duh, enaknya yang masak di kos," ucap Fau sambil meletakkan piring dan mengambil tempat duduk di depan Adis. Sementara gadis di hadapannya menjulurkan lidah singkat.
"Ayo cuci tangan, Fau," ujar Rani yang diangguki oleh Mei, menghentikan gerakan Fau yang hendak menggenggam sendok.
Mencengir, Fau berkata dengan ringan, "Nggak usahlah. Hemat air."
Protes kecil berdatangan dari dua orang yang hendak beranjak menuju wastafel, sementara Adis hanya ikut terkekeh tanpa komentar lebih. Melihat gadis yang hobi protes justru tidak memberikan perhatian lebih, Fau mengernyit dan memandang Adis, seraya melahap satu suapan.
"Kenapa, Dis?"
Alih-alih menjawab, Adis justru mengeluarkan satu tempat makan lain dari paper bag di atas meja. Membukanya, Adis kemudian mengulurkan chicken katsu dengan saus kari terpisah versi sama sekali tidak pedas itu kepada Fau. Tentu saja, ditanggapi dengan antusias oleh sahabatnya.
Sebenarnya, menu tanpa sedikit pun rasa pedas itu disiapkan untuk Jati, seperti kemarin saat satu dessert box juga dia bawa ke kampus. Namun, penolakanlah yang kembali diterima. Ada kelas, harus ini dan itu. Adis sampai bingung, apakah pria itu benar-benar sibuk atau tidak mau meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Jika jawabannya yang kedua, tetapi kenapa? Bukankah terakhir kali Jati mengantarkannya sampai di depan indekos semuanya tetap baik-baik saja.
"Wait. Ini buat Mas Jati lagi?"
Perkataan Fau membuat pandangan Adis yang tertuju padanya terpecah. Dengan tanpa minat, gadis itu mengangguk untuk menanggapi. Sudahlah. Kalau memang pria itu tidak ingin menerima tanda terima kasih yang tidak seberapa ini, Adis bisa apa? Yang penting Adis sudah berniat memperlakukan pria itu dengan baik juga. Namun, meski kepalanya berkata demikian ... mengapa hatinya terus berharap agar Jati mau menemuinya?
📷📷📷
Lembut cahaya ponsel membantu kedua mata untuk menangkap bayangan objek di layar bening itu. Rangkaian aksara terproses di kepala hingga mampu dimengerti dan memunculkan emosi dalam diri. Potongan rambut rapi bergaya undercut yang tidak terlalu tipis sisi-sisinya, juga dengan bagian atas yang disisir rapi ke kiri tidak sedikit pun goyah oleh lalu lalang mahasiswa di koridor gedung Manajemen lantai tiga. Begitu pun dengan pemilik yang masih setia memakukan mata pada telepon pintar, tidak sedikit pun bergerak.
Berdecak ringan, Jati keluar dari percakapan yang dari tadi sibuk diselami, percakapannya dengan Bas. Dia menggulir layar, beralih pada sebuah nama dengan display picture seorang gadis berponi yang tengah memasang muka cemberut ke arah kamera. Dikliknya chat room LINE dengan gadis itu, lalu tertampillah beberapa penuturan yang cukup sopan dari si gadis yang meminta waktunya untuk bertemu. Tentu saja, semua ajakan itu ditolak Jati. Secara tegas, tanpa sedikit pun celah untuk bisa dibantah, khas Jati.
Jati lalu menyandarkan punggung, sedang badannya tetap tegak dengan posisi duduk di atas kursi kayu koridor. Matanya memejam, membiarkan layar ponselnya tetap memancarkan sinar terang.
Sekarang, Bas mengenalnya sebagai Jati di LINE dan juga Gaha di WhatsApp. Buah dari Adis yang meminta izin memberikan ID LINE-nya kepada Bas, yang syukurnya tidak menggunakan nomor serupa dengan akun WhatsApp-nya. Namun, dia tidak tahu kapan Bas akan menyadari kalau dua orang itu adalah satu, dirinya. Satu yang pasti, identitas itu akan lebih mudah terbongkar jika dia terus berinteraksi dengan Adis. Cepat atau lambat.
Dengan Bas yang mengetahui hal itu, tidak mustahil akan muncul pertanyaan terkait Jati. Siapa Jati hingga terus membantu adiknya bahkan saat belum saling mengenal? Juga tanya-tanya lain yang mungkin akan menyulitkannya menyembunyikan identitas.
Lalu, bayangan foto-foto cetak yang menjadi pedoman Adis untuk menentukan destinasi fotografi, juga selalu disertakan ketika mengambil gambar membuatnya mengkhawatirkan satu hal lagi. Bahwa Adis mungkin mencari Radit, dengan harapan yang dia bawa. Sedang jika bersamanya, lambat laun Adis dapat mencium fakta yang susah payah disembunyikannya.
Jati tidak ingin hal itu terjadi. Baginya, cukuplah ketidaktahuan memeluk Adis sampai waktu yang tak tentu, sebab tahu hanya akan menghadirkan sendu.
Namun, kehadiran Prasaji yang jelas mendekati Adis juga tidak luput dari pikirannya. Prasaji jelas hanya akan menghadirkan luka mendalam, jika memang berhasil membuat Adis jatuh cinta. Jati tidak bisa pasif dan bertahan sebagai penonton, sebab dia merasa bertanggung jawab atas gadis itu.
Jati tidak bisa menjauh. Karena Adis yang membutuhkan teman untuk project-nya dan orang seperti Prasaji-lah yang mengulurkan bantuan membuatnya semakin tidak tenang. Juga karena ... dari yang tidak dia sadari, binar mata yang dulunya hanya mampu dia tatap dari layar digital itu kini terus membayang meski di antara mata yang terpejam.
Tahu sebuah fakta lalu terluka ...
atau ...
tetap tidak tahu tetapi terus menyimpan segala ketidaktentuan?
Kamu pilih mana coba? ehee
First Publish: January 20th, 2021.
Revision: February 24th, 2024.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro