Keterpaksaan Dalam Hubungan
Ini soal waktu yang menuntut kita untuk bersama.
Soal rasa yang dipaksa;
lalu berujung kepahitan.
---
KEPALAKU menggeleng tak percaya. Mataku menatap nanar seseorang ada di hadapanku. Sekuat-kuatnya aku menahan isakan, tak peduli bahkan sampai dadaku sesak sekalipun. Napasku tersengal-sengal, mengimbangi antara isakan dan mengambil napas. Gigitan pada bibirku sepertinya sudah terlalu lama. Kulitnya jadi sobek. Darah segar ke luar dari sana, yang langsung kujilat cepat.
Air mataku turun deras, tak peduli sampai mataku perih sekalipun. Kenyataan yang ada di depan mataku sungguh pahit. Aku sendiri tak percaya ini terjadi. Lelaki yang kuhormati selama dua tahun terakhir kini terbaring lemah di atas kasur rumah sakit.
Lelaki yang biasanya dengan tegas memerintah, sekarang hilang kesadaran. Lelaki yang biasa berjalan tegap, sekarang harus terbaring lemah. Lelaki yang selalu menudingkan telunjuknya di depanku, kini malah bergantung nasib dengan alat-alat medis.
Aku membekap mulut, tak kuasa menahan pilu. Tak peduli walau air mata mengenai luka lebam di keningku. Perih memang, tapi rasanya tak sebanding dengan pedih hati kala melihat suamiku berjuang melawan maut.
Hatiku hancur.
"Sabar, ya, Lis." Hiburan Bapak sama sekali tidak membantu. Bahkan belaiannya yang biasa lembut, kali ini terasa kasar.
Aku menepis tangan Bapak pelan. "Lisa mau sendiri, Pak."
Aku yakin Bapak bisa mengerti. Ia menghela napas pelan, lalu berjalan ke luar kamar, membiarkan aku berimajinasi dengan pikiran dan perasaanku sendiri.
Suara elektrokardiogram yang teratur terdengar nyaring memenuhi ruangan. Isak tangisku perlahan reda, walau air mata tak berhenti turun.
Ingin tanganku menggenggam tangan besarnya, memberi kekuatan, membisikkan doa-doa di telinganya. Tapi hatiku masih dilingkupi ketakutan-ketakutan.
Ada batas yang membuat aku enggan menyentuhnya.
Mataku memandang wajahnya; wajah yang biasa dihiasi kerutan marah itu kini penuh luka, beberapa lebam dan bengkak yang menyakitkan. Irisku turun melihat kedua telapak tangannya yang tergeletak lemah. Tanpa tenaga.
Kini semua berubah. Berbalik drastis. Tuhan membalikkan posisi kita. Dulu, kamu keras. Bahkan hari-hari kau isi dengan bermain tangan. Sedang aku hanya bisa menangis lemah, berteriak dalam hati semoga kau berubah. Dan sekarang, kamu berubah lemah, lalu aku menjadi keras.
Sayangnya, kekerasanku bukan untuk menyiksa fisikmu. Ia cukup untuk memberitahu aku, seberapa besar aku mencintaimu, tak peduli sekasar apa kau padaku.
***
Semua berawal dari satu kalimat sederhana Bapak; "Bapak sudah tetapkan pilihan yang terbaik untukmu. Menikahlah, Nak. Kau akan bahagia."
Aku menghela napas berat. Saat itu usiaku tak lebih dari 20 tahun. Masih terlalu muda untuk menikah. Bahkan karirku belum berkembang luas. Masih banyak mimpi yang ingin kuraih, sebelum aku menjadi ibu rumah tangga.
Di saat yang bersamaan, aku malah dihadapkan dengan kenyataan pahit kalau Bapak beristri lagi. Itu tandanya, Bapak menduai almarhum emak. Saat itu, semua berubah.
Bapak bukan lagi lelaki bijaksana yang kukenal. Ia terasa asing; lebih pemarah, gaya hidupnya pun berubah. Tak lagi sederhana, bahkan kutemui beberapa kali bapak mabuk dengan teman-temannya. Entah teman dari mana.
Sementara aku dipusingkan dengan masalah 'ibu baru', bapak mendesakku untuk tetap kawin.
Apalah daya, semua keputusan ada di tangan Bapak. Seolah pembantu yang menurut apa kata majikan, aku mengiyakan kemauan Bapak.
Membantah orangtua tidak akan membuat hidupmu bahagia, Nak. Itu kalimat Bapak yang akhirnya mengantarkanku ke pelaminan, duduk di samping pria yang sama sekali tak kuketahui asal-usulnya.
Hari itu benar-benar terjadi. Kami menikah, disaksikan banyak saksi. Malam itu, pria yang duduk di sampingku telah resmi menjadi bagian hidupku. Kami dipersatukan dengan ikatan agama, tanpa ada cinta—karena kami yakin, cinta akan bertumbuh seiring waktu berjalan.
Ardi Praharja, pria tampan dengan harta melimpah dan kekuasaan tinggi di kantornya. Pria luar biasa menurut Bapak, karena di usianya ke-23, ia sudah bisa memegang setengah saham perusahaan ayahnya.
Dan itu cukup menjadi alasan untuk dia menginjak-injakku.
Begitu katanya.
Berbagai pilu kulalui selama dua tahun tinggal dengannya. Tiap hari sabuk mengenai kulit punggungku sebagai pelampiasan amarahnya. Lelaki temperamen itu lebih sering menyiksa istrinya sendiri.
Seperti hari ini, lagi-lagi emosinya memuncak. Entah karena masalah bisnis atau dengan teman, tapi aku selalu menjadi barang penyalur amarah.
"Lisa!" panggilnya keras--hampir berteriak.
Aku berlari menghadapnya. Kepalaku menunduk, tak berani menatap langsung matanya. Persis seperti seorang pembantu yang menunjukkan hormat--sekaligus rasa takut--pada tuannya. "Iya, Mas? Ada apa?"
"Kamu ini gimana, sih?! Masak aja nggak becus! Asin semua ini!"
PRANG!
Ia melempar piring berisi nasi goreng yang tadinya ada di genggamannya. Bunyi pecahan itu langsung merambat masuk dalam gendang telingaku, membuat tubuhku gemetar.
"Ta-tapi tadi saya sudah cobain. Nggak asin, kok, Mas," ucapku terbata-bata, berusaha membela diri. Toh tadi memang aku sudah mencicipinya. Rasanya persis seperti biasanya.
Ia langsung menggebrak meja dan bangkit dari duduknya. Sepertinya kata-kataku salah. "Jadi kamu nyalahin lidah aku, iya?!" serunya penuh emosi.
Buru-buru aku menggeleng. "En-enggak, Mas. Sa-saya cuman--"
"CUMAN APA, HAH?!" Ardi memelototiku garang sembari berkacak pinggang.
Aku menunduk ketakutan. Oh, ayolah, luka kemarin bahkan belum mengering. Jangan sampai ia menorehkan luka baru di tubuhku.
PLAK!
Belum sempat aku menyahut, tangannya terlebih dahulu melayang mengenai pipiku dengan keras.
Aku memegangi pipi kananku sambil meringis. Mataku berlinang air mata.
"Kamu jangan berani sama aku! Aku itu suami kamu! Cukup dengarkan dan turuti kemauanku! Nggak usah pake ngejawab! Jangan sok pintar di sini!" serunya kembali. Kali ini telunjuknya menuding ke arahku, seolah memang aku yang salah di sini.
Ngerti?!
Aku mengangguk cepat, tak mau merasakan lagi amarah suamiku.
Gitu doang nangis! Cengeng! ejeknya ketika melihat air mataku tumpah.
Sial! Seharusnya mereka tidak tumpah di saat seperti ini. Aku tidak mau membuat emosi Ardi kembali bangkit saat melihat aku menangis.
Setelah itu, dengan tawa penuh ejekan, Ardi berjalan masuk dalam kamarnya, meninggalkan aku dengan pecahan beling piring yang tersebar di lantai ruang makan.
*
Menikah itu indah. Penuh kebahagiaan, menghadapi masalah bersama-sama. Kau tak 'kan sendiri dan merasa kesepian lagi.
Kesalahan terbesarku untuk memercayai kalimat itu. Mungkin, kalimat itu benar, kalau saja aku tak menikahi lelaki temperamen seperti Ardi. Nyatanya bersama Ardi, aku tak tahu apa manisnya menikah—selain malam pertama yang kami lalui bersama.
Itu pun tak lagi berarti setelah beberapa hari berikutnya, Ardi mulai membentak-bentakku. Waktu terus berjalan, sampai suatu hari ia mulai berani bermain kekerasan denganku. Awalnya mudah, hanya menampar pipi. Lalu berlanjut sampai mencambuk dengan sabuk kulit.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk sekedar bercerita. Terlalu lemah. Bapak pun tak percaya Ardi berbuat demikian. Yang ia tahu, sosok Ardi adalah lelaki baik dan penyayang. Juga kaya. Jangan lupakan fakta itu karena sebenarnya itu alasan utama bapak menikahiku dengannya.
"Lisa!"
Aku menoleh, tersentak karena panggilan itu.
Ardi sudah lengkap dengan kemeja dan jasnya, hendak berangkat ke kantor. Kalau melihat penampilannya sekarang, ia tak terlihat seperti suami galak yang emosian. Sebaliknya, lelaki itu terlihat manis, tegas, dan berwibawa.
"Aku mau ke kantor. Kamu beresin rumah. Awas aja kalo aku pulang rumah nggak beres!" ucapnya mengancam.
Aku mengangguk takut-takut. "I-iya, Mas. Hati-hati, ya."
Tanpa membalas ucapanku, pria itu langsung berjalan ke luar rumah. Setelah laju mobil terdengar menjauh, aku bernapas lega. Kakiku lemas karena gemetar terus. Tenagaku habis sekarang. Lelah melingkupi. Dari kemarin malam sampai sekarang aku dituntut menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang ada.
Belum lagi tekanan batin berupa cacian serta makian Ardi terhadapku. Air mataku mulai menetes. Capek fisik menjadi ibu rumah tangga tidak sebanding dengan sakit batin yang kurasakan tiap Ardi memukul kulitku, mengeluarkan kata-kata pedas terhadapku. Mulai dari wanita bar-bar, cewek murahan, nggak becus kerja, bahkan kata yang sering kudengar saat masih muda; Goblok kamu!
Aku menyentuh pipi tembamku. Bengkaknya terasa sekali. Apalagi saat aku berkaca, merahnya kelihatan betul.
Lagi-lagi, embusan napasku ke luar begitu saja. Setelah menyeka air mata, aku bangkit, hendak membereskan meja makan. Saat itulah mataku menangkap sebuah kotak bekal yang nampak tidak asing.
Keningku berkerut. Aku baru menyadari bahwa Ardi belum membawa bekalnya. Padahal suamiku itu tidak bisa makan sembarangan makanan, terutama yang mengandung santan. Sempat ragu untuk mengantar bekal ini, tapi diyakini dengan batin yang berkata, Antarkan saja, kasihan suamimu tidak bisa makan siang nanti. Akhirnya aku bersiap, memoles diri sebaik mungkin untuk berangkat ke kantor.
Aku yakin, Ardi membutuhkan makanan ini.
*
Mataku menatap nanar apa yang kulihat beberapa meter di depan. Hatiku menahan pedih sekuat-kuatnya. Tanganku gemetar, lagi-lagi kehilangan kekuatan. Kepalaku menggeleng tak percaya. Air mata mulai menggenang.
Aku mohon, jangan menangis sekarang ...
Beberapa meter di depanku, Ardi, suami yang kuhormati, yang kusanjung, yang kulayani selama hampir dua tahun, sedang bercumbu mesra dengan seorang gadis bertubuh langsing berambut panjang bergelombang.
Tes.
Air mataku tumpah. Sesegera mungkin aku menghapusnya.
Mulutku bergetar, namun kupaksa untuk menyerukan namanya. M—mas Ardi.
Kegiatan mencumbu mereka terhenti. Ardi menatapku kaget, namun tak berlangsung lama. Kedua irisnya kembali memelototiku, seolah memberi pertanyaan, Mau apa kau di sini?! Sedang gadis bodoh yang tadinya menikmati tiap cumbuan itu sekarang menatapku takut-takut. Kelakuan berengseknya kini tertangkap basah olehku. Dan mungkin itu yang membuatnya malu.
Aku menggeleng tak percaya. Dengan membekap mulut menahan tangis, aku berbalik cepat ke luar ruangan Ardi, berlari ke luar kantor. Aku tak peduli dengan tatapan heran orang kantor. Bagiku, kenyataan bahwa suamiku tidak menganggap kehadiranku lebih menyakitkan dari bisikan gosip orang-orang.
Aku tahu, fisikku payah.
Aku tahu, kecantikanku standar.
Aku tahu, aku tak pandai berdandan.
Tapi itu bukan alasan untuk dia bisa menggantikan peran dan posisiku—istri yang melayani dia selama dua tahun terakhir.
Tangisku menderas. Hatiku benar-benar hancur. Sangat hancur, bahkan kata-kata tak mampu mendeskripsikan seberapa kecewanya aku pada Ardi. Pandanganku kabur akan air mata, tapi pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Saat itulah, aku mendengar suara Ardi menyerukan namaku keras, Lisa!
Aku enggan berbalik. Tak peduli nantinya ia akan memukuliku lagi di rumah. Aku benci Ardi. Aku benci rasa cinta yang tumbuh di sela-sela kekerasannya. Aku benci Bapak yang sudah menikahkan kami.
Pada kesimpulannya, aku membenci diriku sendiri yang mencintainya.
Lisa! Berani-beraninya kamu lari!
Aku berlari menjauh saat tahu jaraknya denganku makin kecil. Jalan raya yang sepi langsung kusebrangi cepat.
Hei!
Rupanya ia masih tetap terus mengejar.
Tanpa menengok aku terus berjalan. Sampai sebuah suara menyentakku.
Tiiinnn
Lis—ARGH!
BRAK
Semua terjadi begitu cepat. Tanpa aba-aba, tanpa ada peringatan. Tanpa aku siap menyaksikan.
Cepat kutolehkan kepala, mulutku menganga lebar. Mataku membulat penuh. Mendadak kerumunan orang mulai berhamburan mengelilingi titik itu—tempat dimana Ardi tertabrak.
Tubuhnya tergeletak lemah di atas jalan, bergelimang darah.
Isak tangis tak mampu menunjukkan seberapa hancurnya aku saat itu.
***
Dan kami berakhir di sini.
Dua hati yang keras. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua rusuk yang seharusnya tak bersama—tapi dipaksakan bersatu.
Isak tangisku mengeras, langsung kubekap mulutku. Aku tahu itu sia-sia. Tapi suara elektrokardiogram yang terus memenuhi ruangan membuat hatiku makin tak tenang.
Aku mengembuskan napas panjang, memberanikan diri untuk menggenggam tangan Ardi. Perlahan, kuelus jarinya.
Hei, Ardi, Aku menahan perihnya luka saat kau tertawa dengan gadis lain. Kau tengah asyik menikmati pukulan di wajah lunakku, tanpa peduli seberapa menderitanya aku.
Aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa cinta yang semakin tumbuh liar, tepat saat kau mencumbu gadis lain. Dan hari ini, Tuhan mendengar doaku.
Harusnya aku senang, karena kamu menderita dan aku bahagia. Aku bisa lepas dari pukulanmu, dari ajaran kerasmu, dari ucapan perihmu.
Lagi-lagi aku mengembuskan napas panjang. Dadaku sesak. Rasa perih ini memuncak. Hanya cengkraman tangan dengan kuku tajam untuk aku bisa menyalurkan kesesakan.
Namun bisikan itu tetap berlanjut. Aku yakin di bawah alam sadarnya, Ardi mendengar keluh kesahku.
Harusnya sekarang aku memutus selangmu, supaya kamu tidak bisa bernapas. Supaya keras pukulanmu tak lagi mengenai wajahku. Supaya aku bahagia, dengan kesederhanaanku.
Tapi kamu tahu, Di? Seperti katamu, aku bodoh. Kasarnya, goblok.
Hatiku buta dan gelap akan cinta. Karenanya kenyataannya, aku mencintai orang yang menyiksaku. Aku peduli dengan lelaki yang setiap hari menyakitiku.
Aku mencintaimu, Ardi. Di tengah luka dan sengsara, di tengah penderitaan dan kesakitan, di tengah hambatan dan rintangan, aku tidak ingin berpisah denganmu.
Aku masih berharap, semoga Tuhan memberi kau kesempatan untuk hdup. Untuk memperbaiki retaknya hubungan kami.
Mataku perih. Aku menghapus semua air mata yang menggenang di kelopak mata. Tepat saat itu, suara elektrokardiogram berdengung nyaring. Tidak putus-putus seperti tadi; kali ini terdengar seperti garis lurus yang memekakan telinga.
Buru-buru aku memanggil dokter.
Dokter menyuruhku menunggu di luar dibalut kecemasan.
Beberapa menit setelahnya, dokter berjalan ke luar dengan lemas.
Tuhan menjawab doaku sekarang.
Tapi bukan dengan jawaban yang kuinginkan.
Maaf, Bu. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi semua kembali pada Tuhan. Suami ibu tidak dapat diselamatkan.
Sedih, hancur, sakit, perih, sesak, keterkejutan. Semua bercampur menjadi satu.
Aku kehilangan kesadaran.
Semua selesai saat itu.
Dengan akhir yang menyakitkan, lalu berujung pada kepahitan. Karena sejak saat itu, aku tidak yakin, apa cinta itu benar-benar nyata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro