Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Minggu sebelumnya pun demikian. Aku dibuat bingung dengan paket tanpa nama si pengirimnya itu. Paket yang sama bentuknya. Sebuah kotak bersampul kertas hitam berpita hitam berkilau. Isinya? Tak perlu ditebak. Karena semua barang yang dikirimkan itu, sudah pasti aku suka. Dan sangat sulit menolaknya.

Hari itu, seperti biasa, aku datang tepat sebelum pukul sembilan pagi. Tidak ada firasat apapun yang kurasakan. Bahkan aku tidak ingat hari spesial apa ketika itu. Yang kuingat hanyalah hari itu hari Rabu. Semua kuanggap seperti biasa.

Sampai di lantai tiga, ketika aku keluar dari lift, teriakan heboh itu bergema. Aku tahu, ini pasti kerja sama yang baik antara bapak-bapak satpam di bawah dengan para staf di sini. Aku terkejut. Memang. Karena aku tidak pernah menyangkanya.

"Kejutaaaan..!!"

Seiring dengan teriakan masal itu, suara terompet berbunyi. Aku terkejut. Staf lain di dalam lift juga sama sepertiku. Ada yang ikut terkejut, karena mereka kerja di lantai empat atau lima, yang memang tidak tahu rencana kegiatan karyawan di lantai tiga. Sementara sisanya tersenyum-senyum menyaksikan kehebohan itu.

Kulihat si bos memegang kue coklat lengkap dengan lilin-lilinnya. Lenna memberi kode agar aku segera mendekat. Sementara yang lain mulai bernyanyi lagu selamat ulang tahun.

"Selamaaat ulang tahun, kami ucapkaaan. Selamaaat panjang umuuur, kita kan doakaaan.. Selamat sejahteraa sehat sentosaaa. Selamaat panjang umur dan bahagiaaaaa." Kompak suara para karyawan di lantai tiga menyanyikan lagu itu.

Aku menjauh dari lift. Pintu lift pun tertutup dan lift menuju lantai berikutnya. Aku mendekati si bos yang mulai memberi kode agar aku mendekatinya. Tepukan tangan, suara terompet, semua kehebohan itu, mengawali cerita pagiku di kantor.

"Tiup lilinnyaa.. Tiup lilinnya.. Tiup lilinnya sekarang jugaa. Sekaraang jugaaa. Sekaraaang juga."

Lagu berganti, mereka memintaku meniup lilinnya. Kupandangi seluruh staf satu per satu. Mereka tampak sama cerianya semua. Aku semakin mendekat ke si bos. Si bos pun menyodorkan kuenya ke arahku supaya aku bisa segera meniup lilinnya. Seiring suara tepukan tangan dan keriuhan suara seluruh karyawan, kutiup semua api di lilinnya hanya dengan sekali embus.

"Udah make a wish belum?" tanya si bos mengejutkanku. Membuatku bengong.

"Ulang," teriak Dian seketika. Cepat-cepat dia nyalakan korek api. Tanpa menunggu aba-aba lagi, api telah menyala di semua lilin di atas kue.

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya," si bos sudah bernyanyi kembali. Yang kemudian diikuti oleh karyawan lainnya.

Aku tercengang. Sebegitu niatnya mereka memberi kejutan juga mengerjai orang, pikirku.

Baru aku mau meniup ulang lilin-lilin tadi, si bos kembali mengingatkan. "Make a wish," bisiknya.

Cepat-cepat aku memejamkan mata. Memikirkan apa yang ingin kuminta, kuharapkan, dan kuperoleh kelak. "I wish all my dreams come true," pikirku saat itu. Aku tidak tahu apa yang mau kusebutkan lagi. Dalam kondisi terdesak seperti saat itu, sangat sulit memikirkan sesuatu yang benar-benar kubutuhkan.

Kubuka mataku, langsung kutiup semua lilinnya. Padam. Asapnya mengepul di sekitar kami.

"Nggak sah! Ulang. Lilinnya ga mati bareng-bareng. Harus sekali tiup," ujar Dian kembali menyalakan korek api gas dan menyalakan kembali semua lilin-lilinnya.

Si bos tertawa. Kembali dia nyanyikan lagunya. "Tiup lilinnya.. tiup lilinnya," senandungnya dengan gembira. Menyodorkan kembali kuenya ke arahku agar segera ditiup.

"Haduuuh," ucapku gemas. Kutarik napas sedalam-dalamnya, bersiap meniup lilinnya dalam sekali tiup.

"Jangan lupa, wishnya," si bos kembali mengingatkan.

Aku mengangguk. Langsung kutiup semuanya sekuat tenaga dalam sekali embusan napas. Padam kembali.

"Ulang," teriak Dian diikuti gelak tawa semua karyawan.

"Sudah.. sudah. Lilinnya lumer ke kue," celetuk Lenna.

Si bos pun menganggukkan kepala tanda menyetujui ucapan Lenna. "Potong kuenya, potong kuenyaa, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga, sekaraaang juga." Si Bos kembali bersenandung.

Senny menyerahkan pisau plastik padaku. Aku menerimanya. Bersiap memotong kuenya.

"Potong kue ada siaran ulangnya juga, nggak?" tanyaku. Memastikan kalau aku tidak bakal disuruh ulang memotong kuenya. Apalagi membuat kuenya utuh kembali.

Si bos terkekeh. "Nggak kok," gelaknya. "Tenang saja."

Aku melirik ke arahnya. Lalu melirik ke karyawan lain. Memastikan kalau mereka tidak berniat mengerjai lagi.

Si bos mengangguk, berusaha meyakinkanku kalau yang kupikirkan tidak akan terjadi. Jadi, secepat kilat kupotong kuenya. Sebelum semuanya berubah pikiran lagi.

Seny menyodorkan piring kertas padaku. Aku mengambilnya selembar. Lalu kuambil potongan kue pertama tadi dengan pisau dan menaruhnya ke piring kertas. Dengan wajah penuh senyum ceria, kuberikan kuenya pada si bos.

"Kamu nggak lihat, ya? Saya kan punya ini," ucapnya seraya mengangkat kue di tangannya dengan raut wajah gembira. Semua karyawan tertawa. Lalu si bos menyerahkan kuenya ke Lenna dan mengambil piring kertas berisi potongan kue dariku. "Selamat ulang tahun, Tian," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Aku menerima uluran tangannya dan menjabat erat tangan si bos. "Makasih, bos."

"Ayo habiskan kuenya, setelah itu kerja lagi kita, nggak ada main-main," kata si bos mengumumkan. Lalu dia kembali ke ruangannya. "Makasih kuenya," ucapnya sambil berlalu.

"Yaaaaa," jawab semua karyawannya serempak. Antara menurut juga kecewa.

"Potong-potong kuenya, Tian," pinta Han tidak sabar.

"Kalian potong sendiri aja, ya. Susah baginya." Aku tertawa. "Satu bagi lima belas."

"Yang penting nyicip," sahut Aya. "Potong-potong aja."

Aku menurut. Kupotong kuenya dengan perhitungan kira-kira. Lalu kuletakkan masing-masing kue di piring kertas yang diberikan Seny. "Habiskan," pintaku, "Jangan sampai bersisa."

Semua mengambil bagiannya masing-masing, lalu kembali ke meja kerjanya. Lenna membantuku merapikan bekas kuenya. Setelahnya baru dia habiskan jatah kuenya. Begitu juga denganku. Jadi, aku ke mejaku tanpa membawa kue lagi. Semua sudah bersih.

"Makasih, guys," ucapku sebelum aku duduk. Kupandangi semuanya dari satu sudut ruangan ke sudut lain. Termasuk ruangan si bos. Aku tahu, dia pasti sponsor tunggalnya.

"Selamat ulang tahuuuun," sahut para staf berbarengan. "Happy birthday!"

Aku tersenyum. "Makasih, semuanya," balasku. Lalu aku duduk di kursiku.

Sejam berlalu. Ruangan kembali hening. Tiap orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ting. Terdengar suara dari arah lift. Pintu lift pun terbuka. Pak satpam muncul dengan sebuah kotak berwarna hitam di tangannya. Dia menghampiri Lenna yang duduk paling dekat dengan lift.

"Mbak, mau nanya, Mbak Tian yang mana, ya?" tanya pak satpam ramah. Dengan senyum tersungging lebar di wajahnya.

Lenna menoleh. "Tian!" teriaknya memanggilku.

Aku yang sedang serius menatap layar monitor, langsung menoleh ke arah Lenna. Aku hapal suara Lenna. "Apa?" tanyaku dengan gerak mulut saja.

Lenna menoleh lagi kepada pak satpam, lalu menunjukku. "Itu yang namanya Tian, Pak," tunjuknya.

Pak satpam mengangguk. "Makasih, Mbak." Lantas dia melangkah menuju mejaku.

"Mbak Tian?" sapa pak satpam saat berada di dekatku.

"Ya," aku mengangguk. "Ada apa, Pak?"

"Ini, ada paket untuk Mbak Tian." Disodorkan kotak berwarna hitam itu padaku.

Aku melongo. "Untukku, Pak?"

"Ya," sahut si bapak keamanan itu sembari menganggukkan kepala.

Aku menerima paket itu. Meski tidak yakin dengan apa yang kuterima. "Dari siapa, Pak?"

Yang ditanya hanya menggeleng. "Anak muda tadi yang antar. Katanya, dia cuma kurir yang disuruh antar barang saja. Pengirimnya tidak menyebutkan namanya. Katanya, antar saja ke Mbak Tian, dia kenal kok sama saya. Gitu tadi pesannya, Mbak."

Aku semakin bingung. Siapa lagi yang kukenal di luar sana. Yang begitu baik hati mau memberiku hadiah tepat di hari ulang tahunku.

"Mm.. Makasih banyak, Pak," kataku pada akhirnya. "Sudah bersedia mengantar ini kemari."

"Sama-sama, Mbak. Sudah tugas kami seperti itu." Disodorkannya padaku buku tanda terima barang. "Ditanda tangan dulu, Mbak."

"Oiya." Kuambil penaku di tempat alat tulis. Kuletakkan paket itu di meja dan kuambil buku si bapak. Lantas menandatangani kolom yang tertulis namaku berikut keterangan barangnya. "Makasih, Pak," ucapku seraya menyerahkan kembali bukunya pada pak satpam.

"Sama-sama, Mbak." Diambilnya kembali buku itu lalu si bapak pamit. "Mari, Mbak."

"Ya, Pak," kataku mengangguk-anggukkan kepala menatap kepergian bapak petugas keamanan. Sementara paket misterius itu masih terdiam manis di meja menantiku membukanya.

Aku pandangi Lenna di mejanya yang juga sedang melihatku. Aku memberi kode padanya, kalau aku tidak tahu siapa pengirim paket itu. Kutunjuk-tunjuk paketnya dan mengangkat bahu dengan bibir dimajukan yang miring ke kiri kanan.

"Buka," pinta Lenna memberi kode. Kurasa dia sama penasarannya denganku.

Aku pun cepat mengalihkan perhatian pada kotak hitam itu. Cantik memang. Karena aku suka warna hitam. Aku raih kotaknya, melihat keseluruhan bungkusnya, dan kutarik pita hitam berkilaunya. Cepat kubuka kertas pembungkus kotaknya. Sebuah kotak hitam lebar yang tipis membuat debaran jantungku tak beraturan. Kuangkat tutup kotaknya dan mataku terbuka lebar melihatnya. Sama lebarnya dengan mulutku yang secara otomatis terbuka. Aku takjub. Sangat takjub. Cepat-cepat aku tutup mulutku dengan sebelah tangan. Yang sebelah lagi segera meletakkan tutup kotaknya di meja.

"Wow!" decakku terkagum-kagum. Aku menoleh ke arah Lenna.

Lagi-lagi Lenna memberi kode agar aku memperlihatkan isinya padanya. Segera kuraih isi kotak hitam itu. Kuangkat isinya ke atas. Dan beberapa pasang mata teralihkan ke benda yang kupegang. Lalu bisik-bisik terdengar.

Aku menoleh ke arah Lenna. Kutunjukkan isi kotak itu padanya. Sebuah gaun hitam cantik yang mewah. Tampak begitu elegan. Aku tahu, gaun itu pasti mahal harganya. Dengan bahan yang sangat halus dan model yang sangat cantik.

"Wow!" ucap Lenna sama terkejutnya denganku. Pandangan kagum juga terlihat di matanya. "Dari siapa?"

Aku menggeleng. Kuletakkan gaun indah itu di meja. Kuteliti lagi kotaknya. Kuperhatikan tiap sudut dan sisinya, luar dalam. Tetap tidak ada yang kucari. Nama si pengirim. Hanya ada merk si kotak, Harvest. Kuputar-putar kertas pembungkusnya yang berwarna hitam. Tidak ada tulisan apa pun. Polos.

Aku menyerah. Menghela napas panjang. Lalu menoleh lagi ke arah Lenna. Kugeleng-gelengkan kepala dan mencibir.

Siapa si pengirim paket?

Lenna kembali menatap tumpukan kertas di mejanya. Beberapa pasang mata yang juga tadi ikut menyaksikan, kembali fokus pada pekerjaannya. Aku menghela napas panjang lagi. Lalu mengambil gaun itu dan melipatnya dengan rapi. Kumasukkan kembali ke dalam kotak. Kututup kotaknya. Kumasukkan ke laci meja kerjaku. Kulipat kertas pembungkusnya serapi mungkin. Kusimpan juga dalam laci yang sama. Pitanya kugulung dan kuletakkan dalam laci juga. Lalu kukunci laci mejanya. Aku mengembuskan napas pedek sekali dan kembali fokus pada layar komputerku.

Tapi ternyata, aku tak bisa fokus. Pikiranku masih tertuju pada gaun indah itu. Siapa yang begitu baik padaku, yang mau membelikan gaun seperti itu untukku. Siapa lagi di luar sana yang mengenalku tapi aku tak menyadarinya. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Aku benar-benar tidak fokus kerja ketika itu.

Aku sangat penasaran! Dan gaun hitam itulah awal dari semua kisah misteri ini bermula.

**

Catatan penulis

Saat publish cerita jumlah katanya 1660, itu yang tercantum di wattpad HP
Di wattpad komputer 1631 kata
Tapi di word, angka yang tertera 1631
Yang kusubmit, 1631 kata...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro