Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sorry I Can't Believe

Apa yang harus kulakukan di saat semua orang yang kukasihi malah menderita? Menangis? Berlari menjauhi mereka? Atau seharusnya aku mati saja?

Tidak.

Itu pilihan konyol.

Namun, itu seperti kewajiban agar mereka tak lagi menderita. Aku benci jika melihat mereka dalam keadaan menyedihkan.

Terutama gadis itu.

Kami bertemu dua tahun lalu. Seperti yang dapat dibayangkan, aku jatuh cinta padanya. Kami menjalani hubungan layaknya sepasang kekasih selama beberapa bulan, lalu semuanya berakhir sama.

Gadis itu menderita karena aku. Aku menyakitinya. Aku mengambil semua kebahagiaannya. Aku merebut apa yang dia punya.

Katakan saja aku lelaki pengecut, pecundang, tak tahu diri, karena itulah kenyataannya. Ya, seharusnya aku mati saja.

Menenggelamkan diri di laut bila perlu. Membiarkan diri dimakan ikan terbuas. Dan memilih menyerahkan diri dengan konyol pada para pembunuh. Cih, kenapa juga aku harus menahan diri untuk tidak melakukan itu?

Brengsek!

Ya, aku memang brengsek....

Terlalu brengsek sampai-sampai aku tak mampu melindungi orang-orang yang aku kasihi.

Ah, Tuhan, tolong ambil saja nyawaku!

Aku berteriak begitu setiap malam, tapi hatiku tak pernah ikhlas. Mungkin itu juga yang membuat seruanku tak dikabulkan.

Aku benci ruangan ini. Hanya ada warna putih di mana-mana. Tak adakah yang tahu bahwa aku tak suka warna putih? Warna itu terlalu baik untukku, sementara hidupku seperti warna jelaga. Hitam pekat, tak dapat ditembus cahaya sama sekali.

Seseorang tolong keluarkan aku dari tempat menyedihkan ini. Obat warna-warni ada di mana-mana. Setiap lima jam sekali, beberapa orang akan masuk ke ruangan ini dan memaksaku meminum pil-pil pahit tersebut. Aku benci itu. Dan aku tak berdaya.

Sialan.

Seandainya aku tahu di mana letak jendela, sudah kupastikan aku akan kabur dari tempat ini seperti yang pernah kulakukan. Tapi sayang, orang-orang itu terlalu pintar membaca pergerakanku. Alhasil, aku tak bisa berbuat apa-apa.

Yang kulakukan saat terkurung di tempat ini hanyalah tidur, makan, mengerang gelisah dan melakukan tindakan bunuh diri seperti membenturkan kepala ke tembok hingga tengkorakku retak. Tapi, tak pernah berhasil. Itu karena apa? Karena orang-orang berpakaian putih itu. Mereka selalu datang dan menghentikan perbuatanku, mengikatku di ranjang sesekali. Dan yang dapat kulakukan hanya diam. Beberapa kali aku akan kembali mengenang wajah gadis tersebut. Gadis yang membuatku jatuh cinta sekaligus merasa sangat berdosa setelah kepergiannya.

________

25 April 2016

Hari ini tampak sangat cerah, langit berwarna biru dan tak ada awan yang berarak satu pun. Aku tak paham kenapa langit tiba-tiba berubah cerah setelah hujan lebat seharian kemarin. Hujan yang menghambat semua kegiatanku.

Aku menggerakan kakiku ke arah pintu masuk pesawat, tersenyum tipis pada pramugari yang bertugas mengecek tiket. Setelah itu aku masuk dan mencari tempat duduk.

Di sebelah jendela. Tepat sekali.

Dan ada seorang gadis di sana. Tampak tertidur pulas. Wah, baru saja duduk dan tertidur? Sungguh mengejutkan.

Aku mengacukannya dan duduk di sebelah gadis bersurai hitam legam itu. Wajahnya tertutupi beberapa helai rambut, tapi dapat kupastikan bahwa dia punya wajah yang cantik. Yeah, kurasa itu merupakan salah satu naluri lelaki.

"Mohon perhatiannya. Untuk para penumpang pesawat hari ini, beberapa menit lagi kita akan segera take off. Diminta pada penumpang untuk menonaktifkan alat komunikasi dalam bentuk apa pun agar tidak mengganggu kerja pesawat. Terima kasih."

Lalu terdengar pemberitahuan yang sama dalam bahasa Inggris. Sesungguhnya aku tidak mahir bahasa Inggris. Kapan-kapan aku akan belajar jika memang butuh.

Penerbangan dari Jakarta menuju Bali membutuhkan sekurang-kurangnya tiga jam atau lebih, aku kurang tahu. Yang jelas itu cukup untuk mengistirahatkan tubuh lelahku.

Kupejamkan mataku perlahan, namun sebelum aku benar-benar terlelap, gadis di sebelahku bergerak heboh. Dia menyikut rusukku dengan keras sehingga mau tidak mau aku harus terbangun juga.

"Hey, ini penerbangan mana?" tanyanya. Tampak gelisah tak keruan.

"Jakarta-Bali." Aku menjawab seadanya. Mata bulatnya berbinar semakin gelisah dan benar tebakanku, dia cantik, sangat cantik malah.

"Ya, ampun! Jadi, ini dari Jakarta?"

"Iya."

"Waduh, gue seharusnya turun di sini!" Dia mengumpat pelan dan aku hanya mampu mengernyit bingung. Apa maksudnya?

"Mbak!" panggilnya pada seorang pramugari yang kebetulan lewat membawa minum.

"Ada apa?"

"Pesawatnya gak bisa dihentikan? Saya seharusnya tur--mphhh---"

"Maaf, Mbak. Dia ngawur." Aku tidak tahu apa sebenarnya yang kulakukan dengan membukam mulutnya dengan tanganku.

"Apaan sih, Lo?" protesnya jengkel saat kulepaskan tanganku darinya.

"Ya, daripada kamu diomelin sama si Pramugari dan beberapa penumpang di sini, mending kamu ikut aja ke Bali. Lumayan 'kan bisa liburan?" Terdengar seperti tawaran konyol yang sering kutonton di iklan-iklan televisi.

"Bodo amatlah, gue mau turun! Ibu gue udah nungguin!"

"Yaudah, setelah sampai Bali kamu bisa telepon beliau. Bilang kalau kamu salah penerbangan." Aku tersenyum tampan dan dia terdiam sebentar sebelum mengembuskan napas pasrah. Ah, tampaknya dia sudah menyerah.

Kami terdiam cukup lama sebelum aku memilih untuk membuka suara. "Kalau boleh tahu, siapa nama kamu?" tanyaku. Apa aku tampak seperti laki-laki pencari kesempatan alias modus? Ah, tolong katakan tidak.

"Nadia." Dia menjawab acuh dan aku hanya tersenyum maklum. Dia cukup dingin kurasa.

"Saya Rio."

"Gak nanya."

Oke. Aku mulai dongkol juga jengkel sekarang. Kenapa zaman sekarang gadis-gadis Indonesia mulutnya pedas begini? Ke mana gadis-gadis manis yang pernah kukencani lalu kubuang?

Zaman berlalu dengan cepat ternyata.

Aku hanya tersenyum kikuk dan kembali hanyut dalam pikiranku. Sesekali melirik gadis itu yang masih saja gelisah, mungkin memikirkan ibunya. Bisa jadi.

Oh, ya... omong-omong aku penasaran kenapa Nadia malah ketinggalan di atas pesawat sementara penumpang lainnya sudah turun. Apa karena dia tertidur? Tapi, ada pramugari yang bisa membangunkan.

"Oh ya, kalau boleh tahu lagi. Kamu kenapa bisa---"

"Tiket gue jatuh pas mau masuk. Jadi, pramugari bilang gak apa-apa. Tapi, gue yakin harus turun di Jakarta."

Aku hanya mengangguk paham. "Kalau begitu gak apa-apa dong kamu ikut ke Bali."

Dia melirikku sejenak sebelum tersenyum tipis. Wah, aku tak menyangka. Dia manis sekali.

"Ya, mau gimana lagi? Lagian udah lama gak ke Bali."

_______

Hari ini tepat dua bulan sejak aku bertemu Nadia di atas pesawat. Dia benar-benar liburan dan kurasa dia tak lagi memikirkan bagaimana keadaan ibunya. Beberapa saat yang lalu, kutanya apa dia sudah memberi kabar? Dan dia hanya menggeleng.

Perlu kalian tahu, aku jatuh cinta padanya. Tapi, Nadia bukanlah gadis biasa yang mampu kurebut hatinya. Dia sekeras batu. Terkadang bisa sedingin es dan sehangat mentari pagi. Gadis itu memang unik. Namun, aku bukanlah Rio kalau tidak bisa menaklukkannya.

Hari ini aku mengajak Nadia pergi ke pantai Kuta. Menyaksikan sunset sambil makan malam, lalu aku akan menyatakan perasaanku.

Yeah ... rencana biasa yang sudah sering kulakukan. Namun, entah mengapa jantungku berdetak tak keruan. Apa-apaan ini?

"Hai, maaf telat." Nadia datang dengan kemeja putih dan celana jeans sebagai bawahannya. Dia tampak sangat menawan ketika berpenampilan seperti ini. Apalagi aroma parfum Downtown-nya yang merasuk ke indra penciumanku. Menenangkan.

"Gak apa-apa."

"Jadi, lo mau traktir gue makan? Lagi?"

Iya, aku memang sering sekali mentraktir dia makan bersama.

Kugaruk tengkukku dan mengangguk takzim. "Ya, apa boleh buat? Cowok emang harus yang bayarin, kan?"

"Tapi, kita 'kan gak lagi kencan?"

Uh, wow! Aku tidak pancing agar dia berbicara begitu loh. Oke, aku tersenyum manis.

"Kalau begitu, ayo pacaran!"

Dan malam itu rencanaku sukses. Dia menerima pernyataan cintaku dengan agak sedikit terkejut. Aku ingin tertawa. Bukan karena ekspresi Nadia, aku hanya ingin tertawa karena yang terjadi benar-benar di luar dugaan.

Dan ternyata kisahku tak seindah itu.

______

05 September 2016

Pagi ini Nadia mengirimiku pesan-pesan aneh. Entah apa yang dia maksud dengan;

'Rio, ayo kita putus!'

Sialan. Apa maksudnya dengan memutuskanku, hah? Berani-beraninya dia melakukan itu padaku.

Jadi, setelah mandi dan berpakaian rapi, aku mengunjugi tempat dia bekerja. Coffee shop yang selalu ramai setiap hari.

Dia tidak memakai seragam karyawan tempat itu saat kulihat, dia malah mengenakan pakaian biasa dan sedang bersama seseorang.

Kuhampiri dia dan kutarik lengannya dengan kasar. Nadia menoleh, menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Oh, ayolah, Nona manis, jangan munafik.

"Kenapa mengirim pesan seperti itu?" todongku langsung, tak peduli jika ada orang lain di antara kami. "Jadi, karena dia?" Tatapanku beralih pada laki-laki bertampang western yang berdiri di sebelah Nadia.

"Bu-bukan--"

"Trus apa? Kamu mau putus sama aku? Nad, kita aja baru masuk tiga bulan, loh! Kamu tega ninggalin aku?"

Nadia hanya diam, pandangannya tampak sendu dan aku hanya mampu menatapnya tajam dengan rahang mengeras.

"Oh, sir. Please, jangan kasar-kasar sama perempuan."

Si bule bersuara, tangan besarnya berusaha melepaskan cengkeramanku di lengan Nadia. Tapi, tidak semudah itu. Tidak boleh ada yang mengambil Nadia dariku kecuali dia mau mati.

"Jadi, kamu bisa bahasa Indonesia? Pantas saja Nadia mau sama kamu. Dia gak bisa bahasa Inggris soalnya."

"Rio, ayo pulang!" Nadia tiba-tiba menarik lenganku menjauh.

Aku mengikuti langkahnya ke parkiran mobil, ternyata dia punya mobil. Kecurigaanku semakin bertambah. Sejak kapan dia membeli mobil?

"Kamu dapat mobil ini dari bule itu?" tanyaku saat duduk di bangku sebelah kemudi.

Nadia hanya diam sambil menyetir mobil itu ke apartemenku.

_______

Nadia benar-benar berubah. Waktu kami pacaran, dia tak pernah menggunakan bahasa 'Gue-lu' lagi. Tapi sekarang apa? Sebenarnya apa yang terjadi padanya?

"Gue muak sama lo, Rio. Kita gak pacaran, ngerti? Lo selalu mengintimidasi gue dan dalam hubungan ini lo selalu menguasai keadaan. Lo egois!"

Dia berteriak marah. Wajahnya memerah padam dan tatapannya benar-benar tajam.

Benarkah aku egois?

"Lo ... kalau lo sakit ayo ke dokter!"

Plakkkk

Tanpa sadar kulayangkan tamparan pada pipi putihnya hingga sudut bibir Nadia sobek. Dadaku naik turun menahan emosi.

Apa? Sakit? Kurang ajar!

"Kamu bilang apa? Aku sakit? Siapa yang bilang, hah?"

"Iya, kan? Lo sakit JIWA, Rio!"

Brengsek! Perempuan ini benar-benar.

Aku menendangnya hingga tersungkur, tak peduli jika dia mati saat ini juga. Aku memang akan membuat mulutnya tak lagi mencemooh seperti itu.

"Sakit jiwa? Kamu yang sakit jiwa, Nad!"

"Sadar, Rio. Lo itu yang sakit. Lo gak pernah begini sebelum kita pacaran. Sebenarnya apa yang salah sama lo?" Dia menangis. Nadia menangis.

"Kamu kurang ajar, Nad. Aku gak bisa biarin kamu hidup lagi. Kamu udah nyakitin aku. Semoga kamu bisa tenang bersama mantanku yang lain."

________

"Nadia, siapa tadi? Kamu selingkuh?"

"Itu, Brandon. Temen SMA aku."

"Temen kok pegangan tangan?"

Kami bertengkar hebat. Aku memukuli Nadia seperti sebelum-sebelumnya saat cemburu menguasaiku. Aku tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi padaku.

Setiap pagi aku tahu bahwa Nadia akan bangun dengan wajah bengkak dan memar setelah kupukuli malamnya. Tapi, dia tak pernah protes sekalipun aku tahu bahwa dia bisa saja melawan dan melaporkanku ke polisi.

Aku sudah sering menyakiti gadis-gadis yang kukencani. Ketika cemburu menguasai, mereka akan kupukuli. Hingga mati.

Tak ada yang hidup setelah itu.

Aku juga berulang kali masuk ke panti rehabilitasi. Tapi, berulang kali juga melarikan diri.

Dan pagi ini, kudapati selembar surat di bawah tempat tidurku. Itu tulisan Nadia. Tulisan tangannya rapi tapi isinya menyayat hatiku.

"Seharusnya kamu bilang kalau kamu sakit, Rio. Kita bisa ke dokter sama-sama. Aku sayang kamu apa adanya. Tapi, kenapa kamu lakuin ini padaku? Aku gak bisa lapor polisi karena setiap malam kamu selalu berteriak ketakutan seperti ada yang ingin menangkapmu. Aku ingin selalu ada di sisimu karena aku percaya padamu, tapi kenapa kamu tak bisa percaya padaku?

Penuh cinta,

Nadia'

Aku menangis, meraung. Tak menyangka jika sudah kelewat batas. Aku ... kenapa tak bisa sembuh dari phobia-ku? Seharusnya aku tidak kabur sehingga Nadia tak perlu mejadi korban berikutnya.

Seharusnya aku percaya padanya. Seharusnya aku melindungi Nadia bukannya malah menyakiti. Seharusnya aku mendengarkan gadis itu.

Maafkan aku, Nad. Maaf.

Seharusnya aku tak termakan masa laluku yang kelam. Seharusnya aku tak perlu memikirkan kamu akan mengkhianatiku seperti kekasihku yang pertama. Maaf karena termakan bayang-bayang cinta pertama yang berkhianat. Padahal kamu tidak seperti dia. Seharusnya aku tahu bahwa kamu tidak mungkin mengkhianati-ku. Maafkan aku.

_______

Don't come near me. You'll become unlucky. -Suga, Love Yourself-

End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro