Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Our Heart For Life

Rintik-rintik air hujan masih bersemangat untuk turun, membasahi kedua insan yang saling memandang di taman. Di bawah mendungnya langit, mereka berbagi kepahitan yang dirasa. Cukup untuk menjelaskan siapa yang sedang bersedih di sana; keduanya.


Secepat monitor layar, hujan kembali mengguyur lebih deras. Bulir airnya seperti jarum, sangat menusuk. Memberi sensasi dingin yang tertancap manis di tubuh, berlama-lama tanpa penghangat akan membuat siapa saja menggigil. Membeku kalau bisa.

Siapa juga yang tega membiarkan tubuhnya berubah menjadi es sementara di dalamnya ada darah yang mendidih?

Tak terkecuali Violet, seorang gadis berparas cantik itu tidak bisa menahan sesak di dadanya. Ia menangisi keadaan dan kebodohan yang telah dilakukannya. Ia menghiraukan tubuhnya, terlampau tidak peduli dengan kondisinya.

Bahkan sampai berubah menjadi hujan salju pun, Violet tetap tidak peduli.

"Dia tidak baik untuk Nona. Kumohon jauhi dia."

Jika saja dunia ini penuh dengan kekuatan magis, maka Violet ingin memutarbalikkan waktu. Menata kembali jalan hidupnya, tidak akan pernah mau terlena dalam cinta bodoh yang memuakkan.

Atau bergerak ke masa depan, menertawakan dirinya yang bodoh, yang menyedihkan, yang telah merusak dirinya sendiri, yang telah membiarkan orang berengsek merenggut dirinya.

Kenapa ia harus terlahir menjadi pribadi yang menyedihkan? Bahkan harus melewati kenyataan pahit sepanjang hidupnya. Seharusnya ia tidak pernah membuka mata di dunia ini. Raganya seharusnya tidak pernah terisi ruh, biarlah membusuk di dalam kandungan karena ia tidak pernah meminta untuk dihidupkan.

Violet tahu ibunya akan bersedih jika kandungannya gugur setelah melewati proses yang panjang. Kehadirannya mungkin memang membahagiakan. Namun jika tidak bisa menjamin masa depan Violet, kenapa harus melahirkannya?
Itu hampir sama dengan memberi harapan palsu.

Untuk apa hidup jika kebahagiaan yang ia miliki selalu menghilang dan kesedihanlah yang dominan mengisi kehidupannya. Takdir apa yang tega memaksanya untuk hidup?

Sementara dunia ini membuat Violet tertekan, kehilangan arah, membenci semua orang walau tak banyak juga yang masih sayang padanya.

Intinya, hidup terlalu berat untuknya.

Seorang lelaki yang sedari tadi berdiri di hadapannya mendekat, tangannya terangkat dan mengusap pucuk kepala Violet. Meski pelan, sukses membuat Violet terpaku.

Mengingat bagaimana sikap hangatnya, tentu air mata milik Violet akan kembali meluncur. Lebih banyak mungkin. Lugunya, ia terlalu bodoh untuk memupuk harapan lebih tinggi.

"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi," lirihnya. "Aku memang bodoh, aku sialan, aku—"

Cup. Satu kecupan manis mendarat di kepala Violet. Sebuah kehangatan seakan menyetrum sehingga tubuh Violet mati rasa, namun memberikan setitik ketenangan.

Haha, ketenangan macam apa? Begitukah yang namanya ketenangan? Bukan rasa ingin dimengerti? Sampai kapan Violet membohongi kata hatinya terus?

Pelukan hangat lantas dirasakannya. Menenggelamkannya kembali pada emosi yang tidak dimengerti, penuh tanda tanya. Ini terlalu manis untuknya. Ia tidak ingin seperti ini, ini salah! Tapi tubuhnya tidak bisa menolak, ayolah ....

Kenapa harus dia yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman?

Kenapa harus dia yang selalu bisa menutup rasa takutnya ketika pagi hari menyambut?

Kenapa harus dia yang selalu bisa membuatnya tersenyum?

Kenapa harus dia, bukan Gray yang faktanya—dulu—adalah kekasihnya?

Memilih Gray sebagai kekasihnya adalah kesalahan terbesar yang pernah Violet lakukan. Pepatah lama yang mengatakan 'penyesalan selalu datang terlambat' itu benar sekali. Kemudian penyesalan itu akan mengubah cinta menjadi rasa benci yang sangat mendalam.

Bodoh. Kalau begitu, kenapa harus ada cinta di dunia ini?

"Kumohon katakan aku harus bagaimana." Violet masih terisak, memberikan banyak jeda. "Aku sampah, aku sudah menghilang. Aku kehilangan arah, tujuan hidupku ke mana sekarang??!"

Bersamaan dengan petir yang menyambar, Violet berteriak. Dengarkan, ini suaranya hatinya, hal yang selama ini dipendamnya. Tidak peduli seberapa banyak sikap arogannya, gadis itu hanya ingin mengutarakannya.

Terlalu sakit untuk memendamnya sendiri.
"Kenapa kau diam saja? Apa karena aku sudah tidak berharga lagi? Kau sayang padaku, 'kan? Jadi tolong, j-jangan tinggalkan aku. Dan katakan, AKU HARUS BAGAIMANA SEKARANG??!"

Setengah frustasi, Violet melepas pelukan dan bergerak mundur. Ia menatap sendu lelaki di hadapannya yang masih saja diam.
"Kenapa k-kau begini? Hu-huua, kau—hiks, benar-benar jahat," senguk Violet sambil mengusap wajahnya.

"Nona, kau-lah yang jahat," tutur sang lelaki. "Aku selalu menunggumu, bersabar dengan sikap anehmu. Namun, hari itu kau mengusirku dan lebih memilih bersamanya. Nona mencelakai diri Nona sendiri. Apa aku salah?"

Merasa sangat tertampar, Violet menunduk. Benar, everything is her fault. Kenapa hatinya harus bermain dalam cinta buta yang menenggelamkan?

"Nona, di sini dingin. Ayo kita pulang."

"Pulang saja sendiri!" maki Violet kesal.

Diperlakukan seperti ini pun, sang lelaki tetap tidak akan membiarkan Violet sendirian. Apalagi sampai jatuh sakit ditusuk derajat minus.

Sebenarnya, ia sungguh kasihan dengan gadis di hadapannya. Dari dulu selalu saja begini, jika sudah bersedih maka butuh berhari-hari untuk bisa melupakannya.

Tak jarang Violet akan berteriak sendiri di kamar, menyalahkan dirinya dan sekitar. Jika saja Violet tidak punya sandaran yang tepat, sudah pasti gadis itu melampiaskan dengan cara yang salah.

Untung ada dirinya.

Namun yang selalu menjadi pertanyaannya, apakah Violet merasakan hal yang sama? Meski mereka memang tidak bisa saling memiliki, apa yang membuat Violet mau untuk tetap bersamanya?

Kehidupan mereka berbeda, amat sangat berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, dan mereka bersama karena saling membutuhkan. Sayangnya bukan dalam artian cinta.

Sang lelaki membutuhkan Violet untuk tetap hidup dan Violet membutuhkan sang lelaki untuk tetap merasakan hidup. Terlalu klasik, tapi begitulah kenyataannya.

Percaya atau tidak, apabila takdir tidak mempertemukan mereka maka keduanya pasti sudah mati. Mati dalam artian tertidur untuk selamanya dan tidak akan terbangun sampai waktu yang telah ditentukan.

Kedengarannya seperti perjanjian bodoh. Mereka saling membutuhkan. Lucunya, selalu saja ada dinding yang membatasi mereka. Dinding yang memisahkan segalanya. Menyadarkan mereka pada fakta yang sangat tidak adil.

"Nona, aku pernah bilang soal kekuatanku kan?" tanya sang lelaki. Sebisa mungkin ia tersenyum. Senyum bodoh.

"Mungkin memang tidak bisa mengubah takdir atau kembali ke masa lalu," sambungnya. "Tapi aku yakin, inilah saat yang tepat untuk aku melakukannya. Katakan padaku, apa yang Nona inginkan?

"Jangan permintaan bodoh seperti Nona ingin mati atau sejenisnya. Aku akan merasa sedih jika mendengarnya, Nona selama ini adalah kebahagiaan yang selalu aku jaga."

Mendengarnya, Violet menggeleng lesu. "Jika aku mengatakannya, kau akan menghilang. Dan a-aku tidak akan bisa... b-bersamamu lagi—hiks."

"Nona, kau membutuhkannya."

Ingin sekali sang lelaki kembali memeluk Violet, menenangkannya. Tapi ia yakin, Violet masih sama—masih keras kepala. Dengan lembut diam-diam gadis itu akan menolak perlakuannya.

Merasa kosong dengan pikirannya, sang lelaki tidak sadar mendadak Violet memeluknya erat. Air mata gadis itu tumpah lagi, membuatnya terenyuh pilu. 

Tidak bisakah ia melihat kebahagiaannya memasang senyum polos seperti ketika pertama kali mereka bertemu?

"Maaf, semuanya salahku," lirih Violet.
"Ini memang salah, tapi semuanya bukan salah kita," balas sang lelaki. "Terkadang memang ada hal yang menjadikannya 'oh ini salah' tapi bukan berarti semuanya salah. Hidup Nona masih panjang, berhentilah bersedih."

Pelan, Violet melepas pelukannya. Apa yang diucapkan sang lelaki memang benar. Haha, kenapa Violet sebodoh itu?

"So how? Nona akan menyesal bila tidak memintanya."

"Mendekatlah."

Tahu apa yang dimaksud, sang lelaki mendekatkan kepalanya. Suara lembut menyambut telinganya, Violet tengah membisikan sesuatu. Apa lagi kalau bukan permintaan?

Merasa sudah cukup, sang lelaki mengangkat kembali kepalanya. Mereka bertatapan sangat lama, hati mereka mengatakan tidak ingin berpisah. Tapi ini sudah sampai pada batasnya. Semuanya memang datang untuk pergi, jangan merasa tertampar akan hal itu.

"Violet, ingatlah. Meski besok aku sudah tidak akan lagi berada di sampingmu, memberimu keceriaan, ingatlah aku akan selalu berada di hatimu." Ah kenapa air matanya meleleh lagi, lebih pedih. "Aku akan menghilang dari hidupmu, berbahagialah."

Salah. Seharusnya mereka tidak pernah bertemu, seharusnya mereka memang sama-sama sudah mati.

"Aku menyayangimu."

Sakit...

Perih...

Retak...

Nyeri yang begitu terasa. Violet tidak bisa berbohong hatinya bertambah hancur sekarang. Apa sih yang Violet inginkan? Terlalu banyak harapan yang gagal, sungguh mirisnya.

Ia hanya tidak ingin, semua orang pergi dari hidupnya setelah bertubi-tubi rasa sakit yang menimpanya. Ia tidak ingin semua orang mengingkari janjinya. Ia benci merasa sendiri.

Haruskah ia jatuh dari gedung berlantai 21 sekarang juga untuk membuktikan betapa frustasinya dia?

Jangan tinggalkan aku sendiri, kumohon ....

**

"Mau mengerjakannya di rumahku?"

Tentu saja tawaran basa-basi itu akan langsung dijawab oleh anggukan kepala Violet. Ia tersenyum senang. Ah bagaimana rasanya berkunjung ke rumah sang kekasih? Terlebih mereka bukan hanya sekadar berkencan.

Well, Gray akan membantunya mengerjakan tugas Bahasa Jepang. Melihat urutan kanji saja sudah membuat Violet sedikit mual. Maka patut disyukuri bila ada yang bersedia membantu.

Kedengarannya seperti
Pukul sepuluh pagi, mereka sudah sampai di rumah Gray. Hari itu cuaca sedang panas-panasnya, dengan setengah kesadaran Violet langsung menghambur masuk. Pandangannya sedikit berkunang-kunang ketika sudah berhasil berlindung dari terik matahari.

"Ingin semangkuk es krim?" tawar Gray. Ia terkekeh geli melihat Violet masih mengaduh kepanasan.

"Mau!" sembur Violet langsung. "Ayo cepat! Mari sedikit berpesta sebelum bertemu dengan para soal sialan."

"Iya, iya. Tunggu sebentar Sayang." Gray menyentil hidung Violet jahil. Lagi-lagi Violet mengaduh.

Beberapa menit kemudian Gray datang dengan membawa dua mangkuk es krim penuh. Melihatnya saja sudah membuat Violet menenguk air liur.

"Sayang, pelan-pelan dong," pesan Gray. Ia menggeleng melihat sikap kekasihnya itu. Sudah masuk sembarangan, sekarang malah makan belepotan.

"Gray, bolehkah aku tambah lagi?" pinta Violet. Jatah es krimnya kini sudah habis tak tersisa dalam lima menit pertama. 

"Tidak boleh."

Violet mengerucutkan bibir, ini kali pertama Gray tidak menuruti permintaannya. Bukan Violet namanya bila langsung menyerah begitu saja.

"Kumohon .... Ya? Ya? Ya?" Jari mungilnya terus menusuk-nusuk pipi serta lengan Gray.

"Sayang, ayo kerjakan tugasmu," kata Gray mengalihkan perhatian. "Di kamarku saja agar sekalian memperlihatkan Gunpla milikku. Dari dulu kau ingin melihatnya, 'kan?"

Mendengar kata 'Gunpla' diucapkan, binar mata Violet membulat dengan sempurna. Hatinya kian menjerit-jerit senang, ini adalah kejutan yang spesial! Gray lantas menarik tangan Violet supaya gadis itu tidak ke mana-mana.

Satu Gunpla berwarna biru menyambut ketika mereka memasuki ruangan bernuansa abu-abu itu. Violet sangat tidak percaya, ruangan besar ini bahkan tidak pantas disebut kamar.

Ah ... orang kaya.

Hatinya sedikit menciut. Ia menatap Gray yang sedang merapihkan koleksi Gunplanya. Terkadang Violet merasa tidak pantas berada di sisi lelaki itu. Tapi Gray selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Ia tidak mungkin melepasnya semudah itu.

Tatapannya berlanjut pada jajaran Gunpla yang terpajang. Banyak sekali, kalau bisa Violet ingin meminta satu. Gunpla yang mana saja asal Violet bisa menyimpan Gunpla pertamanya.

Sedang asik-asiknya, kamar Gray seketika menjadi sangat gelap. Violet mengernyit, jendelanya tertutup.

"Gray?" panggilnya. Hening. Tak ada jawaban.

Merasa dipermainkan, Violet menyahut lagi. "Gray? Gray Sayang, apa yang kau lakukan?"

Jede beberapa saat sebelum akhirnya Violet merasakan mulutnya dibekap dan tubuhnya terkunci. Detik berikutnya—entah bagaimana—Violet sudah berada di atas kasur dengan posisi terlentang.

"G-Gray?" tanyanya parau.

"Sssstt, diam Sayang," balas Gray, "kau ingin bermain denganku bukan? Mari kita lakukan sekarang."

"Hah? Gray a-apa maksudmu—hmph."

Lelaki di atasnya sudah melumat bibir kecil Violet penuh napsu. Jari-jarinya yang besar meremas gundukan dadanya keras—membuat Violet menjerit kesakitan.
Tangan kotor Gray bergerilya ke bawah, menyusup celah di antara kedua paha milik Violet. Senyumnya mengembang ketika berhasil memegang mahkota terbesar perempuan.

"Sayang, aku sangat bersyukur kau mengenakan rok mini," katanya. "Ini sangat memudahkanku hahaha. Katakan Sayang, kau ingin apa?"

Rasanya Violet ingin menangis saat itu juga. Kenapa ... kenapa Gray-nya seperti ini? Tuhan, ia begitu bahagia bisa bersama dengan lelaki itu. Tapi kenapa Gray sama busuknya dengan orang-orang di sekitarnya?

Tidak adil!

Takut. Violet sangat ketakutan sekarang. Kejam. Dunia ini benar-benar kejam. Tidak adakah yang mau menerima kehadirannya? Kenapa harus seperti ini?

Air matanya sukses mengenang. Bersamaan dengan itu, Violet merasakan Gray tidak lagi menindihnya. Ia mengerjap dan berusaha mengatur napasnya.

Sudah? Tidak ada skenario buruk?

Baru saja pelan-pelan ia bangun, baru saja ia sedikit bergembira, Gray datang kembali dan mendorongnya—memaksanya agar kembali tidur.

Oh ya Tuhan!

"Kau tidak akan ke mana-mana, Sayang. Tidak sampai aku melepasmu." Gray mengusap pipi Violet pelan. "Kau sangat cantik, sayang sekali jika aku harus membunuhmu. Bagaimana dengan menyiksa?"

Napas Violet menderu, banjir di pelupuk matanya semakin menjadi. Gray-nya tidak seperti ini, dia bukan Gray yang selama ini dikenalnya. Dia berbeda ... kenapa?

Violet merasakan rambutnya ditarik. Rasa sakitnya menyerang hingga ke kuku, sangat pedih. Gray ... dia tega sekali!

Lelaki tidak tahu diri itu menempelkan sebilah pisau di pipi Violet, menggoresnya sedikit hingga cairan kental bernama darah terlihat. Sedikit lebih dalam lagi, Violet mengerang.

Terlalu sakit untuk raga dan batin.

"Menjeritlah, Sayang. Keluarkan suaramu, terlalu nyaring untuk dilewatkan," girang Gray. "Ouh lihatlah. Gadisku menangis. Cup cup, tenanglah Sayang. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya akan membantumu mengobati luka terdalammu. Aku baik, 'kan?"

Gray berteriak ketika Violet tiba-tiba menggigit tangannya dan menamparnya. Perlakuan yang tiba-tiba. Namun tentu saja tenaga laki-laki dan perempuan berbeda.

Apa yang dilakukan Violet seperti semut yang menggigit gajah. Terlalu lemah, bahkan akan mati sekali injak. Haha, dasar perempuan lemah.

Dengan santai, Gray memeluk tubuh kecil Violet dan mengangkatnya. Mengusap lembut bokong halus Violet yang bulat.

"Sayang, kita akhiri ini dengan sesuatu yang berkesan ya?"

Berkesan. Ya, kenangan pahit. Entah sampai kapan Gray terus mempermainkannya, Violet berharap semua itu cepatlah berakhir. Atau katakan padanya, semua ini hanya mimpi.

Dan semuanya kembali seperti sedia kala.

**

Bahagia. Apa definisi bahagia menurutmu? 

Apakah terdampar di pulau bersama orang yang kau cintai atau berada di kerumunan orang yang menyayangimu? Apa pun itu, semua orang berhak untuk berbahagia. 

Dunia memang kejam, ya itu pasti. Tapi jangan lupakan ada hikmah yang terkandung di balik semua kisah. Yang mungkin bisa membuatmu belajar, lantas menjadi pribadi yang lebih baik.
Kita boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Begitu juga dengan bahagia. Maka kita harus tegar dengan berbagai macam ujian hidup. 

Namun bila kau berada di lubang hitam kesengsaraan hidup, tidak tahu harus bagaimana dan kehilangan arah. Jangan lupakan satu hal, Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. 

Ada kesedihan, maka di baliknya ada kebahagiaan. Kau sendirian, suatu saat akan ada yang menemanimu melewati semuanya. Whatever is, pasti akan ada saatnya. 

Saat di mana kau kembali berada di atas dan menghirup udara kebahagiaan. 

Langit di atas sedang berwarna biru cerah tanpa awan. Cukup indah bila memandangnya sambil tiduran. Well, setidaknya suasananya cukup untuk menyemangati orang-orang melakukan aktivitasnya. 

Seorang gadis yang memakai topi jerami sedang merawat bunga-bunga yang ditanamnya. Sesekali ia menulis sesuatu pada buku hariannya, sesuatu yang manis. 

Ia tersenyum setiap kali membaca lembar demi lembar buku hariannya. Namun ada lembar yang tidak ingin ia baca, lembar paling belakang. 

Dan kali ini, gadis itu memberanikan diri untuk membacanya. Ia sudah membukanya, dan tulisan itu masih sama seperti awalnya. Tidak berubah dan bermakna sama. 

Jika aku tidak bisa memiliki Nona secara utuh, lantas bolehkah aku memilih yang terbaik? Atau, bolehkah aku menyingkirkannya dari hidup Nona? Ya aku tahu, aku memang tidak pantas berada di sisi manusia. — Ren

Setitik air matanya menetes, bibirnya sedikit mengembang. Tidak pantas. Huh, tidak pantas apa? Ren beribu-ribu kali lebih pantas dari seonggok manusia yang dikenalnya.
Ia mencintai Ren, Violet mencintai manusia serigala itu. 

Namun bila mengakuinya, melawan publik namanya. Hubungan manusia dan manusia serigala hanya sebatas 'tuan dan pelayan'. Begitulah kira-kira, menjalin sebuah hubungan cinta adalah hubungan yang sangat dilarang. 

Hidup dan mati manusia serigala ada di tangan manusia, tergantung pemiliknya. Karena itu kebanyakan dari manusia serigala mengabdi pada sang pemilik dan selalu bersikap baik jika mereka ingin terus hidup. 

Violet lebih dari bersyukur ketika ayahnya membawakan seekor manusia serigala tepat ketika berumur tujuh tahun. Katanya untuk mengisi teman bermain. Hubungan Violet dan Ren sangat dekat, cocok untuk dipanggil sepasang sahabat. 

Semakin beranjak dewasa, hubungan mereka sedikit melonggar. Namun Ren selalu setia menunggu Violet, bersikap sabar dengan segala sikap acuhnya, dan akan menghiburnya di kala gadis itu bersedih. 

Kedewasaan itu mengantarkan mereka pada arti hidup dan sebuah kejujuran. Tiga tahun berlalu sejak saat itu, sejak Ren mengabulkan permintaan kecilnya. 

Bisa dibilang, itu seperti permintaan aneh yang memohon pada bintang jatuh. Jelas, manusia serigala itu memang melakukannya. Hanya dia, Ren, dan Tuhan yang tahu apa permintaannya. Yang jelas, Violet bisa bangkit dari masa terpuruknya setelah permintaannya terkabul. 

Ya setelah ditinggalkan oleh Gray, tentu tempatnya berpulang saat itu adalah Ren. Mungkin ini adalah balasannya, banyak sekali sikap buruk yang sudah Violet lakukan pada Ren. 

Tapi ia sadar, hidup keji. Bila tidak terbiasa dengan hal itu, masih beranikah kau mengatakan dirimu hidup dan bernapas hingga detik ini? Kau tidak lemah, kau hanya tidak punya penyangga untuk menopang kehidupanmu sendiri. 

Ingatlah, tetapkan dalam hati kau masih muda untuk bertemu orang baru dan mengunjungi tempat baru. Suatu saat, pasti akan ada yang cocok denganmu. Namun jangan terlalu erat menggenggamnya, kau akan kembali merasa sakit ketika membiarkannya pergi. Termasuk soal cinta, kejujuran, dan kepercayaan. 

Sebenarnya dunia tidak sekeji itu, semuanya tergantung pada masing-masing pribadi melihatnya. Tinggal bagaimana kita melakukannya, semuanya punya cerita, semuanya punya alur. 

Karena kita adalah manusia, jangan lupakan unsur lain selain akal yang membuat kita menjadi pribadi sempurna. Yakni hati. 

Hatimu adalah sang arah, dia tahu segalanya. Dengarkan dia dan mulailah berlari bersamanya. 

—END—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro