Bab 1
Seperti biasa, aku selalu datang ke kantor, menjelang jam sembilan pagi. Batas terakhir jam masuk kerja atau aku akan dinyatakan terlambat jika datang lewat dari jam sembilan. Biasanya sudah banyak staf lain yang datang. Bahkan boleh dikatakan, akulah yang selalu datang terakhir setiap hari.
Si bos? Tak perlu ditanya. Dia yang selalu datang lebih awal. Baginya, memberikan contoh yang baik pada karyawannya itu adalah suatu kewajiban. Karena dia tidak mau karyawannya berpikir, mentang-mentang dia seorang atasan, bisa berbuat sesuka hatinya.
Terkadang aku ingin menirunya. Atau bahkan mendahuluinya. Namun usaha itu selalu gagal. Aku tak pernah berhasil. Selalu saja datang terakhir. Mungkin memang sudah takdirku selalu datang terakhir. Sama seperti saat aku datang ke dunia, menjadi yang terakhir dalam keluargaku.
Kesendirianku ketika itu belum berakhir, saat keluarga besarku datang. Sayang, mereka tak peduli padaku. Saudara-saudara ibuku, tak ada yang mau mengadopsiku. Mereka menyerahkanku pada panti asuhan. Saudara ayahku pun demikian. Malah mereka tak pernah datang. Mereka tak peduli atau mereka memang tak tahu. Aku pun tak mengerti ketika itu.
Yang aku tahu selama ini, orang-orang di panti asuhan selalu menceritakan hal yang sama berulang kali. Orang tuaku meninggal saat kecelakaan menuju rumah sakit bersalin kala badai menerjang.
Bersyukur, orang-orang di panti asuhan begitu baik dan saling menyayangi. Meski aku pun tak pernah diadopsi siapa-siapa. Aku terus berjuang yang terbaik. Demi diriku sendiri. Juga demi semua orang-orang baik yang kukenal di panti asuhan.
Beruntung, aku langsung mendapatkan pekerjaan begitu tamat sekolah. Aku mengurungkan niatku kuliah, karena aku ingin kerja lebih dulu. Meninggalkan panti asuhan karena tak ingin merepotkan orang-orang di sana. Juga berusaha menabung sebisa mungkin untuk masa depanku. Melanjutkan jenjang pendidikan ke bangku kuliah.
"Pagi, Tian. Ada bingkisan lagi tuh," sapa Lenna di depan pintu. Menunjuk ke arah mejaku.
"Pagi juga," jawabku. Melihat Lenna lalu melihat mejaku.
Rekan-rekan kerjaku yang lain melihatku. Memperhatikan ekspresi wajahku. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku terlalu fokus pada bingkisan di meja kerjaku.
Kami bekerja dalam satu ruangan besar di lantai tiga. Masing-masing karyawan mendapatkan mejanya sendiri. Tak ada sekat yang membatasi. Semua orang bisa saling melihat. Ada telepon di setiap meja hingga mereka tak perlu saling berteriak memanggil atau berbicara.
Si bos, berada di sudut ruangan, dalam satu kamar tersendiri. Ruangannya sebagian besar adalah kaca sehingga pandangannya tidak terbatas pada karyawan-karyawannya.
Aku tiba di mejaku. Pandanganku masih tertuju pada bingkisan di mejaku. Kotak berpita yang terbungkus rapi. Sangat cantik dan menarik meski warnanya hitam. Dan terkesan kelam.
Mawar hitam.
Aku memang suka sekali pada mawar hitam. Namun aku tak pernah mengharapkan akan mendapatkannya. Dari siapa pun. Aku tidak pernah punya kekasih meski umurku sudah dua puluh tahun. Aku memang tidak terlalu berharap pada urusan yang satu itu. Toh, aku masih muda. Masih panjang jalanku untuk menuju ke sana. Aku masih mau berkarier. Aku masih mau kuliah.
Teman-temanku juga tidak terlalu banyak. Bukan aku menutup diri untuk bersosialisasi. Hanya saja terkadang aku sulit berteman dengan banyak orang. Terutama saat aku masih duduk di bangku sekolah. Banyak diantara mereka yang senang merundung. Hanya karena aku anak panti asuhan. Tidak punya ayah dan ibu. Sebenarnya, apa salahku, bukan aku tidak mau punya ayah dan ibu. Bukan juga mereka yang membuangku. Akan tetapi memang aku yang kehilangan mereka saat aku dilahirkan. Jadi, kenapa harus merundungku hanya karena hal sepele seperti itu.
Beruntung saat ini, rekan-rekan kerjaku tidak seperti itu. Mereka tidak terlalu memedulikan latar belakangku. Meski aku tahu tidak semua orang bisa menjadi teman baik. Karena jalan pikiran setiap orang berbeda. Watak setiap orang juga berbeda. Dan tidak semua orang mau menerima kelebihan dan kekurangan kita. Namun bekerja di sini membuatku nyaman. Mereka bisa bekerja sama dengan baik dalam banyak hal. Dan aku suka itu.
"Mawar hitam...," gumamku pelan. "Sangat cantik."
Semua orang memerhatikanku. Aku tahu, mereka sangat penasaran. Sama sepertiku. Namun aku sama seperti mereka juga. Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Ya, tidak ada yang tahu siapa pengirimnya. Aku bahkan tidak punya ide, siapa orang di balik hadiah-hadiah yang selalu tiba di meja kerjaku. Aku merasa tidak punya penggemar yang begitu mengerti tentangku.
Kotak kecil hitam panjang. Terbungkus kertas hitam rapi. Dengan pita hitam menghias cantik di tepinya. Serba hitam. Seperti itulah penampakan paket-paket itu tiba di mejaku. Kotak serba hitam.
Hitam. Warna kesukaanku. Hanya itu yang kutahu, siapa pun dia, dia tahu aku suka warna hitam. Dan itu tentu saja membuatku semakin penasaran.
Kuletakkan tas selempangku di laci meja seperti biasa. Kutarik kursiku, lalu aku duduk. Kuraih bingkisan hitam itu. Dari sisi plastik transparannya, terlihat jelas mawar hitam di dalamnya. Sangat cantik, seperti itulah kesan yang kudapat. Dengan pembungkus yang begitu menawan, mawar itu terlihat sangat mewah. Semakin membuatku terpesona. Seolah si pengirim tahu betul bagaimana memperlakukanku dengan istimewa.
Kutarik pita hitam berkilaunya. Lalu kubuka pembungkusnya, kertas hitam cantik yang membungkus kotak itu dengan sedemikian rupa sehingga lapisan plastiknya tidak tertutup dan bunganya tetap terlihat. Kubuka tutup kotak hitamnya. Tampaklah dengan jelas dua tangkai bunga mawar hitam yang cantik. Kukeluarkan keduanya dari kotak hitam itu. Kuamati keindahan bunganya lalu kucium aromanya. Sangat harum semerbak. Aku suka.
Aku menoleh ke sekelilingku. Seraya tersenyum, kupamerkan dua tangkai mawar hitamku pada staf yang lain. Beberapa dari mereka menunjukkan raut wajah kecewa. Beberapa orang membalas senyumku. Ada yang cuek. Bahkan ada juga yang langsung bergunjing. Ada yang langsung melanjutkan pekerjaannya. Ada yang masih tetap santai.
"Cantik," aku masih menggumam. Memandangi dua tangkai bunga itu dengan takjub. Sepertinya aku benar-benar terpesona dibuatnya.
Kuletakkan bunga itu di meja dengan hati-hati, lalu kubuka laci meja yang paling atas. Satu-satunya laci meja yang bisa kukunci. Kuraih kotak hitam berpita senada itu perlahan. Kotak berbahan sama dengan kotak mawar yang baru saja kuterima. Bahkan pitanya pun berbahan sama dan berkelip memukau. Kotak itu kubuka dan kukeluarkan isinya. Sebuah vas cantik berwarna hitam dengan ukiran kecil-kecil berwarna merah tua.
Kuambil mawar-mawar tadi, kucium sekali lagi keharumannya, dan kumasukkan dalam vas hitamnya. Benar-benar serasi. Anggun dalam balutan hitamnya. Cepat-cepat kuambil pita-pita bekas pengikat kotak kadonya, lalu kurangkai sedemikian rupa dan kuikatkan pada vas tadi.
"Benar-benar cantik!" seruku pelan. Aku suka sekali. Kuletakkan tepat di sisi monitor komputerku. Bersebelahan dengan tempat alat-alat tulisku. Kupandangi dengan penuh kekaguman. Aku tahu, pasti saat itu wajahku merona.
Buru-buru kurapikan meja kerjaku. Kututup semua kotak-kotak tadi. Meletakkannya dengan rapi di bawah meja. Menarik napas panjang dan mulai berkonsentrasi pada kerjaan hari ini. Aku tidak mau si bos menangkap basah aku yang menatap kagum seharian pada mawar hitam yang entah dari mana asalnya.
"Nanti kucari tahu siapa orangnya," batinku menghibur diri. Juga menyemangati diri sendiri agar tidak terlena terlalu lama.
***
Catatan Penulis
Saat publish cerita jumlah katanya 1101, itu yang tercantum di wattpad HP
Tapi ternyata saat dicopy paste ke word, angka yang tertera 1075
Yang sudah ke submit, 1101 kata...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro