Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16

Rumah tua yang cukup besar berdiri di tengah perkebunan. Sekilas tidak ada tanda-tanda kehidupan karena keadaan lengang. Angin bertiup sepoi-sepoi, melambaikan dedaunan serta pohon yang tumbuh mengitari rumah. Ada vas bunga besar berisi bunga yang mulai, dipajang dekat jendela soal pertanda kalau di rumah ada yang menghuni. Jendela besar dengan kaca buram, atap yang lapuk, bagian teras malah ambruk sebagian. Takutnya saat badai rumah itu tidak akan bertahan lama.

Bukan hanya suasana rumah yang suram, halamannya pun sama. Cenderung angker karena ditumbuhi rumput tinggi dan lebat. Sepeda tua dan berkarat tergeletak di halaman yang panas oleh matahari. Rumah tua itu seolah tidak tersentuh kesibukan para pekerja perkebunan.

Semua keheningan itu dipecahkan oleh batuk-batuk kecil dari dalam kamar. Tak lama terdengar suara air dituang, gemerincing perlatan makan, dan suara perempuan.

"Tuan, diminum dulu obatnya."

"Obat terus."

"Dari tadi Tuan batuk nggak berhenti."

Di dalam ruang tamu dengan sofa besar yang usang, seorang laki-laki tua dan kurus duduk dengan napas tersengal. Di sampingnya seorang perempuan setengah baya berwajah bulat menyodorkan segelas air putih dan beberapa butil pil. Si laki-laki tua meminum obat dan mengernyit karena pahitnya obat. Perawatnya membawakan makana keci berupa biskuit keju untuk menghilang sisa rasa pahit dari obat.

"Musim panen?" tanya si laki-laki pada perawatnya.

"Iya, Tuan."

"Bagaimana hasilnya?"

"Kurang bagus, Tuan."

"Kenapa?"

Si perawat menggigit bibir, duduk di sofa dan menatap pintu lekat-lekat. Seolah takut akan ada satu sosok yang mendadak muncul dan menggigitnya. Ia belum terbiasa untuk membicarakan masalah ini tapi tidak tahan untuk tidak bicara.

"Tuan, semenjak Miss Victoria nggak ada. Hasil perkebunan nggak sebagus dulu, belum lagi masalah pengiriman yang lelet. Kata mereka hasil kebun berkurang karena serangan hama tapi sebenarnya—"

"Sebenarnya apa?"

"Mereka menggunakan alasan itu untuk mengurangi jumlah buruh. Memotong pengeluaran untuk gaji buruh, dan membuat buruh yang masih bekerja menjadi kelelahan karena terlalu dipaksa."

Yasino menghela napas panjang, menatap alang-alang dan rumput tinggi yang menutupi pandangan. Semenjak Victoria meninggal, ia diasingkan di rumah tua yang setengah hancur ini. Tidak berdaya untuk menolak karena tubuhnya yang sakit-sakitan. Setiap hari merasa lemas, lelah, dan napas tersengal. Setitik emosi yang timbul bisa membuatnya pingsan. Karena itu ia harus tetap tenang meski hidup dalam ketidakadilan.

Rumah besar, beberapa mobil, serta pekerbunan luas adalah asetnya yang sudah menjadi milik Victoria. Ia percaya dengan cucu satu-satunya itu kana mampu meneruskan usaha keluarga. Victoria memang hebat dan bisa diharapkan, tidak sampai lima tahun menjadi pimpinan, perkebunan berubah menjadi makin luas dan mencetak keuntungan yang tidak sedikit. Semua berubah saat Victoria bertemu dengan Teddy dan terlena karena rayuan.

Yasino selalu menyesali diri karena tidak memaksa Victoria untuk bergaul dengan orang-orang di kota. Terperangkap di perkebunan untuk bekerja dan belajar, menjadikan Victoria perempuan yang mandiri dan hebat tapi kurang pengalaman dalam hubungan sosial. Akibatnya, jatuh cinta membabi buta pada Teddy dan berakhir dengan kematian tragis. Sampai sekarang Yasino belum bisa menerima takdir cucunya.

"Perkebunan jadi hancur, Tuan. Buruh setiap hari mengeluh, dan parahnya lagi adalah ...." Betty, si perawat menggigit bibir. Bingung antara bicara jujur atau menutup informasi sebagian. Ia tidak suka melihat Yasino sedih. Tapi informasi terusan darinya takut menjadi bumerang untuk kesehatannya.

"Betty, kalau mau bicara sekalian saja. Jangan dipotong-potong. Ada apa?"

Betty menghela napas panjang dengan wajah muram. "Laki-laki itu dan istri barunya suka bertingkah seperti binatang, Tuan. Bersetubuh di sembarang tempat dan membuat para buruh mual."

Yasino menghela napas panjang dan kembali terbatuk. Ia tidak pernah suka denga Teddy tapi berusaha menerima kehadirannya demi Victoria. Ternyata makin hari kelakuan Teddy makin parah dan membuat muak. Ia marah saat tahu Teddy akan menikah lagi padahal jasad Victoria baru dikubur. Tanah merah itu belum mengering dan sudah ada perempuan lain di kamar tidur cucunya.

"Setelah ibu dan adik, sekarang istrinya. Tuan, rumah besar itu menjadi hak milik mereka. Meminta sedikit makanan ke sana saja sulit, padahal saat Miss Victoria masih hidup, Tuan nggak pernah kekurangan apa pun."

Yasino memejam, sepenggal kesedihan menguar dalam dadanya. Ia tidak suka menjadi tua dan sakit-sakitan begini, tidak berdaya dan menjadi bulan-bulanan dari Teddy dan keluarganya. Rumah besar itu adalah rumahnya, perkebunan luas ini adalah miliknya dan kini semua berpindah menjadi nama Teddy.

"Betty, antar aku ke makam cucuku sore ini. Aku rindu padanya."

"Iya, Tuan."

Satu-satunya cara bagi Yasino menebus kesedihan dan penyesalan adalah duduk di kursi roda dan memandangi makam Victoria yang berada di belakang rumah. Ia sangat merindukan cucunya itu, menginginkan Victoria hidup kembali dan menjalani hidup yang jauh lebih baik.

"Betty, apakah Tuhan sekejam itu pada manusia sepertiku? Kenapa Tuhan tidak mengambil nyawaku saja? Kenapa harus Victoria? Kenapa, Betty?"

Sama seperti Yasino, diam-diam Betty terisak. Teringat akan Victoria yang cantik, mandiri, dan baik hati. Hidup semua orang yang ada di perkebunan ini berubah begitu Victoria tidak ada. Betty sendiri juga bertanya-tanya, kenapa Victoria yang tangguh harus mati muda.

**

Victoria menyesap minumnya dalam diam, mendengarkan percakapan antara Sebastian dan Teddy. Mengamati bagaimana sikap Teddy setelah hampir satu tahun tidak bertemu. Mantan suaminya itu tidak berubah, bicara dengan nada menggebu-gebu, penuh percaya diri tapi terdengar bagai omong kosong belaka. Setelah mengenal Sebastian dan memahami bagaimana sikap laki-laki pintar serta tangguh yang semestinya, ia menyadari kalau Teddy tidak lebih bagai boneka dengan otak yang kosong.

"Hasil panen dari perkebunan kami memang berkurang pada musim panen ini."

Teddy bicara sambil melirik sekilas ke arah Victoria. Namun tidak mengatakan apa pun. Begitu pula Marisa yang berada di sampingnya. Perempuan berdada besar dengan rambut pirang itu hanya tersenyum dan matanya bukan tertuju pada suami atau pun Victoria, melainkan pada Sebastian.

"Kalau memang berkurang, bukankah menggunakan satu jasa pengiriman saja sudah cukup?" tanya Sebastian. Memanggil pelayan untuk meminta teh hangat dan mengganti minuman dingin Victoria. "Jangan minum coctail terlalu banyak, ada alkoholnya. Kamu belum terlalu pulih. Lebih baik minum yang hangat saja."

Victoria mengangguk, tidak keberatan saat minuman dinginnya diangkat dan diganti teh poci hangat.

"Oh, aku salah memesan. Maaf, aku pikir kita semua orang dewasa jadi minum coctail akan sangat pas." Marisa terkejut dan berujar dengan tidak enak hati.

Sebastian menggeleng tanpa senyum. "Tidak masalah, Nyonya."

Teddy menyeringai, menatap jemari Sebastian yang menangkup jemari Victoria. "Wah, aku nggak menyangka ternyata Tuan Sebastian adalah laki-laki yang sangat perhatian dan penuh cinta."

"Ini hanya hal kecil, Teddy. Perhatian dasar untuk pasangan. Bukankah aku bilang sebelumnya untuk memanggilku nama saja?"

"Ah ya, benar juga. Memang sudah semestinya pasangan bersikap saling perhatian dan mesra satu sama lain. Aku dan Marisa pun begitu."

Teddy merangkul pundak Marisa dan keduanya bertukar tatapan penuh cinta. Victoria menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Pamer kemesraan antara Teddy dan istrinya membuatnya muak dan marah. Apakah ia cemburu? Tentu saja tidak. Marah karena tahu kalau Teddy bukan orang baik tapi tidak ada yang bisa dilakukannya.

"Kalian terhitung pengantin baru bukan?" tanya Sebastian.

"Memang, baru setengah tahun lebih dikit. Sebastian sendiri kapan ada niat untuk menikah?" tanya Marisa dengan penuh semangat. Tidak bisa menyembunyikan binar memuja di matanya untuk Sebastian yang tampan dan menawan. Sosok Sebastian jauh lebih berwibawa dari pada Teddy. "Jangan-jangan Sebastian belum ada keinginan untuk menikah? Apakah menjadi bujangan lebih menyenangkan dari pada menjadi suami?"

Entah bagaian mana yang lucu, Teddy terkekeh mendengar perkataan istrinya. "Percayalah Sebastian, tidak ada yang salah dengan menikah. Ada perempuan yang mengurus dan merawat kita itu hal yang menyenangkan."

Sebastian menaikkan sebelah alis. "Aku nggak bilang anti menikah. Hanya tidak dalam waktu dekat. Isabella belum sepenuhnya pulih dari kecelakaan."

Victoria menyesap teh hangat, menyela percapan mereka dengan lembut. "Kalau nggak salah, istri pertama Teddy juga korban dari kecelakaan itu. Namanya Victoria dan aku mengenalnya dengan baik."

Teddy tercengang mendengar suara Victoria. Seolah mengenali suara itu tapi tidak tahu milik siapa.
.
.
Di Karyakarsa Ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro