Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Lagi-lagi kulirik mawar hitam di vas bunga hitam berpita hitam itu. Aku tersenyum geli sendiri. Serba hitam. Terkesan kelam dan suram bagi yang tidak menyukai warna hitam. Namun tidak bagiku. Justru aku melihat kesan mewah di sana.

Kring! Aku tersentak. Suara telepon mengejutkanku. Segera kujawab sebelum aku terkena sanksi karena tidak menjawab telepon masuk. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Kerja woi, jangan ngeliatin bunga terus. Nanti si bos marah," sahut suara dari seberang setengah berbisik.

"Iya, ini juga lagi kerja."

"Mana ada, dari tadi kuperhatiin cengir-cengir aja."

Aku tersenyum mengenali si pemilik suara. "Sok tahu kamu, Han." Kulirik Han sekilas.

Yang dilirik pun terkekeh. Lalu diletakkan gagang telepon kembali pada tempatnya. Memberi kode padaku, lalu melanjutkan menyusun kertas-kertas.

Sekilas kulirik mawar itu, lalu kembali fokus pada layar monitor di hadapanku. Belum juga genap lima menit aku mengetik, tiba-tiba pikiranku kembali melayang. "Siapa sih yang ngirim bunga ini?" batinku meradang.

"Han?" Aku berbisik. Kuputuskan menelepon Han yang duduk di sudut ruangan. Aku tahu, Han selalu datang awal setelah si bos. Pasti dia lebih tahu jika dibandingkan yang lain.

"Apa lagi?" jawab suara di ujung telepon.

"Kamu lihat nggak siapa yang antar kotak hitam ini tadi?" Masih aku berbisik-bisik.

"Pak Juni," jawab Han singkat.

"Oh, oke. Makasih, Han." Sambungan pun terputus.

Sebenarnya, aku masih tidak puas dengan jawaban itu. Jadi, kuputuskan untuk mencari tahu jawabannya lebih dalam dari Pak Juni, petugas keamanan di lantai dasar gedung. Memang para petugas keamanan itulah yang dimandatkan untuk mengantar barang pada seluruh staf yang bekerja di sini. Meski terkadang, tidak semua barang diantar oleh mereka. Bisa juga para karyawan yang mengambilnya di pos keamanan di bawah.

Kalau seperti ini keadaannya, menunggu jam istirahat jadi terasa begitu lama. Kerja tidak fokus. Tapi tak bisa juga meninggalkan pekerjaan tanpa alasan. Akhirnya kerjaku saat ini terasa tidak maksimal.

Berulang kali aku terus menatap layar monitorku tanpa melirik sedikit pun pada penampakan bunga di sebelahnya. Sulit memang, tapi sedikit membantu dan berhasil sebentar. Sebelum jam duabelas siang, aku sudah menghilang dari kursiku. Secepatnya aku meluncur ke bawah. Mencari Pak Juni.

"Siang, Pak," sapaku membuka percakapan. "Aku Tian."

"Siang juga, Mbak. Ada yang bisa dibantu?"

"Mau nanya, Pak. Tadi pagi, bapak tahu nggak siapa yang kasih kotak hitam isi mawar hitam itu?"

Pak Juni coba mengingat kembali. "Kayaknya sih kurir. Anak muda. Kenapa memangnya, Mbak?"

"Dia nggak sebut dari mana, gitu?" tanyaku penasaran.

Pak Juni menggeleng. "Dia cuma bilang untuk Tian. Nggak ada pesan apa-apa lagi selain itu. Memang nggak ada namanya disebutin di dalam kotak?" Pak Juni pun ikut penasaran.

"Nggak ada, Pak." Aku sedikit kecewa sebenarnya. Kenapa tak ada informasi yang bisa kudapat. "Bapak yakin dia nggak bilang apa-apa waktu ngasih kotaknya, Pak? Masa Bapak juga nggak tanya-tanya gitu?"

"Iya sih, tadi waktu ditanya, dia cuma bilang, Tian tahu kok. Terus pergi," terang Pak Juni. "Masa iya saya tahan dia di sini buat ditanya-tanya. Padahal dia dah bilang begitu. Ya, saya pikir juga pasti Mbak Tian tahu orangnya."

Aku mengembuskan napas panjang. "Iya ya."

"Apa isinya mengganggu? Atau mengancam Mbak Tian?" Pak Juni semakin penasaran. Juga merasa bersalah karena tidak ketat menerima barang masuk.

"Tidak, Pak. Justru dia tahu banget kesukaanku. Aku jadi penasaran, siapa orangnya." Kutatap Pak Juni penuh pengharapan. Meski aku tahu, tidak akan ada lagi jawaban yang bisa memuaskanku.

Pak Juni manggut-manggut. "Si mbaknya punya pengagum rahasia, ya."

Aku tersenyum. Pengagum rahasia apa, batinku. Aku kan bukan siapa-siapa yang pantas dikagumi sampai dikirimi paket-paket seperti itu.

"Makasih, ya, Pak. Atas informasinya."

"Sama-sama, Mbak." Pak Juni menggangguk. "Kalau Mbak mau, nanti saya infokan ke rekan-rekan yang lain, kalau ada paket untuk Mbak lagi, yang nggak jelas kayak tadi, ditolak saja. Gimana?"

"Ah...." Mendadak aku ragu sesaat. Benar juga yang dikatakan Pak Juni. Tapi aku menikmati dan menyukai bingkisan-bingkisan itu. "Biar saja, Pak. Nggak apa-apa kok. Terima aja," kataku pada akhirnya.

" Mbak yakin, ya?" tanya Pak Juni meyakinkan sekali lagi. Memastikan tidak akan ada saling menyalahkan antara kedua belah pihak dengan keputusan yang kubuat.

Aku mengangguk mantap. "Iya, Pak. Makasih banyak."

Pak Juni tersenyum. "Sama-sama, Mbak. Sudah kewajiban kami menjaga keamanan dan ketenangan di sini."

Aku ikut tersenyum. "Aku istirahat dulu. Bapak nggak istirahat?"

"Gantian dengan yang lain, Mbak. Nanti nggak ada yang jaga."

"Mari, Pak." Aku tersenyum kembali lalu pergi ke kantin.

"Ya, Mbak," sahut Pak Juni dengan kesopanan yang sangat terjaga.

Batinku masih merasakan ketidakpuasan atas jawaban yang kuperoleh. Cepat-cepat aku pergi ke kantin. Sesegera mungkin aku makan siang itu lalu kembali ke mejaku buru-buru. Aku sangat penasaran! Dan semakin penasaran karenanya.

Siapa pengirimnya?

Aku ambil kotak-kotak hitam dari bawah mejaku. Kubongkar semuanya. Membolak-balikkan setiap sudutnya. Memeriksa setiap bagiannya dari luar hingga ke dalam kotak. Mencari celah-celah yang mungkin terlewatkan. Nihil. Tetap tidak ada catatan atau kartu yang disematkan. Tak ada nama si pengirim. Aku mendesah. Benar-benar misterius.

"Kamu nggak makan?" tanya sebuah suara dari belakang.

Aku tersentak kaget. Kulihat si bos sudah berada tepat di belakangku. "Eh, sudah, bos."

"Kapan? Baru setengah satu sudah selesai makan?" tanyanya keheranan.

Aku tersenyum. "Sudah lapar tadi," jawabku santai. Meski sebenarnya aku tidak lapar sama sekali. Aku hanya terlalu penasaran dan tidak fokus kerja. Tidak mungkin kan aku mengatakan yang sejujurnya pada atasanku. Bisa-bisa beliau murka padaku.

Si bos memperhatikan kotak-kotak hitam di dekatku. "Kamu dapat paket lagi?"

"Iya," jawabku seraya menganggukkan kepala. Lalu menunjuk mawar hitam di samping monitor. "Itu."

"Wow!" Hanya itu yang terucap dari mulutnya.

Aku melirik sekilas pada si bos. Tak tahu lagi mau senyum atau diam. Si bos pun tampaknya antara bingung tapi juga kagum.

"Ya, sudah. Saya makan, ya," ucapnya seraya meninggalkanku.

Aku mengedarkan pandangan. Baru kusadari, tadi aku tak lagi melihat kiri kanan saat masuk.

"Van, nggak makan?" tanya si bos pada Vandi di sudut ruangan.

"Makan," jawabnya. Lalu segera berdiri menyusul si bos. Dan keduanya menghilang dari pandangan.

Aku yang hampir frustasi karena penasaran, kembali merapikan kotak-kotak hitam itu ke bawah meja. Seraya jongkok, kulirik kembali kotak-kotak itu. Merk yang sama. Warna yang sama. Bahan yang sama. Hanya ukuran yang berbeda. Harvest Box, kata yang tertera di setiap kotak. Hanya itu yang kudapat.

Setelah rapi, aku kembali duduk dan melanjutkan pekerjaan. Memang tidak tenang, tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi. Tidak mungkin kan aku teriak-teriak sendiri seperti orang gila. Bukan jawaban yang kudapat, justru pekerjaanku bisa hilang seketika.

**

Catatan Penulis

Saat publish cerita jumlah katanya 1068, itu yang tercantum di wattpad HP
Tapi ternyata saat dicopy paste ke word, angka yang tertera 1041
Dan aku lupa berapa kata yang kusubmit...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro