Withered Alyssum
Matahari baru naik dua penggalah di ufuk timur. Menyorot rimbun dedaunan yang menyembul di antara rantin-ranting kokoh. Sesekali terdengar suara gesekan antardahan yang cukup nyaring, saat itu pula burung-burung kecil berkicau dan berhambur dari balik dedaunan. Udara mulai menghangat, walaupun salju musim lalu yang telah melebur dan merembes ke dalam tanah masih sanggup dirasa. Berbagai rumpun tanaman bunga mulai menumbuhkan diri dari dalam tanah basah. Mengisyaratkan pada dunia bahwa musim semi tengah berlangsung.
Di balik rengkuhan selimut, di dalam kamar yang belum sanggup mentari meneranginya, Chamomile meringkuk. Membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan selimut bulu domba. Kicauan burung yang kian bising membuat telinganya berdengung. Lagaknya alam tak mengizinkannya untuk mengabaikan musim semi.
Chamomile membuka matanya paksa. Lantas, mendudukan dirinya di atas ranjang sembari menggggaruk rambutnya yang tergerai ke sana kemari. Gadis bersurai pirang itu terdiam sejenak sebelum melompat turun dari ranjangnya.
"Hari ini aku akan berkuda dan melihat elyssum!" serunya kegirangan.
Tidak membuang-buang waktu, mandinya hanya seperti seekor bebek yang berkecipak di dalam kubangan. Pakaiannya pun dipilih asal-asalan. Rambutnya yang belum tuntas disisir langsung diikat dengan pita begitu saja. Setidaknya helaian pirang itu tak akan mengganggunya saat memacu Bilberry, kuda putih kesayangannya, sepanjang Hutan Timur.
Dengan langkah panjang-panjang, Chamomile bergegas menuju istal. Sesekali disenandungkannya lagu-lagu tentang musim semi dan bunga-bungaan.
"Wah, siapa yang bangun pagi?" perkataan dengan nada nyinyir membuat Chamomile meringis, menjereng gigi-giginya yang rapi.
"Pagi, Kakakku yang cantik, Kak Cattail!"
Chamomile beralih mengelus wajah Bilberry, membuatnya mendengus nyaman. Kuda putih bersurai lebat itu balas mengeluskan wajahnya pada sang majikan dengan manja.
"Mau ke mana? Seharusnya kau memandikan Bilberry," cetus Cattail sembari menyilangkan lengannya. Matanya yang galak--khas seorang ksatria--memincing.
Chamomile kembali meringis. "Aku akan memandikannya," ujarnya, "di sungai."
Setelahnya gadis pirang itu duduk di atas pelana dan menghela tali kekang pelan. Ia memberikan isyarat pada Bilberry untuk keluar istal dan menjelajah lagi bersamanya. Seperti penjelajahan yang sudah-sudah.
"Jangan pulang terlalu petang!"
"Siap, Kapten!"
Chamomile memacu Bilberry keluar dari kastil. Perutnya bergejolak. Tak sabar lagi ingin memijaki rumput basah dengan kakinya yang telanjang. Juga memetik bunga-bunga liar yang tumbuh sepanjang hutan, atau bahkan merebah di atas rerumputan sembari berjemur.
Burung-burung berkicau lebih bising dari yang bisa Chamomile dengar dari kastil. Seakan menyambut dirinya di pintu masuk hutan. Hutan Timur terasa lebih basah. Gadis itu bisa mendengar bunyi berkecipak dari tapal Bilberry yang terantuk rerumputan.
Bilberry berhenti tanpa komando Chamomile saat tiba di perbatasan Wisteria dan Oleander. Kuda putih itu meringkik resah, membuat majikannya mendesah dan turun dari atas pelana untuk menenangkannya.
"Tak apa, Bilberry. Kita sudah kerap kemari." Chamomile mengelus wajah Bilberry. "Yeah, kurasa satu minggu tak kemari adalah waktu yang cukup lama."
Chamomile menengadah. Menatap pepohonan ek yang hampir mendominasi Hutan Timur wilayah Oleander. Ia bisa melihat daun-daunnya yang basah oleh embun dan sisa es yang mencair. Maniknya juga dapat menangkap dengan jelas beberapa tupai--yang telah terbangun dari hibernasinya--melompat dari dahan ke dahan.
"Ayo, Bilberry!" Camomile menuntun kuda putihnya untuk menyeberang ke wilayah Oleander. Namun, Bilberry meringkik lagi dan berontak, membuat majikannya kewalahan. Hingga akhirnya gadis itu menyerah dan mengikat tali kekang Bilberry ke pohon terdekat. "Tunggu di sini, ya Manis!"
Cuitan bising para burung kecil membuat Chamomile kembali menatap hutan wilayah Oleander. Tempat yang seharusnya tak dipijaki kaki orang-orang Wisteria--seperti dirinya. Namun, peraturan--yang konon diturunkan lansung oleh Dewi Agung Luna itu--dilanggarnya demi sang pujaan hati. Walaupun pasal seorang Wisteria yang mencintai seorang Oleander juga termasuk pelanggaran, hatinya tak pernah gentar.
Chamomile mengambah lebih jauh ke dalam ranah Hutan Timur bagian Oleander. Dibiarkannya Bilberry merumput di dekat perbatasan. Kuda itu begitu keras kepala, enggan menyeberang perbatasan. Padahal, seminggu yang lalu kuda putih itu masih senantiasa menjelajah Oleander bersama majikannya.
Langkah Chamomile panjang-panjang, seakan tak sabar lagi menjumpai sesuatu yang dirindukannya. Sesekali ia juga bersenanandung, menyanyikan lagu kala kana-kanak tentang kupu-kupu dan ramalan bunga yang pernah ibunya ajarkan.
"Chamo!" sebuah panggilan dari suara familiar menghentikan langkah Chamomile. Dilihatnya seorang laki-laki bersurai sehitam malam--selayaknya warna rambut Bangsa Oleander--melambaikan tangan ke arahnya.
"Gingger!" gadis pirang itu berhambur ke pelukan laki-laki bersurai hitam, Gingger.
"Hei, lama tak bertemu, ya Chamo," ujar Gingger sembari mengelus surai pirang Chamomile yang sekasar jerami karena tidak disisir dengan benar.
"Yep!" Chamomile berseru, "apa kau merindukanku?" gadis itu menatap sepasang manik zamrud Gingger. Berharap mendapat sebuah kerinduan dari sana.
"Tentu saja aku--"
"Bisakah kalian--sepasang insan yang menjalin hubungan terlarang--berhenti melakukan adegan drama?" nada bicara sinis seorang perempuan memutus perkataan Gingger. "Sadarlah! Itu menggelikan. Kalian hanya berpisah selama satu minggu."
Gigi Chamomile bergemeletuk. Manik safirnya terhunus, menghunjam ke arah sepasang manik hazel yang menatapnya sinis. Iris. Chamomile tak pernah menyukainya. Tak pernah suka caranya berbicara. Tak suka sorot matanya yang menusuk. Dan tak suka fakta bahwa gadis itu adalah tunangan resmi Gingger.
Bukan dirinya ingin menjadi perusak hubungan dua orang itu. Namun, Gingger dan dirinya sudah lebih dulu saling mencintai. Toh, Gingger juga tak pernah mempermasalahkan hal demikian. Pertunangan mereka hanyalah tradisi hubungan politik, bukan pertunangan sebagai hubungan cinta dari lubuk hati terdalam.
"Aku tak mengerti, Gingger, tapi berhentilah!" Iris mendekat ke arah Gingger dan menarik lengan kausnya. "Hubungan kalian benar-benar dilarang. Lagi pula, bukankan kita akan menikah?"
"Jangan mencoba menghasut, Iris!" Chamomile menggeretak. Manik birunya berkilat marah.
"Aku tak menghasut!" sentak Iris, "tentu kalian tahu konsekuensinya, kan? Kalian tahu hukuman untuk pelanggar hukum dari Luna." Iris memberi isyarat dengan bahasa tubuh. Ia menggerakkan tangannya di bawa leher dan berbisik, "Dipenggal."
Chamomile termanyum. Iris benar-benar bisa membuat kesenangannya berhambur dan menghilang bersama es yang mencair dan merembes ke dalam tanah.
"Sungguh sebuah ironi." Chamomile mendesis. "Kalian menganggap hubungan sepasang manusia sebagai hubungan antara malaikat dan iblis. Kita hanya berbeda pada nama sandang bangsa, bukan? Hanya Wisteria dan Oleander. Apa masalahnya?"
"Kau bertanya tentang apa masalahnya?"
Manik Chamomile tak bisa berpaling dari kegiatan tatap dan tusuk dengan sepasang manik hazel itu. "Iya. Aku bertanya. Apa itu kurang jelas?"
"Kau tak pernah membuka buku sejarah ya? Putri duke terhormat sepertimu seharusnya terpelajar." Iris mencerca. Chamomile dapat melihat bibir perempuan itu maju beberapa mili saat mengatakannya. "Bukankah semua orang di daratan ini tahu alasannya? Sekali pun kau tak pernah membuka buku sejarah."
Chamomile bersedekap. Sungguh, ia mulai muak dengan perbincangan ini. Perbincangan yang selalu diulas perempuan sinting seperti Iris. Sebuah topik yang tak pernah ingin ia dengar dan tanggapi dengan sungguh-sungguh. Ia tak bodoh. Juga bukan gadis pemalas yang lebih sering mengabaikan tumpukan buku sejarah yang berjejer di atas rak kayu mahoni. Dari pada dikatakan tak tahu alasan larangan terkait hubungan asmara antara Wisteria dan Oleander, ia lebih suka dikatakan tak ingin dengar.
Sebuah kitab lama mengatakan, larangan atas hubungan antara orang-orang Wisteria dan Oleander didasari sejarah kelam masa lalu. Masa di mana pemerintahan tertinggi daratan ini digenggam oleh para tiran. Mereka, para tiran, terlahir dari seorang Wisteria dan Oleander. Mereka memiliki sifat pendosa yang turun secara genetik dari kedua bangsa.
Wisteria, orang-orang mengenal sebagai bangsa dengan sifat tamak dan nafsu kuat untuk memiiki segalanya. Semua orang di daratan ini tahu, berabad-abad lalu bangsa terkaya yang merauk seluruh kekayaan daratan ini juga mereka. Sedangkan Oleander sendiri memiliki sifat kesombongan dan ego yang tinggi. Berabad-abad lalu mereka memegang kekuasaan negara dan memerintah dengan keras kepala. Dengan fakta demikian, keturunan yang terlahir dari seorang Wisteria dan seorang Oleander akan memiliki sifat seorang tiran yang sesungguhnya. Keturunan yang akan menghancurkan tatanan pemerintahan yang sedemikian rupa dan mengembalikan sebuah peperangan dahsyat yang pecah ribuan tahun lalu.
Bah, rasanya Chamomile ingin mengutuk kitab lama yang sudah rapuh itu. Lembaran perkamen itu hampir tertelan waktu, tapi isinya masih dijunjung tinggi-tinggi oleh masyarakat. Benar-benar memuakkan!
Chamomile dan Iris masih saling beradu tatap, sampai akhirnya Gingger--yang tadinya masih diam menyaksikan--memisahkan keduanya. "Berhenti, kalian berdua! Ini awal musim semi. Sebaiknya kalian berbaikan, sebelum pertengkaran kalian benar-benar menanggalkan kelopak bunga."
Iris memalingkan muka terlebih dulu. Tangannya terlipat di depan dada. Dan dengan angkuhnya dia berkata, "Baiklah, tapi aku masih menunggu, Gingger." setelah mengatakan demikian Iris melenggang pergi.
"Orang aneh." Chamomile mendesis. "Kau sungguh tak mencintainya, kan?"
Gingger menatap punggung Iris yang menjauh. Lantas, tatapannya melunak saat menghadapkan wajahnya pada Chamomile. "Untuk saat ini tidak, kurasa."
"Apa maksudnya dengan untuk saat ini?"
"Lupakan!" Gingger mengendikkan bahu. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
Chamomile tersenyum. Teringat akan tujuannya kemari hari ini. Semalam, dirinya membaca tentang sebuah bunga musim semi yang tak pernah ia lihat di Wisteria. "Aku ingin melihat elyssum!"
"Elyssum? Pekarangan rumahku penuh elyssum," ujar Gingger membuat Chamomile sumpringah. "Tapi ... Seperti yang kau tahu. Aku tak bisa membawamu ke sana. Sebagai Wisteria kau belum mengantongi izin untuk menyeberang ke Oleander, bukan?"
"Yah ..." Chamomile kembali termanyun. Kesenangannya mendengar pekarangan rumah Gingger yang penuh elyssum berhambur seketika.
"Tapi aku bisa membawakannya kemari untukmu." Gingger tersenyum jahil.
"Sungguh?"
"Tentu saja."
- -
Pagi ini, matahari kembali menyorotkan kemilau emas sinarnya. Di sebelah timur, berkas cahaya itu seakan menyembul dari balik rimbun pepohonan. Lantas, mulai menyorot dinding-dinding tinggi kastil. Hari ini bulan ketiga musim semi. Dua minggu sejak terakhir kali Chamomile bertandang ke Oleander.
Gadis itu, Chamomile, tengah menatap wilayah timur--yang didominasi pepohonan--dari jendela kamarnya yang lumayan tinggi. Ia mendesah gusar. Jika bukan karena kakak laki-lakinya yang super keras itu, dirinya tak akan berdiam diri di kastil selama ini.
Chamomile tak pernah menduga, aksinya yang terbilang melanggar hukum, seperti menerobos masuk ke Oleander, akan diketahui orang lain. Kala dirinya telah mendapatkan elyssum untuk dibawa pulang dan bersiap menyeberang, rombongan patroli prajurit yang dipipin kakak laki-lakinya melintas. Tentu Chamomile tak bisa mengelak kala dirinya tertangkap basah menyeberangi perbatasan. Duke Betony, ayah Chamomile, murka. Sebagai ketua dari Devisi Penegak Hukum Antarbangsa, ia mengaku malu putrinya melanggar hukum yang susah payah ia tegakkan. Ia menjatuhi hukuman cambuk juga kurungan dua minggu bagi Chamomile. Tentu saja masih dengan sederet hukuman memuakkan yang lain.
Bukan hanya itu. Tercatat sudah dua kali Chamonile kembali menyelinap menyeberangi perbatasan selama dua bulan ini. Saat itu pula dirinya kembali tertangkap basah dan mendapat serentetan hukuman. Hukuman yang merubah cara pandang dan pikirnya. Semua tak membuat dirinya jengah atau takut. Malahan, hal demikian memperkuat kepercayaan tentang seberapa busuknya orang-orang Wisteria.
Chamomile beranjak dari jendela kamarnya. Ini sudah dua minggu masa dikurung dalam kastil dan tak diperbolehkan keluar. Baginya, itu bukan apa-apa. Juga tentang rasa sakit di punggungnya--yang membuatnya tak bisa bangun selama dua hari penuh--tak membuatnya takut.
"Kau tak boleh menyerah, Chamo! Ada dunia baru yang menunggumu di luar sana." Chamomile tersenyum di depan cermin. Lantas, menyambar jubah dan tas selempangnya.
Chamomile mengendap pergi ke istal. Menyelinap ke Oleander pagi-pagi seperti ini tak masalah. Orang-orang tengah sibuk dengan festival akhir musim semi. Peluang dirinya tertangkap basah untuk sekian kalinya juga amat kecil.
"Lebih baik tak kembali dari pada harus mendapat kemurkaan lagi!" Chamomile menggumam sembari mengelus Bilberry yang terasa amat lama tidak ia jumpai. "Kita akan menjelajah lagi, Bilberry!"
Chamomile lekas naik ke atas pelana. Ia memacu Bilberry ke luar kastil. Pergi ke sebuah kebebasan juga menjemput pujaan hati dan mulai merajut cinta lagi. Yeah, cinta gelap yang terlarang. Cinta yang tak akan pernah diberkati Luna. Jangan lupakan itu!
- -
Bilberry berjalan tenang saat memasuki wilayah hutan. Tapalnya berderap di atas rerumputan. Suasananya begitu tenang. Membuat Chamomile dengan lancar memikirkan Gingger yang tersenyum dan mengatakan "Aku merindukanmu". Gadis itu mulai bersenandung, mengalunkan lagu-lagu bertempo rendah tentang kutukan dan cinta sejati. Hingga ringkikan Bilberry memecah nyanyiannya.
"Kenapa lagi, Bilberry? Tak mau menyeberang?"
Chamomile menepuk punggung Bilberry. Lantas, turun dari pelana. Tak ada gunanya membujuk kuda keras kepala sepertinya. Ia tak mau lagi menyeberang sekali pun perintah mutlak sang majikan. Akhirnya, Chamomile mengikat tali kekang Bilberry ke pohon dan menyeberang sendirian.
Chamomile ingin bersorak kala menemukan Gingger tak jauh dari perbatasan. Laki-laki itu menenteng sebuah busur, padahal di pinggangnya sudah tergelantung sebilah pedang.
"Gingger!"
Gingger cepat menoleh. Ia tersenyum lebar. Nampak senang bertemu perempuan yang dicintainya, perempuan yang tak pernah terlihat akhir-akhir ini.
"Lihat siapa yang datang?" Gingger berkacak pinggang. "Kupikir kau meninggalkanku," lanjutnya dengan ekspresi memelas.
Chamomile terkekeh. "Tak akan pernah."
"Gingger, dia siapa?" seorang laki-laki bertubuh tambun muncul dari balik sesemakan. Diikuti seorang laki-laki dan dua perempuan setelahnya. Salah satunya si manik pedang, Iris, tentunya.
"Wisteria?" bisik yang lain.
"A-apa?!" perempuan berambut hitam kecokelaran yang berdiri di samping Iris terlonjak.
"Ah, ayolah! Tak usah kaget dengan kekasih gelap Gingger." Iris memutar mata. Sebagai seorang tunangan dia nampak tak senag. Tentu saja.
Semua mata tertuju pada Chamomile dan membuat gadis itu unjuk bicara. "Apa kau bilang?! Dasar perusak hubungan orang lain!"
Bendera perang baru akan dikibarkan hingga Gingger cepat-cepat memisahkan kedua kubu. Menjinakkan dua perempuan yang tengah bertengkar terasa lebih sulit ketimbang menjinakkan serigala liar.
Akhirnya, selepas perdebatan juga penjelasan cukup panjang selesai, Chamomile ikut bersama rombongan Gingger. Mereka bilang, mereka akan memburu serumpun tanaman langka yang tumbuh di Bukit Savana Selatan. Bukit berbahaya yang dihuni sekawanan serigala taring panjang. Pembuas berbahaya yang dapat mengoyak tubuh manusia dalam hitungan detik.
"Ini ... Lumayan berbahaya, bukan?" Chamomile bertanya tak yakin. Ia mencengkeram lengan Gingger kuat-kuat.
"Tenang saja. Aku akan melindungimu." suara Gingger terdengar lembut dan meyakinkan. Tatapan matanya memberi sebuah keamanan.
"Aku mempercayaimu."
Obrolan mereka terhenti kala semua orang memasang posisi kuda-kuda selepas mendengar suara raungan. Satu dua bayangan berkelebat di balik sesemakan beri. Tiga empat hingga seterusnya mulai menggeram dan menerjang. Bukit Savana Selatan lebih berbahaya dari yang Chamomile kira. Ia dapat melihat kelima orang bertarung dengan serigala taring panjang dengan kewalahan. Sangking takutnya, tanpa sadar Chamomile terjengkang jauh dari Gingger.
"Hei, anak manja! Kau membuat ruang gerakku sempit!" Iris mendecih. Ia memutar pedang di jemarinya yang ramping.
"Ukh, jangan sembarangan mengatai orang!" Chamomile berdiri dari posisi bersimpuhnya. Ia tak bersenjata. Bagaimana mungkin dirinya ikut dalam euforia pesta menebas ini?
Sebuah geraman mengagetkan Chamomile. Tepat beberapa jangkah darinya seekor serigaka taring panjang menggeram. Giginya terlihat tajam. Taringnya mencuat dari mulutnya yang penuh liur. Chamomile bergidik. Kala serigala itu menerjang, tanpa sadar Chamomile mendorong tubuh Iris ke arah pembuas itu. Waktu seakan bergulir begitu cepat. Gadis itu mengutuk dengan apa yang ia lakukan. Iris diterkam. Saat itu pula semua tatapan tajam mengarah kepadanya. Termasuk tatapan Gingger yang lebih menusuk hati Chamomile dari yang lainnya. Laki-laki itu lekas berlari dan menebas kepala serigala yang menerkam Iris. Namun, semua sudah terlambat.
"Kau membunuhnya."
"Tidak!"
- -
Lilin-lilin yang memberi penerangan kamar Chamomile berkelebat. Sekilas cahaya ruangan nampak suram. Bunga elyssum dalam pot kecil di atas nakas pun hampir kehilangan kesegarannya. Di samping ranjang, Chamomile menekuk lututnya. Ia terisak dalam. Meratapi betapa jentaka nasib hidupnya selama ini. Apa ini adalah bentuk teguran Luna? Kisah cintanya seakan berakhir begitu saja. Akhir yang lebih buruk dari apa yang pernah ia bayangkan. Pengorbanannya selama ini sia-sia hanya karena sebuah kesalahan yang tak pernah ingin ia sengaja. Ia memang membenci Iris, tapi tak ada setitik niatan pun untuk membunuhnya. Kenapa Gingger begitu marah? Jelas ia tahu itu sebuah kecelakaan. Apa dia mencintai Iris?
Malam semakin tinggi saat isakan Chamomile tak kunjung mereda. Seperti ada ribuan jarum yang berebut menghunjam hatinya. Jauh lebih sakit dari puluhan kali cambukan yang menyabet punggungnya. Sesak mengimpit paru-paru, mencekik hingga terasa tak ada lagi oksigen yang bisa ia hirup.
Chamomile mengangkat wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata dan peluh. Ia ingin mengakhiri semua rasa sakit ini. Rasa sakit yang sungguh melumpuhkan akalnya. Digenggamnya erat-erat sebuah belati. Namun, sebuah ketukan di jendela balkon menghentikannya. Ia menyisipkan belati di balik karpet. Lantas, beranjak. Dengan air mata yang belum berhenti mengalir, ia membuka pintu balkon.
"Chamo!"
Chamomile berjingkat. Apa yang ia lihat nampak bagaikan ilusi. Gingger--yang tak mau menjejakkan kakinya ke tanah Wisteria--telah berdiri di depannya. Wajahnya nampak frustasi.
"Maafkan aku," lirihnya sembari memeluk Chamomile. "Aku sangat terkejut tadi siang hingga tak mampu memikirkan betapa takutnya kau. Aku merasa resah dengan keadaanmu, hingga aku tak tahan lagi dan memaksakan diri untuk menyeberang. Aku mencintaimu."
Tetesan air bening mulai membasahi pipi Chamomile lagi. "Gingger, sungguhkah?" ia menatap Gingger dalam. Laki-laki itu mengangguk.
"Chamomile, aku mencium bau Olean--" Elm, kakak laki-laki Chamomile yang tadinya menggebrak pintu terdiam. Mendapati seorang laki-laki Oleander di kamar adik perempuannya bukanlah suatu hal yang wajar. Cattail yang datang bersamanya pun ikut terperangah.
"A-apa-apaan ini?!" Cattail menatap berang Chamomile.
Gingger hanya terdiam. Begitu pula Chamomile. Lidahnya terasa kelu, tak lagi mampu berucap.
"Tangkap Oleander itu!" Elm menunjuk ke arah Gingger. Mengikuti instruksinya, pasukan patroli keaman menangkap Gingger. Laki-laki Oleander itu hanya terdiam.
"Kakak, jangan!" Chamomile berteriak hendak menggapai Gingger yang dibawa paksa. Namun, Cattail mencegahnya.
"Jelaskan semua ini, Chamo!" Manik biru Cattail menajam. "Bagaimana bisa kau berhubungan dengan Oleander?! Kau ingin mengikuti Azalea, gadis yang dikutuk Luna itu?!"
"Tidak!" Chamomile menghempas kasar tangan Cattail. "Kau hanya tak mengerti."
Tangisan Chamomile kembali pecah. Lilin harapan yang tadinya henderang kembali padam. Rasanya dirinya baru saja melayang hingga tiba-tiba dihempas badai dan tenggelam dalam lautan.
"Kau tahu, Chamo. Ayah tak akan menyukai ini." Cattail menggelengkan kepalanya. Tanpa sadar air matanya ikut luruh.
"Aku tahu!" tubuh Chamomile gemetar. "Tapi aku juga punya cinta yang harus diperjuangkan. Seperti kak Elm yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kak Camelia. Atau Kakak yang berjuang memadamkan perseteruan antara keluarga kita dengan keluarga Cysan demi kak Delphin. Kami ini cuma manusia! Bukan malaikat dan iblis! Aku juga berhak melakukan demikian."
Cattail terdiam. Ia menggigit bibirnya. Ia kembali berujar selepas beberapa saat, "Tapi ini lebih berisiko dari yang sudah-sudah."
"Aku tahu." Chamomile berjalan menuju kotak di sudut ruangan dan memunggahnya. Ia menggapai sebilah pedang perak. "Namun, cinta butuh pengorbanan, bukan?"
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku bisa saja memohon dan mendramatisir semuanya agar ayah mengampuniku, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku juga tahu, hukuman ayah tak akan membunuhku. Namun, yakin dia tak menebasku jika aku menghunuskan pedang duluan?"
Chamomile menyeringai. Semua rasa dalam dirinya pecah berkeping-keping, berbaur bersama kegelapan akan harapan yang pupus. Tak akan ada lagi cahaya dari Luna. Akal gadis itu hilang. Berganti akan nafsu yang membutakan. Seperti orang katakan, Wisteria tak akan berhenti sebelum mencapai yang ia inginkan.
- -
Kibar tirai tipis membawa angin sepoi yang menyeruak memenuhi ruangan gelap. Ruangan yang bahkan jarang matahari mau memberikan sedikit sinarnya. Di atas nakas, dalam pot kecil, sebuah bunga elyssum kehilangan kehidupannya. Merunduk dan layu oleh waktu. Memberi kabar bahwa sang pemilik tak lagi kembali untuk merawatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro