RING
Aku terduduk menatap lurus ke sebuah Ring yang mempertemukanku dengan dia. Cintaku, kekasihku dan sumber dari segala luka lahir maupun batin. Dua tahun yang lalu aku datang ke tempat ini sebagai penonton menyaksikannya bertarung dengan para petarung hebat dari penjuru negeri.
Siapa yang tidak kenal Jalu, petarung hebat dari pesisir selatan Jawa Barat. Namanya begitu disegani oleh para petarung jalanan se-antero negeri. Kehebatannya menaklukan lawan kurang dari lima belas detik membuatnya ditakuti. Namun tidak sedikit orang yang penasaran ingin mengalahkannya.
Dua tahun lalu, ia belum menjadi apa-apa, menantang seorang jawara dari Ibu Kota. Orang-orang memanggilnya Babang Tangan Besi. Kekuatan pukulannya mampu membuat lawannya mengalami luka dalam. Kulitnya yang coklat terbakar matahari dan tatapannya yang tajam membuat siapapun berpikir dua kali untuk menantang si Babang.
Saat dunia petarung jalanan negeri ini sudah merasa Babang lah juara sejatinya, muncul seorang pria dengan tubuh yang tidak terlalu besar menantang dirinya. Pria kecil itu dengan tenang memasuki Ring menatap tajam lawan yang ditantangnya.
“Pertarungan apa yang kau inginkan?” Babang dengan angkuhnya bertanya kepada Jalu yang tingginya hanya sebahu dirinya.
“Cukup pertandingan biasa,” jawabnya singkat.
“Apa taruhannya?”
“Jika aku kalah, kau bebas menjadikanku budak SELAMANYA!” Ucap Jalu tegas.
“Jika kau menang?”
“Aku menginginkan gadi itu.” Jalu menunjuk diriku yang duduk tepat di bangku paling dekat dengan Ring
“Oke, aku akan serahkan anak gadisku satu-satunya. Asalkan kau bisa menaklukanku kurang dari 3 menit!”
Ya, Babang Tangan Besi adalah ayahku. Aku sudah tau resiko menjadi anak seorang petarung jalanan. Dengan wajahku yang orang-orang bilang cantik seperti ini suatu saat nanti aku akan dijadikan pertaruhan.
Dan malam itu menjadi awal dari perjalanan hubunganku dengan Jalu. Pria itu membuat kejutan dengan hanya dalam waktu lima belas detik ia bisa menaklukan ayahku. Siapa yang akan menduga jika si Jalu dapat menghindari kecepatan pukulan ayahku.
Saat itu aku merasakan bahagia sekaligus sedih. Aku bahagia karena akhirnya aku bisa merasakan jatuh cinta dengan restu dari ayahku. Aku sedih, meluhat ayahku tersungkur tidak berdaya di atas Ring dan melepaskan gelar Raja Petarung Jalanan pada Jalu.
Jalu mendekatiku, mengusap rambut hingga pipiku. Wajahnya mendekat dan tanpa kuduga dengan cepat ia menempelkan bibirnya tepat di bibirku. Jantungku berdebar kecang, merasakan hal yang baru pertama kali kurasakan. Adrenalinnya lebih besar dari pada pertarungan di atas Ring, jantungku berdebar tidak karuan. Dan ku rasakan ada sesuatu yang menggelitik dari dalam perutku. Ciuman pertamaku direbut oleh Jalu, pria yang sudah pasti akan menjadi pendampingku di masa depan.
Waktu bergulir dari detik menjadi menit, dari menit menjadi jam. Tidak terasa sudah seminggu sejak pertemuan itu, aku menikmati waktu bersama Jalu sikapnya sangat manis bahkan bagiku terlalu manis bagi seorang petarung sehebat dirinya. Ia juga sudah mulai mengambil alih diriku dari Ayah, sejak tiga hari yang lalu Jalu menggantikan Ayah menjadi pelatihku.
Aku juga seorang petarung, tepatnya calon petarung. Karena ada peraturan tidak tertulis tentang usia minimal seorang petarung, yaitu delapan belas tahun. Aku sudah sangat menantikan momen ini, saat pertama kali memasuki Ring berhadapan dengan petarung wanita lainnya. Aku memiliki hasrat mengalahkan Jenisa, si ratu petarung jalanan.
Karena hasratku itu Ayah memilih Jalu untuk melatihku dengan keras. Karena di matanya pria yang telah mengalahkan dirinya itu sangat layak dan bisa membuatku menjadi ratu petarung jalanan di masa depan.
Tapi sebelum melawan Jenisa aku harus melewati lima petarung terlebih dahulu. Dan malam minggu ini, tepat di hari ulang tahunku yang ke delapan belas, aku akan menjalani debutku sebagai petarung jalanan.
~~~
Akhirnya waktu yang kunantikan tiba berdiri di atas Ring berhadapan dengan petarung debutan lainnya. Ini adalah tahapan pertama yang harus dilalui setiap petarung untuk maju ke pertarungan yang sebenarnya. Berbeda dari pertarungan yang sebenarnya dimana kedua petarung yang menentukan jenis pertarungan. Bagi para debutan peraturan pertarungan sudah disepakati oleh para petarung jalanan terdahulu. Aturannya simple pertarungan akan dihentikan jika salah satu petarung pingsan atau meninggal. Jika belum maka pertandingan akan diteruskan meski si petarung sudah menyatakan menyerah.
Aku berdiri di atas Ring menatap sekitar arena pertarungan. Di sisi sebelah barat dekat Ring ayahku duduk bersebelahan dengan Jalu, dan di situ juga ada seorang wanita yang sangat ku kenal, Jenisa. Wanita itu duduk di sebelah Jalu, sambil matanya menatap tajam ke arah Ring.
“Petarung!” Dewan pertarungan memanggil aku dan lawanku hari ini ke tengah Ring. Ia menjelaskan beberapa hal tentang pertarungan kali ini. Lawanku kali ini terlihat biasa saja, hanya penampilannya yang cukup menyedot perhatian. Gadis ini tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya.
Saat kembali ke sisi Ring menunggu bel pertandinga dibunyikan aku tersenyum mengejek ke arahnya. Gadis itu hanya tersenyum tipis menanggapi.
TENG!
Bel dibunyikan, aku dengan semangat penuh mengambil inisiatif menyerang. Gadis itu lagi-lagi tersenyum tipis tanpa menggerakan badan sedikitpun. Saat jarak sudah tinggal beberapa senti dari gadis itu tiba-tiba terasa nyeri di bagian rusuk sebelah kiriku. Gadis itu melayangkan tandangan yang menohok rusuk kiriku, tendangan lurus dengan ujungkaki yang cukup tajam.
“Apa yang kamu lakukan, bodoh!” Jalu berteriak dari sisi Ring. Ini pertama kalinya aku mendengar kalimat kasar dari mulutnya.
Aku terhuyung nyaris terjatuh, tapi kuda-kudaku masih kuat menahan tubuhku untuk tetap berdiri. Melihat aku yang lengah gadis itu menyerangku dengan membabi buta. Satu tendangan lagi mengarah pada rahang sebelah kiriku, disambung pukulan yang tidak henti-hentinya ia layangkan kepadaku.
Posisiku saaat ini berada di lantai Ring, aku sudah pasrah menerima kekalahan pertama yang akan aku terima, ini debut yang tidak manis!
Saat aku mulai menyerah pada keadaan, sekelebat pelajaran dari Ayah muncul di benakku. Satu detik kemudian gadis itu mengerang kesakitan memegang tenggorokannya. Aku baru ingat, jika pada pertarungan debut apapun boleh dilakukan, termasuk membunuh. Pada saat gadis itu sedang asyik memukul wajahku ia tidak memperhitungkan celah yang terbuka dari lehernya yang langsung saja aku pukul dengan kekuatan maksimal.
Gadis itu berguling-guling di lantai Ring menahan rasa sakit yang menyerang tenggorokannya. Aku yang merasa berada di atas angin langsung berdiri di depannya hendak menendang wajah gadis itu.
“Pada akhirnya, akulah yang akan jadi juaranya!” ucapku sambil menatap matanya yang melotot menahan sakit.
Tapi... Tidak kuduga gadis itu masih bisa menangkis tendanganku yang tinggal beberapa senti lagi siap meremukkan tulang hidungnya. Takisannya yang cukup keras membuat tulang keringku terasa sangat nyeri.
Melihatku yang kesakitan, gadis itu bangkit dari posisinya dan melayangkan upper cut ke arah rahangku yang membuat aku tidak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian aku sadar, dengan bebat di kaki tangan dan beberapa tempelan kain kasa di wajahku yang lebam. Ayah duduk disamping tempat tidurku menenangkanku dan meyakinkanku bahwa kekalahan ini adalah pelajaran untuk aku agar bisa menjadi petarung yang lebih kuat.
Setelah ayah keluar dari kamarku, Jalu datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Mimik mukanya seperti menahan amarah. Sebelum ia mendekati tempat tidurku, ia menutup pintu dengan cara yang tidak pernah kuduga, Jalu membanting pintu kamarku dengan keras.
“Bodoh kau ini, ya!” Tiba-tiba Jalu menamparku sangat keras, aku yang sedang duduk bersandar terjerembab menelungkup di atas tempat tidurku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku tak kalah emosi.
“Sudah kubilang berkali-kali jangan pernah meremehkan lawan!” Aku hanya bisa menunduk dan terdiam mendengar ucapannya. Salahku meremehkan gadis itu. “Kenapa kamu diam, hah?” tanyanya sambil menjambak keras rambutku.
Perlahan air mataku mengalir dari pelupuk mataku, jujur aku takut. Aku tau Jalu seorang petarung di atas Ring tapi di luar itu ia adalah pria manis, baik, dan gentle yang pernah kukenal. Tapi hari ini aku benar-benar melihat siapa dia sebenarnya, Jalu sang petarung jalanan. Akhirnya aku menyesal pernah menaruh hati pada pria yang mengalahkan ayahku.
Waktu terus bergulir. Jalu masih tetap menjadi kekasihku dan tetap menjadi pelatihku. Jalu mulai kembali seperti Jalu yang awal kukenal, ia kembali menjadi pria manis di luar arena pertarungan dan tempat latihan tapi tegas jika aku sedang berlatih bersamanya.
Tapi hatiku sudah tidak bisa berdamai lagi dengan dirinya, hatiku sudah menciut, takut menghadapinya. Aku sekarang lebih banyak diam, termenung, dan melamun jika sedang berjalan berdua dengannya. Tapi dengan sabar ia terus mencoba meluluhkan hatiku lagi yang sudah mulai membeku untuknya.
Perkembanganku sebagai petarung semakin membaik. Ternyata dengan melupakan manisnya cinta dan membekukan hati adalah salah satu cara terbaik untuk menjadi seorang petarung. Langkahku menjadi Ratu Petarung semakin dekat setelah mengalahkan empat petarung sebelum nanti jadwal pertemuanku dengan Jenisa ditentukan oleh Jalu dan Ayahku.
“Kau kenapa, sudah beberapa bulan ini kau seperti menjauhiku,” tanya Jalu di waktu senggang seusai latihan. “Maafkan aku jika sikapku waktu itu sangat keterlaluan. Tapi jujur, itu semua kulakukan demi kebaikanmu.” Jalu membelai lembut rambutku.
“Aku tidak apa-apa,” balasku sambil menepis pelan lengan Jalu yang ada di puncak kepalaku. “Aku ganti baju dulu, sebentar.” Aku melenggang pergi meninggalkan Jalu yang menatapku.
Di dalam ruang ganti seorang wanita yang lebih tinggi beberapa senti dariku menatapku tajam.
“Hallo, nona,” sapanya.
“Hallo, nona Jenisa. Senang bisa berbicang denganmu sebelum pertarungan. Mungkin kita bisa membicarakan apa yang akan kita pertaruhkan, dan jenis pertarungan apa yang akan kita lakukan,” balasku dengan nada mengancam.
“Sabar nona manis. Dewan petarung jalanan belum menentukan tanggal kapan kita akan saling berhadapan di atas Ring.” Jenisa menjeda ucapannya, “tapi jika kamu memaksa, bolehlah. Aku meminta Jalu sebagai pertaruhannya jika aku menang. Tapi jika aku kalah, akan kuserahkan semua harta benda yang kumiliki serta gelar Ratu Petarung Jalanan padamu.”
Deg!
Jantungku seakan berhenti mendengar ucapannya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku masih merasakan setitik cinta kepada Jalu.
“Baiklah!” Jawabku mantap, meski sedikit hatiku menolak.
~~~
Akhirnya hari itu tiba. Aku melawan Jenisa, dengan pertarungan bebas tanpa ada peraturan. Pertandingan akan berakhir jika salah satu dari petarung menyatakan menyerah.
“Para hadirin sekalian mari kita sambut pertarungan utama kita malam ini. Gadis Manis putri dari Babang Tangan Besi akan bertarung denga Jenisa. Baikla...” Saat pemandu acara akan melanjutkan ucapannya aku merebut dengan paksa mic yang ia gunakan.
“Aku punya satu permintaan!” Arena pertarungan yang tadinya riuh dengan sorak-sorai para penonton mendadak hening, semua mata ptertuju padaku yang tengah memegang mic di tengah Ring. “Jika aku mati di atas Ring ini, jangan kubur jasadku. Tapi buanglah di tengah lautan. Agar aku tau betapa luasnya dunia ini. Tapi jika aku berhasil memenangkan pertandingan ini aku ingin melawan kamu!” tanganku menunjuk ke arah Jalu. Jalu yang merasa ditunjuk olehku menatapku tajam ‘apa maksudmu!’ itulah mungkin arti dari tatapannya. “Iya, kamu yang terhormat raja dari para petarung, tuan Jalu. Aku menginginkan pertarungan HIDUP ATAU MATI!”
Aku membuang sembarang mic yang kupegang setelah menyelesaikan permintaan singkatku itu. Jalu yang hendak protes ditahan oleh ayahku.
Pertarunganku dengan Jenisa yang diprediksi akan berlangsung alot ternyata hanya berlangsung kurang dari satu menit. Jenisa yang tengah asyik menyerang tidak menyadari satu titik selalu terbuka dan membuatnya mudah untuk di serang. Satu pukulan kulayangkan tepat ke uluh hatinya, Jenisa jatuh tersungkur. Aku yang tidak suka bermain bawah lebih memilih menginjak-injak tubuh Jenisa yang sudah tak berdaya. Akhirnya pada detik ke lima puluh enam, Jenisa menyerah.
Tapi itu bukan pertarungan sesungguhnya. Pertarunganku baru saja kumulai, dengan seseorang yang telah membawa hatiku terbang ke awang-awang, tapi dijatuhkan saat lagi sayang-sayangnya. Bukan salahnya, bukan juga salahku. Tapi keadaan yang membuatku tidak bisa menerima perlakuannya.
Egoku besar, sama seperti petarung lainnya. Ini adalah ajaran darinya dan dari ayahku. Cintaku padanya juga besar, tapi rasa takut menatap lengan kekarnya, mata tajamnya dan umpatan-umpatannya membuatku menjauhinya. Tapi apa daya hati tidak bisa berbohong, aku tidak bisa menghilangkan dia di hatiku. Jadi inilah jalan satu-satunya yang kupilih, pergi dan mati di tangannya.
Jalu sudah berdiri atas Ring, berhadapan denganku yang sudah bermandikan peluh. Aku tidak akan melawan, karena aku yang ingin mati.
Bel pertandingan sudah dibunyikan. Tapi Jalu masih tetap di posisinya diam. Aku pun sama tidak memiliki inisiatif untuk menyerang. Aku berpikir keras, bagaimana caranya memancing Jalu untuk menyerangku, ini pertandingan hidup mati. Jika tidak ada yang mati hingga dua jam pertandingan, Dewan petarung jalanan akan mengirimkan algojo untuk membunuh kedua petarung.
Aku mundur beberapa langkah, menarik nafas panjang sebelum akhirnya aku berlari menerjang Jalu yang masih tetap diam. Pukulan yang kulayangkan hanya meninju angin, Jalu dengan mudahnya berkelit. Dua tiga pukulan selanjutnya juga sama saja hanya mengenai angin.
PLAK!
Tiba-tiba Jalu menamparku keras, membuat darah keluar dari sudut bibirku. Aku tersenyum, inilah yang aku harapkan. Entah dari mana datangnya sebuah pisau dilemparkan oleh seseorang penonton. Karena ini pertandingan hidup atau mati, maka senjata apapun diperbolehkan digunakan di dalam Ring. Aku dengan sigap ingin merebut pisau yang tergeletak tepat di tengah-tengah Ring. Aku memang mendapatkan pisau itu, tapi Jalu tidak kalah cepat meiting tanganku ke belakang dan dengan mudah merebut pisau itu dari tanganku.
Jalu menendang kepalaku hingga membuatku tersungkur di lantai Ring. Jalu berjalan mendekatiku lalu menjambak rambutku hingga aku berdiri tepat dihadapannya. Tatapannya semakin tajam dan menakutkan. Pisau di tangannya mengacung tepat di jantungku. Aku tersenyum manis untuk pertama kalinya sejak penyiksaan itu. Kupejamkan mata siap menyambut malaikat kematian yang mungkin sebentar lagi akan membawaku pergi dari dunia ini.
Jalu memelukku erat, kurasakan dadaku semakin basah dan terasa hangat tapi tidak ada rasa sakit yang kuterima. Perlahan tubuh Jalu merosot dari pelukanku. Pisau yang tadinya mengarah tepat ke jantungku ditusukkan oleh Jalu ke jantungnya sendiri. Malam ini aku yang meminta kematian, tapi Tuhan belum mengijinkan.
Pada akhirnya Jalu mati di tangannya sendiri di hadapan gadis yang ia cintai.
~~~
Dua tahun berlalu sejak kematian Jalu. Kutemukan sepucuk surat dari dalam loker kamar kostnya.
Teruntuk cintaku Putri dari si Tangan Besi.
Jika kamu menemukan surat ini, maka sudah dipastikan aku tidak ada di sisimu lagi. Maafkan aku yang terlalu keras padamu. Jujur di hari itu aku juga merasa sangat menyesal telah melakukan yang yang tidak seharusnya padamu.
Berbulan-bulan berlalu, sikapmu semakin dingin dan cenderung menghindariku, aku tau dari sorot matamu bahwa ada ketakutan yang sangat besar saat kamu menatapku. Kamu menghindar bukan karena kamu tidak mencintaiku lagi tapi kamu takut.
Berbulan-bulan itu juga aku merasa depresi, merasa berdosa, merasa bahwa aku pria paling tidak berguna. Aku bahkan lebih bodoh darimu, menyia-nyiakan hati yang sulit kudapatkan.
Jika kamu berkunjung ke tempat kostku, kamu akan menemukan banyak pecahan kaca, ya aku berkali-kali mencoba mengakhiri hidup ini. Aku lelah merasakan hal ini. Lebih baik aku bertarung melawan petarung paling tangguh di dunia, merasakan sakit yang bisa diobati dengan mudah. Tapi aku tidak kuat dengan yang namanya cinta. Ia lebih menyakitkan dari gigitan Tyson pada Holyfield. Sulit untuk diobati.
Benar kata orang cinta dapat membunuhmu! Tapi aku rela jika nanti harus mati di tanganmu. (Semoga saja tuhan mengabulkan keinginanku yang satu ini)
Terima kasih sudah membaca surat kecil dariku ini.
Salam Sayang Putra Panjalu
Aku terduduk menatap lurus ke sebuah Ring yang mempertemukanku dengan dia. Cintaku, kekasihku dan sumber dari segala luka lahir maupun batin. Dua tahun yang lalu, aku mengabulkan sedikit keinginannya. Mati di tanganku, meski pada akhirnya ia mati oleh tangannya sendiri di hadapanku. Aku tidak pernah menyangka orang sekuat Jalu memiliki yang rapuh.
Maafkan aku, Panjalu.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro