Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Orang pertama yang pulih dari keterkejutan adalah Marisa. Memiringkan kepala menatap Victoria, seakan ingin menelanjangi dan mencari semua hal yang tersembunyi dari Victoria. Mengernyit saat Sebastian dengan tenang membantu menuang teh. Keduanya saling pandang dengan tatapan penuh binar cinta.

"Aku pernah mendengar sedikit cerita tentang Isabela, tunangan dari Sebastian. Orang-orang mengatakan kalau Isabela adalah gadis yang lemah lembut."

"Memang, tunanganku adalah perempuan yang baik hati dan lemah lembut," tukas Sebastian pelan.

"Benarkah? Tapi kenapa aku nggak merasa begitu. Maaf, kalau kata-kataku dirasa kasar. Nggak ada maksud menghina hanya sekedar ingin tahu saja."

Victoria menatap langsung pada Marisa. "Apa yang ingin kamu ketahui? Penasaran bagaimana aku mengenal Victoria? Kami saling sapa di butik, kebetulan menyukai warna pakaian yang sama. Saat kejadian itu, kami sedang berada di ruangan yang sama."

Teddy meneguk ludah, menatap Victoria ingin tahu. "Hanya itu? Kamu mengenal istriku, maksudku adalah Victoria hanya sekedar itu?"

"Benar, hanya itu dan terjadi secara kebetulan." Victoria memasukan sebongkah kecil gula batu ke dalam cangkir, menyesap perlahan seakan tidak peduli pada wajah Teddy yang memucat. Laki-laki itu sedang bersandiwara, berpura-pura sedih dan terkejut mendengar ceritanya. Laki-laki brengsek yang pintar memutar fakta.

"Memangnya kamu nggak tahu kalau Isabela dan Victoria berada di ruangan yang sama? Kita pernah bicara soal ini sebelumnya," tegur Sebastian pada Teddy yang berpura-pura terkejut. "Takdir Tuhan berkata lain, istrimu nggak selamat sedangkan Isabela diberika satu kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup. Hidup memang aneh bukan?"

Teddy mengangguk cepat. "Memang, takdir Tuhan sangat aneh dan nggak ada yang bisa menebak."

Mereka mulai menyantap hidangan, dengan percakapan didominasi oleh Teddy. Laki-laki itu menceritakan soal perkebunan yang sekarang dikelolanya dan menyinggung usaha Marisa di bidang garmen yang membutuhkan investor.

"Maaf, boleh tanya sesuatu?" Victoria menyela perkataan panjang lebar dari Teddy.

"Ya, silakan. Mau tanya apa, Isabela?"

"Kamu bilang barusan kalau sekarang yang mengelola perkebunan adalah kamu. Tapi seingatku Victoria bercerita kalau dia punya kakek yang masih hidup."

"Oh, soal itu. Kirain mau tanya apa?" Marisa yang menjawab dengan senyum kecil di bibirnya. "Biar aku yang menjelaskan kalau begitu. Mertua suamiku alias Kakek Yasino Yard memang masih hidup tapi kondisinya buruk."

"Dia sakit?" tanya Victoria cepat. Kekuatiran membuatnya melupakan penyamaran.

"Penyakit tua, sesak napas, kolesterol, dan jatuh di kamar mandi. Jadi sekarang dirawat oleh orang. Karena memang tidak bisa apa-apa lagi. Maklum,orang tua! Merepotkan tapi mau gimana lagi?"

Victoria meremas pinggiran taplak. Dadanya berdebar tidak nyaman mendengar cerita Marisa. Kelihatan dengan jelas bagaimana perlakukan Marisa pada sang kakek, meskipun berusaha untuk ditutupi. Teddy pun tidak menyanggah perkataan sang istri, justru menambah dengan beragam cerita yang dibuat-buat. Kesan yang ingin mereka buat adalah kehadiran sang kakek merupakan beban yang harus ditanggung.

"Kakek Yasino orang yang cukup keras kepala. Kami menawarkna agar beliau tinggal di panti jompo tapi menolak. Katanya ingin tetap berada di samping Victoria. Padahal istriku sudah tidak ada. Akhirnya, kami tempatkan beliau di rumah perkebunan. Dekat dengan makam Victoria."

Kalau tidak ingin sedang menyamar, Victoria ingin menyambar garpu dan piasu lalu menusuk jantung Teddy. Ingin mengoyak dada laki-laki itu hanya untuk tahu apakah masih ada rasa kemanusiaan di sana. Bisa-bisanya memperlakukan orang tua yang selama ini sangat baik padanya dengan begitu kejam. Rumah di tengah perkebunan sudah tua dan nyaris ambruk karena cuaca. Victoria menghela napas panjang, terkoyak antara tetap melakukan penyamaran atau membuka jati diri. Kemarahan tidak bisa membuatnya makan dengan tenang. Meski begitu tetap harus berpikir jernih.

Kalau sekarang ia membuka penyamaran, tidak akan ada yang percaya karena wajahnya sudah berubah total. Semua orang akan menganggapnya gila, bisa-bisa masuk rumah sakit jiwa karena ini. Bisa gagal rencananya untuk mengetahui siapa pembunuh Isabela dan dirinya. Berusaha untuk tetap fokus, Victoria meyakikan diri kalau semuanya akan baik-baik saja asalkan kakeknya masih hidup.

"Kenapa wajahmu mendadak pucat, Sayang?" tegur Sebastian. Meraih jemari Victoria dan meremasnya. "Dingin sekali. Ada apa?"

Victoria tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, Sayang."

"Mau pulang sekarang?"

"Kita selesaikan pembicaraan ini baru pulang."

Sebastian menatap Victoria dengan kuatir. Sebenaranya ia sudah merasa ada yang salah saat melihat Victoria duduk tegang. Tidak seperti biasanya, kali ini terlihat sangat berbeda. Seolah duduk di atas kursi dengan bantalan paku tajam. Ia tidak ingin menduga-duga, hanya berpikir kalau tunangannya tidak menyukai Teddy dan Marisa, tanpa tahu apa alasannya. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan tunangannya dan istri Teddy sebelum kecelakaan?

Mereka melanjutkan makan dengan sedikit terburu-buru. Teddy sekali lagi mendominasi percakapan, mengungkit tentang perusahaan Marisa berulang kali. Sebastian tahu kalau Teddy sedang mengincar investasi darinya.

"Aku mau ke toilet dulu," pamit Sebastian.

Victoria mengangguk. "Iya, Sayang."

Tidak sampai satu menit Marisa juga berpamitan ke toilet, meninggalkan Victoria dan Teddy hanya berdua di meja makan. Keduanya saling pandang dengan dada Victoria dipenuhi dendam. Membayangkan bisa membunuh Teddy sekarang dan merebut kembali apa yang menjadi miliknya. Genangan darah, Teddy terkapar tidak bernyawa, serta kemenangan atas dendamnya membuat Victoria menghela napas panjang. Mengingatkan diri untuk tidak tenggelam dalam bayang-bayang yang membuat hatinya menjadi kelam.

"Isabela, namamu cantik sekali."

Rayuan Teddy membuat Victoria mengangkat sebelah alis. "Terima kasih."

Teddy terkekeh. "Jangan buruk sangka dulu, aku serius mengatakan kalau namamu memang sangat indah. Nggak heran karena kamu memang cantik."

Victoria menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Rupanya begini sifat Teddy yang sebenarnya, tanpa sepengetahuan Marisa merayu dan genit dengan perempuan lain. Ia yakin saat status mereka masih suami istri, Teddy juga melakukan hal yang sama.

"Teddy, aku rasa perkataanmu tidak cukup sopan untuk diucapkan."

"Kenapa? Aku hanya memujimu."

"Benarkah?"

"Tentu saja, Isabela. Aku memujimu dengan sepenuh hati. Isabela yang cantik dan lembut. Sebastian memujamu, mengatakan kalau kamu tunangan terbaiknya."

"Sebastian bertunangan hanya denganku, kenapa aku menjadi yang terbaik? Nyatanya hanya ada aku."

Teddy menyeringai, mengangkat kedua tangan di depan dada. "Ups, aku salah bicara lagi rupanya. Bagi Sebastian kamu bukan hanya tunangan paling baik tapi juga yang paling dicintainya."

Victoria tidak menanggapi perkataan Teddy. Ia menatap tajam pada mantan suaminya yang sedang tersenyum menggoda. Bagaimana reaksi Teddy kalau ternyata istrinya masih hidup? Sudah pasti marah karena rencana untuk menguasai rumah dan perkebunan kandas. Salah satu hal yang paling disesali dalam hidup adalah menikah.

"Teddy, kamu nggak penasaran apa yang dikatakan mantan istrimu padaku saat kami berada di butik."

Wajah Teddy menggelap mendengar perkataan Victoria.

"Kamu pasti berpikir kalau kami bertemu hanya beberapa menit. Apa yang bisa dibicarakan?" Victoria mengibaskan rambut ke belakang dan mengetuk permukaan meja dengan jarinya. "Padahal kami lama sekali di dalam. Mungkin dua jam atau lebih. Mengobrol banyak hal dan tebak, apa yang Victoria katakan tentang kamu?"

Teddy menandaskan minumannya, tersenyum sambil mengangkat bahu. "Aku nggak peduli apa yang Victoria katakan padamu. Istri pertamaku sudah mati, alangkah lebih baik kalau kamu tidak mrengungkitnya lagi. Kasihan Marisa kalau mendengar kita bicara soal Victoria."

Victoria hanya mengangkat bahu dan memalingkan wajah ke arah pintu. Kebeciannya pada Teddy sangat besar hingga nyaris mencekiknya. Ia berharap Sebastian cepat kembali dan membawanya pergi dari hadapan Teddy.

"Isabela, aku penasaran akan satu hal dan semoga kamu memberiku jawaban." Victoria menatap mantan suaminya sekarang. Teddy meneruskan perkataannya. "Kenapa tindak-tandukmu sangat mirip dengan Victoria. Tidak hanya itu, suarmu pun sama persis dengan Victoria. Kenapa bisa begitu Isabela?"
.
.
Tersedia di google playbook.
https://play.google.com/store/books/details?id=tVojEQAAQBAJ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro