Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tercepatnya Waktu

Karangan bunga terlihat di nakas samping pengantin muda yang saling menatap dengan rona kebahagiaan. Di depan mereka, banyak orang berlalu lalang dengan pakaian khas seorang pernikahan, juga hadirin yang berbisik ketika melihat dua pengantin muda itu, menilik apa yang akan terjadi pada mereka berdua, dan tanpa sadar menggeleng-geleng tak percaya.

"Mereka serius menikah?" tanya salah satu hadirin, tak sengaja terdengar oleh pengantin wanita. "Mereka terlalu muda. Empat belas tahun dan lima belas tahun itu muda, lho."

"Iya, tapi ya bagaimana lagi? Toh, mereka dari kemarin datang ke KUA dan melakukan segala cara untuk menikah."

"Tapi kan--"

Pengantin wanita menghembuskan napas keras-keras. Cukup keras sehingga dua orang yang membicarakan pernikahannya melihat kearahnya dan melanjutkan makanan dalam diam, tidak berbicara apapun lagi.

Riko melihat Asri--istrinya, si pengantin wanita--terlihat gusar dengan pembicaraan tadi. Lelaki berusia lima belas tahun itu memegang tangan Asri, spontan gadis itu melihat Riko. "Tidak usah dengarkan, yang penting keinginan kita sudah tercapai."

Perkataan Riko bagai obat bius. Asri tidak gusar seperti tadi. Kini dia mulai tenang dan menikmati acara pernikahannya saat ini.

**

Dua Minggu berlalu setelah pernikahan dua pengantin muda itu. Keduanya kini tinggal di satu atap yang sama. Namun, ada yang terasa hilang saat ini, dan itu membuat keduanya sedikit gelisah.

Riko sedang duduk di depan televisi dengan secangkir kopi di depannya, sementara Asri sedang membuat makan siang untuk keduanya.

"As?"

"Hm?"

"Besok jangan lupa bangunin buat belajar ya?" balas Riko, tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Asri menjawabnya dengan deheman. "Jangan tidur larut malam juga. Aku kesusahan membangunkanmu."

Riko tertawa, membuat Asri mengerutkan dahi karena bingung. Gadis itu mematikan kompor, kemudian melongokkan kepalanya dari dapur.

"Apa?" tanya Riko, menyadari Asri menatapnya.

"Kenapa ketawa?"

"Nggak, aneh aja, kita sekarang udah sama-sama."

Tanpa Riko sadari, tatapan Asri menajam. "Apa-apaan itu?"

Riko mengendikkan bahu, tidak peduli. "Bukan apa-apa. Jadi, mana makan siangnya? Aku lapar." Asri mendengus, kemudian membawa sayur dan telur ceplok yang dimasaknya tadi.

**

Meski menikah, mereka tetap melanjutkan pendidikan, dan seperti ekspetasi keduanya--akan menjadi buah bibir.

Asri dan Riko harus berjuang untuk meyakinkan kepala sekolah bahwa semua akan baik-baik saja, namun disangkal kepala sekolah dengan berkata, "Ini akan merusak nama baik sekolah." Dan ya, mereka gagal, sampai jatuh keputusan home schooling.

Meski apa yang terjadi saat ini sudah diperkirakan dua insan itu, tetap saja rasanya menyakitkan, seolah apa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Riko dan Asri tahu pernikahan yang mereka lakukan salah karena umur belum sesuai dengan peraturan, tapi rindu tidak bisa dibendung, maka sampailah pada titik ini: pernikahan.

Semua akan terasa lebih indah jikalau tak ada bisik-bisik mengenai mereka berdua, baik buruk maupun baik.

"Kamu mengerti Ri?"

Riko mendongak, tersadar dari lamunannya. Iris hitamnya bersitatap dengan iris hitam Bu Ayu--guru home schooling-nya.

Riko menjawabnya dengan anggukan, dan Bu Ayu baru akan melanjutkan pelajarannya, sebelum seruan di depan menyita perhatiannya begitu juga Riko.

"Ibu!"

Bu Ayu ke luar, mendapati seorang gadis berumur empat belas tahun duduk di atas motor beat merah. Di belakang wanita berusia tiga puluh tahun itu, tak lama munculah Riko.

Gadis berumur empat belas tahun itu bersitatap dengan Riko, hanya beberapa saat, sebelum kembali melihat ibunya. "Bu Sinta ke rumah," katanya, membuat Bu Ayu mengangguk dan berbalik dengan enggan ke Riko.

"Ibu pulang dulu ya? Besok kita lanjutkan. Maaf pulang lebih awal," kata Bu Ayu tidak enak.

Namun Riko mengangguk sambil mengulum senyum. "Iya Bu, tidak apa-apa."

Bu Ayu memgambil tasnya. Sebelum pergi dari rumah Riko, ia menepuk bahu laki-laki itu pelan seraya tersenyum. "Jaga Asri ya?"

Riko membalasnya dengan senyuman dan anggukan, dan Bu Ayu berjalan ke anaknya yang diketahui Riko bernama Eri. Ia memperhatikan sampai dua perempuan itu menghilang, atau mungkin sampai suara Asri yang masuk ke indra pendengarannya.

Asri melihat sekeliling, lalu melihat Riko. "Lihatin apa?"

"Bu Ayu, dia pulang lebih dulu."

"Kenapa?"

"Kata Eri ada Bu Shinta."

"Oh," balas Asri. "Ayo masuk, tadi kubeliin kue buat kita bertiga, tapi Bu Ayu pulang duluan."

Lelaki itu mengangguk, kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Asri di belakangnya. "Salin dulu sana materinya," katanya, sembari duduk di sofa dan memejamkan mata. Namun Asri malah duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah suaminya itu dengan raut gelisah--yang tidak pernah luput ada di wajahnya semenjak mereka menikah.

Perlahan, Asri menyandarkan kepalanya ke bahu Riko--membuat laki-laki itu sedikit menegang akibat kaget.

Riko melihat wajah Asri, kelopak matanya terpejam, namun deru napasnya tak beraturan, tampak gelisah. "Kenapa?"

Kata itu yang selalu keluar setiap ia melihat Asri seperti ini. Rasanya aneh melihat gadis yang berjuang dengannya untuk menikah menjadi gelisah seolah ada yang salah. Riko berpikir Asri mungkin kurang nyaman karena jauh dari temannya sekarang, termasuk faktor mereka tak dapat sekolah bersama anak seumuran mereka.

Tapi ia bisa mengajak teman-temannya untuk bermain atau datang ke rumah kan? Lagipula hubungan Riko dengan teman lakinya tetap baik-baik saja. Perempuan sepertinya memang ribet, pikirnya.

Untuk beberapa saat, keheningan yang mengisi diantara keduanya. Tidak ada yang saling membuka mulutnya untuk berbicara. Tidak ada. Mungkin Asri perlu untuk menenangkan diri, meski Riko tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Namun ada satu hal yang ia tahu, ada saatnya perempuan--dan lelaki--butuh seseorang yang ada di sampingnya, tanpa bertanya apapun.

***

Hari Minggu kali ini, Riko mengumpulkan teman sekelas mereka untuk reuni. Ia lakukan demi acara "Bangkitkan Semangat Asri".

Erik--teman Riko--merangkul Riko. "Ciee yang habis nikah, nyaris nggak kelihatan sama kita."

"Sibuk sama Asri tuh," timpal Nada, dibalas gelak tawa mereka semua. Riko membalasnya dengan tatapan sinis, membuat alis gadis itu naik karena bingung namun entah mengapa terkesan angkuh. "Kenapa? Emang bener kan?"

"Udah-udah, kenapa jadi pada berantem sih?"

Rizki meminum teh yang disediakan Asri, ia tersenyum pada gadis itu. Ia menoleh pada Erik yang menatapnya ingin tahu, namun ia hanya membalas dengan mengendikkan bahu. "Jangan merusak rumah tangga mereka."

Mendengarnya rahang Riko mengeras.

"Eh iya, rumah tangga!" seru Lina, teringat pada dua temannya itu. "Kalian--"

"Jangan mikir macem-macem," potong Asri. Ia kembali gelisah.

Tapi apa yang ia katakan barusan justru membuat temannya semakin penasaran. Mereka kembali melontarkan pertanyaan yang tidak sopan dan kali ini bukan hanya Asri yang risih dan gelisah, namun Riko juga terkena dampaknya.

Untungnya Rizki tidak ikut bertanya, ia lebih memilih untuk mendiamkan mereka. Dan tentu saja itu tidaklah mudah.

Seharusnya hari ini Asri akan baik-baik saja. Namun apalah daya, bukannya mendapat semangat atau hiburan karena bertemu kembali dengan teman-temannya, justru menjadi bahan ejekan.

Sampai akhirnya ....

"Stop!"

Suara mereka meluap di udara dan mungkin tertahan di tenggorokan. Mereka semua mendadak bungkam tatkala Asri berseru dengan cairan bening yang mengalir di pipinya. Manik hitamnya menatap nyalang teman-temannya.

"Kalian nggak tahu kondisiku dengan Riko. Jadi berhenti bertanya sesuatu yang jelas-jelas sama sekali belum kami lakukan, dan tidak akan kami lakukan sampai usia kami sudah memenuhi syarat pada umumnya. Lagipula kami menikah juga ada alasannya dan kalian sebagai teman kami seharusnya mengerti!"

Yang tertangkap teman sekelas mereka mungkin ada yang benar, salah, atau menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi, apapun yang mereka tangkap tetap saja membuat mereka mau tak mau pergi dari rumah Asri dan Riko.

Setelah melihat teman mereka sepenuhnya menghilang dari jarak pandangan, Riko berbalik untuk melihat Asri--gadis itu tertunduk dengan air mata yang mengucur semakin deras. Melihatnya, Riko tak kuasa menahan kedua tangannya untuk tidak merengkuh tubuh gadis itu.

"Maaf." Ia semakin mempererat pelukannya. "Aku berpikir kamu sedih karena tidak bisa bertemu dengan mereka. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih, As. Maaf, karena membuat menangis."

Asri menggeleng, perlahan membalas pelukan Riko. "Bukan salahmu."

"Maaf."

**

Canggung adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana yang terjadi pada Asri dan Riko. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala tertunduk, mengabaikan acara sepak bola di televisi.

Kejadian tadi pagi cukup membuat hubungan diantara mereka sedikit renggang, lebih tepatnya lebih canggung dari sebelumnya.

Riko tidak berani bertanya apa yang terjadi pada gadis itu. Asri masih terlihat gelisah atau khawatir pada sesuatu yang sampai saat ini belum diketahui Riko kepastiannya.

Pernikahan ini lama-lama membosankan. Riko bahkan lebih memilih mereka yang berpacaran daripada berstatus menjadi suami dan istri. Ia mulai sadar apa arti dari pernikahan sesungguhnya, mungkin inilah yang dirasakan oleh Asri selama beberapa hari terakhir.

Tapi, mungkin belum terlambat untuk merubahnya. Mereka memang berada pada satu rumah, namun ranjang masih terpisah. Jadi ... kalau mereka bercerai, bukan masalah, 'kan?

Bersilir-silir, ia berpaling ke Asri. "As ...," Gadis itu menoleh, serentak memberi gejolak ragu dalam diri Riko. Ia mengacak-acak rambutnya, lebih gusar dari Asri. "Kamu ... kenapa, 'sih?"

Baiklah, pernyataan akan cerai ia urungkan dulu, lebih baik berbasa-basi sebelum melihat Asri menangis kembali.

"Eh? Nggak kenapa-napa," jawab Asri ragu, ia kembali tertunduk. "Ada apa?"

"Aku merasa kamu tidak nyaman dengan pernikahan ini." Oh sial, aku menjawabnya terlalu cepat, batin Riko sembari menutup mulutnya. Namun terlambat, Asri mendengarnya.

Sorot tak percaya tergambar jelas di manik hitam itu. Riko menurunkan tangannya, berganti terulur ke Asri yang menghindari dari sentuhan suaminya itu. "Bukan itu ... maksudku."

"Kamu ingin cerai?"

"Aku bingung sama kam--"

"Jawab!"

Anak rambut Riko yang mulai memanjang, menutupi dahinya ketika lelaki itu menunduk. "Kamu membuatku bingung."

Riko dapat mendengar dengan jelas dengus Asri diikuti langkah kaki yang perlahan menjauh. Ia mendongak, mendapati Asri tidak ada di tempatnya terakhir kali Riko lihat.

"Uhhhhh, bukan itu maksudku."

***

Bu Ayu datang dengan raut cerah yang kemudian menjadi bingung ketika melihat pemandangan tak biasa yang ditampilkan dua insan yang ia ajarkan.

Biasanya Riko dan Asri akan bercanda atau mengobrol disela-sela jam belajar mereka. Namun, kali ini mereka diam seribu bahasa, bahkan hanya bicara jika ditanya Bu Ayu--pengecualian jika ditanya apa yang terjadi pada mereka.

Pikiran Asri yang sedang berkecamuk bertambah, saat menyaksikan kedatangan Eri yang menurutnya akan mendatangkan malapetaka.

"Apa?" tanya Asri, ditengah kegiatannya membuat es teh untuk mereka berempat. Eri bersandar di dekat wastefel, kedua matanya mengikuti setiap pergerakan Asri hingga membuat gadis itu risih. "Apa?"

"Aku baru datang ke rumah ini dua hari yang lalu, dan sejujurnya aku tidak tahu bahwa ibuku mengajar ... dua pelajar SMP yang menikah muda."

Ingin rasanya Asri menumpahkan teko es teh yang ia pegang ke tubuh Eri--untungnya tidak terjadi. Sebetulnya, jika maksud perkataan Eri bermaksud untuk membuat hubungan Riko dan dirinya semakin merenggang, itu tidak berhasil. Hanya mengusik pikiran gadis itu.

Kepala Asri ditelengkan sedikit diikuti senyum sinis. "Lantas? Apa itu masalah untukmu?"

"Bagiku iya," Alis Asri terangkat," karena ini menjatuhkan nama baik Indonesia."

Wajah Asri mendadak menjadi datar. Jantung gadis empat belas tahun itu serasa berhenti. Mungkin. Karena ucapan Eri tadi itu ... menyesakkan. Helai rambut Asri yang sedikit mengalun karena angin, rasanya tidak berguna jikalau tak mampu untuk menjadi pasokan oksigen. Nyatanya, ia seperti orang terkena asma, atau mungkin memang benar.

Tampaknya ... Eri senang melihat reaksi Asri, seolah itu cukup untuk membuatnya mendapat mahkota dalam rangka "mencerahkan generasi bangsa agar berpikir matang-matang sebelum menikah muda". Gadis lima belas tahun itu berlalu dari dapur, meninggalkan Asri yang diam membisu.

***

"Ada yang ingin kubicarakan."

Riko menoleh, di sela-sela aktivitas makannya dan menonton bola. "Apa?"

"Kamu mau cerai, 'kan?" tanya Asri, ragu-ragu.

Riko berhenti mengunyah, ia meletakkan piring berisi ikan lele ke karpet. Kemudian menatap Asri dengan kening berkerut. "Kenapa kamu bilang begitu?"

"Karena ...," Asri melihat ke arah lain, "aku merasa kamu tidak nyaman dengan sikapku."

Tatapan Riko tertuju pada karpet, namun hanya untuk beberapa saat. "Memang," katanya. "Tapi aku berpikir--akhir-akhir ini--kamu butuh sendirian, berpikir jernih. Dan aku nggak mau berpisah denganmu, hanya karena sikapmu."

Itu tidak merubah apapun, justru Asri semakin gelisah dan ragu, lalu gadis itu menunduk. "Aku ingin memberitahumu, bahwa segala keputusan ini bukanlah keinginanku, namun aku sadar betul bila pernikahan ini adalah kesalahan."--tubuh Riko menegak--"Aku sadar betul akan hal itu, jadi ... aku ingin kita cerai."

Detak jantung Asri kian lebih cepat ketika menyampaikan kalimat itu. Faktor takut Riko marah juga menjadi alasannya, namun sampai sepuluh menit penuh keheningan dan tubuh Asri bagai terjepit di antara bebatuan, juga keinginannya untuk menghilang kian menyiksanya.

Astaga, Riko di hadapanku. Mengapa ia tidak berbicara? Marah atau apa gitu barangkali?? Uhhh, batin Asri. Perlahan, ia mendongak hanya untuk mendapati wajah Riko yang sepenuhnya memerah.

Asri mengigit bibir bawahnya. "Rik, aku--"

"Lantas kenapa kamu mengajakku menikah saat itu?"

"Aku tidak mengaj--"

"Hah?! Kau bilang kepadaku 'jika kau mencintaiku dan benar-benar mencintaiku, maka lamarlah aku'. Artinya kau mengajakku, 'kan? Meski kutolak saat itu kau tetap saja bersikeras bahwa semua akan baik-baik saja." Riko terengah-engah, wajahnya masih memerah dan bertambah merah sehabis ia mengatakannya.

Asri berdecak. "Aku tahu aku yang salah, tapi percayalah Rik, sama sekali tidak kuduga akan seperti ini."

Namun, Riko sudah terlanjur lelah, atau barangkali dia menyetujui keinginan Asri tadi. Lelaki itu berdiri, menepis tangan Asri yang menggapainya dan berjalan ke luar rumah setelah mencuci piring dan ... mengemas barang-barangnya.

Malam itu mereka sadar, bahwa pernikahan bukanlah hal yang main-main. Bukanlah objek candaan, juga ikatan yang dapat dimain-mainkan. Pernikahan artinya sehidup-semati, namun jika seperti ini ... apa makna pernikahan? Janji suci yang terlontar bagai omong kosong belaka. Kalimat kiasan hanya untuk memikat mata yang menyaksikannya, sebelum berita berantakannya sebuah rumah tangga yang menjadikan pernikahan sebagai ... ikatan permainan.

___

PERHATIAN : Aku, sebagai penulis cerpen ini sama sekali tidak menyinggung pihak manapun. Kesamaan nama tokoh adalah ketidaksengajaan. Ambil yang positif dan buang yang negatif. Sekali lagi, maaf bila ada kesalahan kata-kata, aku tidak bermaksud untuk melakukannya. Selain itu, terima kasih sudah membaca cerpenku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro