11th Day
Ada kalanya aku sama sekali tidak bisa melisankan kata hati. Seperti saat ini. Saat segalanya masih abu, hingga tak bisa kubaca gurat-gurat di dinding kalbu.
📷📷📷
Gaharu Sadjati. Dua kata itu terukir di ID Card yang menggantung di bawah dada, sebagai penanda identitas pemiliknya. Lanyard yang melingkar di leher Jati menjadi fokus Adis, selain dua kata yang di-print di atas kartu identitas pria itu.
Dia menunduk, menunggu giliran interogasi yang sedang berlangsung dalam lingkaran di mana dia berada. Lingkaran berisi enam orang, dengan Jati sebagai satu-satunya mahasiswa non-semester satu.
Kelompok Adis sudah dibagi menjadi dua sama banyak, untuk pendampingan program Internship Care. Lima orang bersama Lina—panitia yang membantu Jati di kelompok ini—dan lima sisanya bergabung di bawah pendampingan Jati. Tentu saja, Adis adalah kelompok kedua, karena di sinilah sekarang dia ada.
Hari Jumat sore, Jati mengumpulkan lima orang itu di koridor gedung kuliah Manajemen, duduk lesehan dengan posisi melingkar, untuk membahas segala hal tentang internship. Di divisi mana mahasiswa baru ditempatkan, adakah teman satu jurusan yang mengikuti magang organisasi yang sama, tanggung jawab apa yang dibebankan, serta project apa yang harus diselesaikan. Hal terakhirlah yang membuat Adis memutar kepala sejak tadi, menghafal kembali jawaban yang telah dirancang di kepala. Tanpa tahu, apakah jawaban itu akan menemui pertanyaan yang sesuai atau tidak.
"Penugasannya hunting foto?"
Ah, giliran Adis sudah tiba. Jati sedang menyimak isian Adis pada formulir yang sudah tersimpan rapi dalam sebuah database, yang kini ditampilkan melalui interface laptop Jati.
"Iya, Kak. Tapi foto yang diambil harus memiliki kesatuan cerita yang utuh. Kayak novel gitu, tapi divisualisasikan lewat gambar." Lancar. Jawaban itu sudah dipersiapkan, karena biasanya Adis akan gugup jika berhadapan dengan Jati. Hal yang baru, karena biasanya Adis selalu bisa mencari jawaban spontan.
Jari-jari Jati menari di atas keyboard, lalu matanya beralih dari layar, mendongak menatap Adis, ketika hendak kembali bersuara. "Memvisualisasikan novel karya orang lain atau diminta membuat konsep cerita sendiri?"
"Membuat sendiri, Kak."
"Terus konsep yang kamu angkat seperti apa? Kenapa pengambilan fotonya harus di banyak tempat?"
Sudah Adis tebak. Pasti Jati akan menanyakannya, karena dalam formulir tidak ada kolom untuk mengisi konsep project yang akan digarap. Bagi pria yang selalu—sejauh Adis mengenalnya—membutuhkan alasan untuk setiap hal, Jati pasti butuh penjelasan mengapa Adis menyebutkan berbagai tempat untuk mengerjakan project di formulir. "Saya mengangkat cerita tentang hari-hari di mana masa lalu masih menjadi bayang-bayang, Kak. Tentang ... seseorang yang setiap harinya ingin menemukan tokoh di masa lalunya yang pergi gitu aja. Nah, intinya foto-foto saya nanti menggambarkan pencarian si tokoh, dengan menyusuri tempat-tempat yang pernah disinggahi sosok yang dicarinya ini." Dan semoga, pencarian si tokoh benar-benar selesai ketika semua foto berhasil diambil. Adis melanjutkan dalam hati. Diam, hening, tidak menyadari puluhan detik yang terbuang dan Jati masih belum menanggapi.
Jati berdeham, menyamarkan perasaan yang mencekat di tenggorokan, membuat Adis ikut kembali ke realitas. "Harus keliling Jogja?" Pria itu kembali pada tugas, memungut profesionalitas yang hampir lebur terbawa angin.
"Iya, Kak?"
"Yakin bisa selesai?"
"Yakin, Kak."
"Berapa persen?"
"Eh?"
Pertanyaan ini tidak begitu Adis kira. Pun tidak ditanyakan kepada teman-teman yang diwawancara sebelum Adis. Mau menjawab berapa persen, dia tidak tahu. Sebab Adis sendiri tidak memiliki parameter untuk mengukur keyakinannya.
"Kalau kamu yakin, harus ada parameternya. Kesiapan kamu berapa persen, planning kamu seberapa jauh. Kalau asal yakin, artinya kamu hanya mengandalkan keabu-abuan, atau bahkan hitam pekat karena tidak memiliki pandangan apa pun. Itu pentingnya rencana, agar kamu punya arahan dan bisa mengurangi risiko ketidakpastian." Jati menatap Adis yang bola matanya berlari ke sana kemari. Saat menyadari gadis itu bingung mau menanggapi seperti apa, Jati mengalihkan pandangan ke layar laptop di pangkuan. Embusan napas diloloskan olehnya.
"Em ... kalau yakinnya, delapan puluh persen yakin, Kak."
"Kenapa delapan puluh persen? Dua puluh persen sisanya masih di mana?"
Mendapat pertanyaan beruntun seperti itu, Adis menautkan kedua tangan. "Em ... saya buta lokasi, Kak. Jadi persiapan buat akses ke destinasi foto masih belum selesai." Jangankan selesai. Punya gambaran mau gimana aja belum. Tentu saja, kalimat itu hanya terluapkan dalam hati. Nyali Adis tidak cukup besar untuk melisankannya.
"Ada kendaraan?"
"Nggak ada, Kak." Adis memang tidak membawa kendaraan ke Jogja. Ribet, juga karena dia belum terlalu mahir mengendarai sepeda motor.
"Bukan masalah besar harusnya. Sekarang ada Google Maps, ada jasa transportasi yang bisa kamu sewa untuk mengantarkan ke lokasi. Kendaraan umum juga banyak."
Nyebrang aja nggak berani, Kak. Gimana mau bepergian sendiri? "Iya, Kak." Lain hati, lain mulut. Mau bagaimana lagi? Adis tidak memiliki keberanian untuk berterus terang.
"Ya sudah. Nanti hubungi saya saja kalau memang masih bingung, atau kalau kamu ragu mau pergi sendiri."
Seketika, mata Adis berbinar. Pria itu menawarkan bantuannya lagi. "Terima kasih banyak, Kak Jati. Kakak baik banget."
Saking antusiasnya, Adis jadi lupa diri. Dia meringis saat Jati meliriknya dari balik layar laptop. "Selanjutnya, himpunan. Ditugaskan untuk andil dalam kepanitian event?" ujar pria itu melanjutkan pembicaraan, benar-benar tanpa menanggapi Adis.
Adis merutuki kebodohannya, juga menahan malu karena perkatannya tidak disambut oleh Jati. Ah, pria itu selalu berhasil menguasai pembicaraan.
Kalau dilihat sekilas, Jati memang terkesan sebagai orang yang gemar menggurui. Namun, entah kenapa Adis tidak bisa mengartikannya demikian. Mungkin karena semua yang dikatakan Jati selalu benar, sehingga Adis tidak pernah keberatan dan membenci perkataan pria itu. Yah, bukan berarti dia tidak merasa terintimidasi. Dia tetap tegang, takut ketika berhadapan dengan Jati. Namun, mendengar sarkasme pria itu tidak pernah membuatnya membenci pemilik suaranya. Malah bagi Adis ... Jati itu mentor yang baik.
***
"Hai."
Selain mengisi formulir untuk Internship Care, Adis juga mengisi formulir di database PRISMA. Hanya soal di mana tempat pegambilan foto akan dilaksanakan, tidak lebih. Sebab konsep foto memang harus dirahasiakan dari anggota PRISMA sampai batas akhir project nanti.
Karena itu, Prasaji tahu kalau Adis hendak menjelajahi Jogja. Karena itu pula, sebuah pesan singkat dari Prasaji masuk ke ponselnya. Pesan yang berujung menanyakan keberadaan Adis saat ini, setelah Prasaji membahas mengapa Adis memilih mengelilingi Jogja, padahal bisa mengambil spot di sekitar kampus saja. Tidak banyak yang dikatakan Adis. Dia hanya berkata, "Emang pengin keliling Jogja aja, Kak" dalam pesan yang dia kirimkan.
Adis tidak memiliki alasan untuk menolak bertemu Prasaji. Itu sebabnya, dia memberi tahu bahwa dirinya sedang di gedung kuliah Manajemen. Hal yang membuat Prasaji kini berdiri dua meter di depannya. Tepat beberapa menit setelah kumpul kelompok bersama Jati tadi selesai.
"Hai, Kak," sambut Adis dengan senyum lebar, begitu pun dengan pria berkacamata di depannya itu.
"Saya nggak ganggu kamu, kan?"
"Nggak, dong, Kak. Ada apa, ya?"
"Saya mau ikut kamu memarafrasakan semesta, Pra. Boleh?"
Memarafrasakan semesta? Istilah macam apa itu? Adis hanya melongo. Berbicara dengan mahasiswa Sastra Indonesia memang serumit ini, ya? "Memarafrasa ... apa tadi, Kak? Aku nggak ngerti."
Prasaji menepuk dahi, lalu terkekeh ringan. Adis sampai lupa dengan kebingungannya tadi, sebab pria berlesung pipi itu membuatnya menjadi tidak fokus. Kak Prasaji manis banget! Begitulah jerit Adis di dalam sana.
"Memarafrasakan semesta, Pra. Maksudnya, menyajikan ulang keindahan semesta dengan cara kita sendiri, dengan fotografi." Masih dengan senyum, Prasaji menjelaskan.
"O-oh." Satu kata itu berhasil diucapkan Adis dengan terpatah, seraya melarikan mata dari senyum manis Prasaji. Kan malu kalau Prasaji menangkap basah dirinya yang terpesona seperti itu.
Prasaji langsung megangguk. "Jadi gimana? Boleh?"
"Eh? Maksudnya Kakak mau nemenin aku hunting foto?"
"Boleh, kan?"
"Beneran, Kak?"
Tidak ada yang lucu, tetapi Prasaji tergelak. Memang bukan karena pertanyaan Adis, tetapi karena gestur sang gadis yang lebih dahulu meniup poni sebelum berbicara, lalu membolakan mata lebar-lebar. Itu ... sangat lucu di mata Prasaji.
"Benar, Pra. Lagi pula kamu belum memiliki teman untuk hunting, kan?"
"Tapi nanti Kakak repot, loh. Kakak kan juga sibuk." Tentu saja, Adis harusnya bersyukur ada yang menawarinya secara langsung seperti itu. Namun, dia juga tidak mau jika sampai merepotkan orang lain.
"Jangan bilang repot, Pra. Saya melakukan ini bukan hanya untuk kamu, tetapi juga untuk saya."
"Oh? Kakak ada project juga? Hunting foto?"
Ada sedikit kelegaan setelah pertanyaan itu. Karena kalau memang memiliki kepentingan yang sama, artinya Adis tidak terlalu membebani pria itu. Sedang seperti tadi, Prasaji masih tampil dengan senyum manis di kulit sawo matangnya.
"Iya, ada project." Adis tersenyum, hendak menanggapi. Namun, lebih dulu Prasaji memotongnya, "Bukan fotografi, tapi untuk merapatkan renggang di antara kamu dan saya."
Adis memang tidak jago bermain diksi. Namun, bukannya dia sama sekali buta dan tak bisa memaknainya. Gadis itu tertegun, meremas udara kosong seperti yang dilakukannya di depan stan PRISMA waktu itu. Gerigi di otaknya berputar, bersama degup yang menggema di dadanya.
Maksudnya ... Kak Prasaji mau pdkt? Sama aku gitu? batin Adis tak percaya.
First Publish: December 7, 2020.
Revision: December 15, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro