Arirang
Min Ah menghela napas. Perlahan mengubah posisi menjadi miring, menghadap pada sosok di sisinya. “Kau ingin aku bernyanyi lagi?” Kembali, tawa kecilnya terselip di antara suara hujan di luar.
Min Ah tidak lantas bernyanyi. Masih tertawa dia beranjak; tidak puas menghadap tubuh yang seolah sedang merajuk. Dia tahu tadi sudah keterlaluan. Namun, kalau dipikirkan lagi bukankah ini keberuntungan? Mereka jadi bisa terus bersama.
“Jangan seperti ini.” Min Ah berjongkok di sisi ranjang, di hadapan tubuh orang yang sangat dia kasihi. Tangannya pun mulai membelai kening itu. “Tunggu sebentar lagi. Aku hanya ingin menikmati hal ini. Jangan marah karena aku sangat mencintaimu.”
Min Ah mencondongkan kepala. Memberi kecupan di kening sambil menggenggam tangan kekasihnya. Lama, sebelum beralih ke bibir.
Kita akan bertemu lagi. Aku janji.
****
Mungkin Min Ah harus menebalkan telinga lagi saat pulang nanti. Seminggu lalu, Se Yi memberi peringatan untuknya agar tidak mengopi penampilan. Tentu mimik dan intonasi dari Se Yi masih diingat, tetapi dia tegaskan dalam diri kalau yang dia lakukan saat ini pun demi kebaikan Se Yi.
“Ada apa?”
Min Ah tersentak. Fokusnya yang tadi melihat kaca restoran yang buram, menjadi menatap sosok yang duduk di hadapannya. Kikuk, dia meraih cangkir berisi nok cha (teh tradisional Korea yang berbahan dasar teh hijau) yang masih mengeluarkan asap tipis. Seruput, dan dia kembali menatap Dae Ji.
“Apa kau baik-baik saja? Aku merasa kau sangat gugup hari ini.” Dae Ji menggeser cangkirnya dan mencondongkan tubuh ke arah Min Ah.
Min Ah kembali meletakkan cangkirnya. Menantang air muka Dae Ji, dia juga menyodorkan tubuh ke depan. Ini bukan pertama kali dia melihat bahwa bulu mata Dae Ji lebih panjang dari miliknya. Juga bukan hal perdana mengetahui ada tahi lalat kecil di sudut atas bibir Dae Ji. Namun, rasa yang tercipta di hatinya tetap sama.
Min Ah tersenyum dan menarik tubuhnya; kembali bersandar. Dia meneguk lagi sedikit nok cha. “Habis ini ingin ke mana?”
Dae Ji—masih di posisi yang sama—menjawab, “Gwanghwamun? Kurasa, kita masih sempat melihat pergantian penjaga istana.”
Min Ah mendengkus. Sedikit mengingat bagaimana antusiasnya dulu saat pertama kali pindah ke distrik Jongno. Pernah dia membujuk Se Yi untuk ke istana Gyeongbokgung dengan memakai hanbok (pakaian tradisional Korea). Dan sekarang, dia merasa dihadapkan pada sosok masa remajanya. Sejak awal pertemuan mereka hari ini, Dae Ji sudah membujuk agar mereka pergi ke sana.
Min Ah memilin-milin ujung rambutnya yang dibuat ikal. Satu dari kebiasaan Se Yi yang ditiru ketika tengah bingung untuk menolak. “Bukankah kemarin sudah? Lagi pula di luar hujan.” Antusias Se Yi saat bercerita tentang kejadian kemarin tentu masih dia ingat.
“Sudah berhenti sepertinya,” tukas Dae Ji. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu mengenai kemarin.” Dia menegakkan punggung. Tersenyum dan meminum minumannya.
Min Ah ikut tersenyum. Dia sudah menduga ada hal yang tidak diungkapkan Se Yi saat mereka mengobrol semalam. Se Yi terlihat bahagia bahkan saat harus berangkat kerja di hari libur ini. Entah apa, tetapi dia akan mencoba mengikuti alur. Jika di hari lalu berhasil menyeimbangkan obrolan, maka hari ini pun seharusnya tidak ada masalah. Karena hanya tinggal selangkah lagi. Tidak. Melainkan beberapa jam lagi, dan dia akan mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya.
Sudah Min Ah putuskan sejak dia keluar dari apartemen Dae Ji di pagi yang dingin, seminggu lalu. Tanpa malu Dae Ji mengajak untuk ke apartemen ketika mereka bertemu di restoran ini. Didorong keinginan untuk mengetahui lebih dalam sosok Dae Ji, maka dia mengirim pesan pada Se Yi bahwa bibi mereka menelepon dan meminta untuk ditemani.
Pikirannya hanya berpusat pada kemungkinan tindakan Se Yi. Meresapi lakon yang diperankan, dia menerima saat Dae Ji menariknya untuk bercumbu. Termasuk ketika Dae Ji membuka baju yang dikenakan. Walaupun merasakan sensasi yang sama seperti bertahun-tahun lalu hingga gemetaran, tetapi dia tetap bertahan. Pulang dengan langkah yang gontai, dia berusaha untuk tidak memperlihatkan hal yang janggal. Namun, dia tidak menyesal karena yang diterima pun sepadan. Bukan uang atau perhiasan, tetapi ketetapan hati: miliknya harus tetap menjadi miliknya.
Min Ah tidak bisa menyalahkan Se Yi, sekalipun Se Yi nyaris tidak sepaham dengannya. Bagi Se Yi, semua pria pantas mendapat kesempatan untuk dikenal lebih jauh. Min Ah bisa maklum karena Se Yi tidak pernah menjadi dirinya di masa lalu. Tidak merasakan kehancuran yang menggerogoti batin dan masih menyisakan borok yang berdenyut nyeri hingga saat ini. Namun, harus dia akui kalau Dae Ji berbeda.
Ada kehangatan yang ditawarkan Dae Ji. Entah dari tutur kata dalam suara pelan, sorot mata penuh atensi, atau sikap yang sering kali membuat Min Ah terkejut. Seperti sekarang, saat mereka memasuki gerbang Gwanghwamun, genggaman tangan Dae Ji seolah menjadi penguat baginya untuk tidak takut.
Mungkin akan terdengar konyol, kalau Min Ah mengatakan dengan lantang tempat yang paling dia hindari di seantero Korea ini justru tempat yang memiliki nilai sejarah tinggi. Memang, istana Gyeongbokgung yang dibangun pada masa dinasti Joseon merupakan saksi bisu dari perkembangan dinasti hingga invasi Jepang, bukan bagian yang mencatat apa yang dia alami. Namun, hanya dengan melihat bentuk situs bersejarah itu dari televisi saja, sudah seperti menabur garam pada boroknya. Dan sekarang, tidak hanya membuat kepalanya sakit, tetapi juga harus kuat menahan tubuhnya agar tidak gemetaran.
Min Ah menghela napas dalam dan aroma yang ditinggalkan hujan tadi siang sedikit membantunya untuk rileks. Dia tidak boleh menunjukkan dirinya, karena saat ini dia adalah Jung Se Yi. Hanya tinggal sedikit lagi. Setelah ini, dia bisa bernapas lega. Orang yang dia cintai tidak akan tersentuh oleh akal bulus pria mana pun .
“Sayang sekali kita terlambat.”
Min Ah berhenti dan menatap Dae Ji. Masih tidak bisa dia tampik, Dae Ji memiliki pesona yang kuat. Namun, sesuatu yang mendorong hatinya lebih kuat. Tidak ada pria yang sempurna. Seperti ayahnya yang selingkuh, lalu membuat dia dan Se Yi kehilangan ibu mereka. Belum cukup sampai di sana, mereka dipindahkan ke Guryong (desa yang berada di distrik Gangnam) untuk hidup bersama ibu dari ayah mereka. Di Guryong tidak ada mesin penghangat saat musim dingin. Bahkan, mereka sering ikut nenek untuk bisa memperoleh cukup briket. Juga tidak ada pakaian yang baru, nyaris semua yang melekat pada tubuh mereka adalah pemberian donatur. Dan tidak ada hiburan; satu-satunya hal yang membuat mereka senang adalah menatap banyak lampu yang menyala dari jejeran gedung tinggi para penghuni elit di Gangnam saat malam.
Ketika seorang pria yang merupakan adik ipar dari ibu mereka menjemput, Min Ah merasa akan ada harapan untuk kehidupan yang layak. Benar, semua terpenuhi bahkan dia dan Se Yi memiliki kamar tidur dengan dua ranjang. Bibi mereka pun sangat penyayang dan tidak membedakan status mereka dengan anak sendiri. Namun, lagi-lagi sosok pria dalam keluarga membuat dia menetapkan satu sudut pandang.
Keinginan sederhana Min Ah adalah mendatangi istana Gyeongbokgung. Rasa penasarannya akan sejarah bangsa justru menjadikan dia seperti budak. Musim panas itu, pamannya berjanji untuk mengajak dia ke sana. Hanya berdua. Tidak ada celotehan rewel Han Bin, juga seruan protes Se Yi, termasuk suara berisik bibinya yang suka melarang ini-itu. Jelas penawaran menarik. Namun, puas menjelajahi situs sejarah itu, dia dipaksa melayani. Mulutnya diperintahkan untuk bungkam dengan Se Yi yang dipertaruhkan. Membuat dia tidak dapat berkutik ketika pamannya meminta untuk dilayani lagi.
Min Ah tidak mau membahayakan Se Yi. Dia bahkan rela melakukan apa saja agar hati Se Yi tidak terluka. Termasuk dari cinta yang ditawarkan Dae Ji. Karena, setiap pria sama; busuk.
“Kau kenapa?”
Min Ah tersentak, menyadari tangan Dae Ji yang melambai-lambai di depan wajahnya, dia menggeleng cepat. “Bagaimana kalau kita ke tempat lain?” Dia membutuhkan ruang khusus untuk memutuskan hubungan antara Dae Ji dan Se Yi.
Halaman utama istana Gyeongbokgung yang tadi dipakai untuk upacara pergantian pengawal masih ramai oleh pengunjung. Dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Belum lagi detak jantungnya yang masih cepat. Bahkan, sebisa mungkin tidak menatap bagian geunjeongjeon (ruangan tahta raja dalam kompleks istana Gyeongbokgung) yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
Dae Ji mengernyit kemudian tersenyum. “Aku mengajakmu ke sini bukan hanya untuk melihat pergantian pengawal. Ada yang ingin aku pastikan dan bicarakan, Min Ah.”
Kepala Min Ah yang hampir menunduk seketika mengarah ke wajah Dae Ji. Genggaman tangan mereka terlepas. Dan bisa dirasakan bibirnya yang bergerak, tetapi tidak ada kata yang mampu diucapkan.
Min Ah memutuskan untuk tersenyum. Dia harus bisa menguasai diri. “Bagaimana kau bisa tahu?” Berusaha untuk tidak terbata, dia bertanya.
Dae Ji ikut tersenyum. “Kalian sangat mirip, tetapi aku tahu dari perbedaan tatapan kalian. Se Yi selalu menatapku dengan kekaguman. Berbeda denganmu yang biasa saja.”
“Jadi kau sudah tahu dari dulu?” Min Ah mengepalkan tangannya. Lebih kuat saat Dae Ji mengangguk dan menambahkan bahwa sudah sadar sejak pertama kali mereka bertemu. Sebelum kejadian di apartemen itu. “Brengsek!” desisnya. “Kau benar-benar mengambil keuntungan.”
“Itu bukan salahku. Seharusnya kau berterima kasih. Aku tidak pernah membicarakan hal ini pada Se Yi, karena Se Yi sangat menyayangimu. Dia berpikir kau trauma dengan sosok ayah kalian hingga membuatmu menolak semua pria.
“Tapi ternyata dugaan Se Yi salah. Kau bahkan tidak buruk saat di ranjang.” Dae Ji berhasil menangkap pergelangan tangan Min Ah yang mengarahkan tamparan pada pipinya. Pelan, dia mendekati gadis yang sedikit meronta itu. “Setidaknya hari ini aku sedikit terkecoh, hingga harus membawamu ke sini untuk memastikan apakah ini kekasihku atau kembarannya.”
“Lepas!” Min Ah menarik kasar tangannya, tetapi cengkeraman Dae Ji semakin kuat. Masih tidak berhasil hingga membuat napasnya tersengal-sengal.
“Se Yi pernah bercerita tentang kau yang takut memasuki kawasan istana ini. Dan aku akan mengatakan ini padamu. Berhentilah bersikap seperti ini.” Dae Ji melepaskan pegangan tangannya, membuat tubuh Min Ah sedikit oleng. “Carilah orang lain dan berhenti mengikutiku juga menjadi Se Yi, karena aku dan Se Yi akan segera menikah.”
Tubuh Min Ah menegang. Bahkan, langkah kaki Dae Ji yang menjauh, tidak dia hiraukan. Suara De Ji menggema di pikirannya. Mengulang kata pernikahan. Perlahan, badan kurusnya terduduk di tanah basah. Kuat, dia menekan kedua telinganya yang juga mulai menyuarakan kejadian masa lalu. Suara teriakan dan makian ayahnya. Suara yang mengintimidasi dari pamannya. Suara-suara lain yang menyudutkan. Tidak tahan, dia berteriak; memancing beberapa pasang mata untuk menatap ke arahnya.
Min Ah menangis. Perih dan sakit boroknya tidak dapat dia tahan lagi. Meminta dengan sangat agar kenangan itu kembali terkubur, walaupun tidak akan pernah hilang. Dia terus sesenggukan hingga seseorang membantunya berdiri. Tanpa mengucapkan terima kasih atau menjawab pertanyaan dari wisatawan itu, dia melangkah gontai mendekati gerbang Gwanghwamun.
Min Ah bersandar pada tembok Gwanghwamun. Sambil mengatur napas, tangannya menyeka air mata. Merasa bodoh karena kalut atas ucapan Dae Ji. Pria itu pasti hanya menggertak. Dae Ji tidak akan serius untuk hubungan yang baru berusia enam bulan. Pasti begitu. Dae Ji hanya ingin menghisap manis Se Yi untuk kemudian dibuang. Dan dia tidak akan diam. Mulai hari ini, dia akan lebih mengawasi Se Yi. Karena Se Yi tidak pantas menerima cinta palsu Dae Ji. Terlebih, karena hanya dia yang mampu memberikan cinta tulus untuk Se Yi.
Min Ah sadar, ini bukan lagi mengenai janji pada mendiang ibu mereka atau kewajibannya sebagai kakak kembar Se Yi. Gila, memang. Namun, perasaan itu hadir tanpa bisa dia cegah. Semakin kuat di setiap harinya. Bertambah mantap di tahapan usianya. Kini, yang ingin dia miliki hanya satu: Se Yi.
Min Ah tidak tahu bagaimana respon Se Yi. Selama ini perasaannya selalu tersembunyi. Hanya ketika Se Yi sudah terlelap, keberanian itu datang. Membuat tubuhnya bergerak untuk pindah ke ranjang Se Yi dan memeluk erat. Kadang meninggalkan kecupan di bibir tipis serupa bibirnya itu. Namun, sejak dia membuka pintu rumahnya dan Se Yi, dia mempertimbangkan untuk berterus terang. Berharap dengan begitu Se Yi akan tahu siapa yang tulus memberikan cinta.
Maka, ketika suara pintu terdengar, Min Ah segera menghampiri. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa diremas ketika melihat air muka Se Yi. Belum pernah Se Yi terlihat sangat kesal seperti itu. Bahkan, sapaannya tidak dihiraukan. Namun, masih tersenyum dia melangkah ke dapur, membuat secangkir teh, dan bergerak pelan ke lantai dua menuju kamar mereka.
“Kau sedang apa?” Min Ah melangkah cepat dan meletakkan teh di nakas.
Se Yi berhenti. “Bisakah kau keluar dulu? Dan biarkan aku menyelesaikan ini.”
Min Ah menggeleng. “Kau mau ke mana?” Dada kirinya berdenyut cepat saat Se Yi tidak menjawab dan malah semakin sibuk memasukkan beberapa pakaian ke koper kecil.
“Aku akan mengambil sisanya nanti.” Se Yi menenteng koper kecilnya dan berjalan cepat keluar kamar.
Tersentak, Min Ah menarik pergelangan Se Yi. Namun, dengan sekali entakkan genggamannya terlepas. “Ada apa? Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun padaku!” teriaknya. Terengah-engah dia mengikuti Se Yi. “Apa Dae Ji menyakitimu?”
Se Yi berhenti sebelum menuruni tangga. Dan Min Ah seperti sedang menatap cermin saat Se Yi berbalik menghadapnya. Mata Se Yi tampak memerah dan berair. Pria brengsek! Dae Ji bahkan sudah menyakiti Se Yi.
“Bukankah sudah kukatakan untuk berhenti menjadi diriku! Seharusnya aku sadar saat kau meminjam ponselku!” Suara Se Yi meninggi. Seperti Min Ah, napasnya memburu. “Apa yang kau lakukan sungguh memalukan!”
Min Ah mengernyit. “Apa—”
“Kau bahkan melakukan hal itu padanya!” Se Yi mendorong tubuh Min Ah yang mendekat. Dia mulai terisak. Dan hati Min Ah terasa jauh lebih sakit, jika dibandingkan dengan kenangan yang ditinggalkan paman dan ayah mereka.
Min Ah menggeleng. “Jangan dengarkan Dae Ji.”
“Lalu siapa?” sambar Se Yi dengan teriakan. “Sudah kukatakan, Min Ah. Aku mencintai Dae Ji! Apa kau masih kurang puas membuatku sakit hati? Apa kau belum puas untuk mempermalukan dirimu atas namaku? Ha Neul, Jun Woo, dan sekarang Dae Ji!”
“Tapi mereka memang tidak baik—”
“Tapi tidak untuk Dae Ji! Kami akan menikah.”
Min Ah terpaku. “Apa yang kau katakan?” Dia bahkan tidak dapat menahan getar dalam suaranya.
“Kami akan menikah.”
Dan sesak yang mengikat di hati Min Ah bertambah kuat. “Se Yi ...,” panggilnya dengan suara yang jauh lebih rendah dan bergetar dari sebelumnya. “Pernahkah kau bertanya, kenapa aku melakukan semua ini? Pernahkah kau berpikir, apa yang membuatku seperti ini? Dan pernahkah kau menyadari, apa yang menjadi alasanku untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik untukmu?”
Se Yi tidak menjawab. Wajahnya menunduk dan isak tangis saling bersahutan di antara mereka.
“Jawab aku, Se Yi!” Min Ah mendekati Se Yi dan meremas kedua bahu Se Yi. Se Yi tidak berontak, hanya tersentak. “Karena aku menyayangimu.” Ditatapnya kepala Se Yi yang menunduk. Susah payah dia menghela napas. Detak jantungnya pun terus berpacu seiring dengan dorongan dalam hatinya. Mungkin ini saat untuk mengakui semua. “Aku mencintaimu lebih dari yang kau kira.”
Kepala Se Yi terangkat. Tatapannya masuk ke mata Min Ah. “Apa maksudmu?”
“Lebih dari yang kau duga.” Min Ah mengulang. “Itulah cintaku.”
“Kau bicara apa?” Se Yi mulai berontak, tetapi Min Ah kuat menahan.
“Siapa yang selalu mengkhawatirkanmu? Yang merawatmu saat sakit? Yang selalu mendengar kisahmu? Yang selalu kau andalkan? Itu aku, Se Yi. Aku. Jadi, aku mohon jangan tinggalkan aku. Kau membutuhkan aku. Memerlukan cintaku!” Min Ah sudah tidak dapat menahan perasaannya lagi. Se Yi harus sadar; tidak boleh menikah dengan orang lain.
“Kau gila? Dengar, aku juga menyayangimu. Tapi jelas perasaanmu salah!”
Min Ah menggeleng. “Aku hanya memilikimu! Dan kau hanya memiliki aku! Kita saling membutuhkan!” Dan dengan seluruh tenaga dia menarik Se Yi. Waktu baginya terasa berhenti saat bibir mereka bertemu. Namun, yang terjadi setelah itu membuat saraf-sarafnya terasa mati.
Dorongan dari Se Yi untuk melepaskan diri justru membuat tubuh wanita itu kehilangan keseimbangan. Min Ah masih bisa menatap wajah Se Yi yang basah oleh air mata, sebelum tubuh itu seperti terdorong ke belakang. Kepalanya lebih dulu menyentuh anak tangga, lalu berguling, dan terkapar di lantai dasar.
Min Ah merasakan hawa dingin menyergapnya. Tidak hanya membuat bulu halus di atas pori-porinya berdiri tegak, tetapi juga detak jantung yang semakin kuat dan cepat. Sambil memeluk tubuh, dia bersandar pada pegangan tangga. Dan ketika matanya menatap tubuh Se Yi, dia menggeleng kuat. Tidak! Ini bukan salahnya. Ini takdir! Seperti kata ibu mereka dulu, bahwa segala sesuatu yang menentukan adalah takdir. Ya. Ini pasti takdir! Takdir mereka seperti itu. Maka, tidak ada jalan lain selain bersyukur. Dan senyumnya mulai terbentuk.
Lama Min Ah tidak bergerak hingga suara ponsel dari tas kecil Se Yi yang tergeletak di anak tangga berbunyi. Pelan, dia mulai menuruni tangga. Melewatkan tas kecil itu dan terus mendekati tubuh Se Yi. Dia bersimpuh di sisi tubuh Se Yi. Tidak dapat dia lihat dada Se Yi yang bergerak. Tidak juga ada embusan napas di hidung Se Yi. Dan ketika tangannya menyelip di tengkuk Se Yi, kepala itu terkulai seolah tidak bertulang.
Perlahan, Min Ah menyeret tubuh Se Yi untuk ke kamar mereka. Membaringkan tubuh tak bernyawa itu di ranjangnya. Lama, dia pandangi wajah Se Yi yang seolah sedang terlelap sebelum beranjak ke dapur.
Dibandingkan rasa sedih, hati Min Ah ditumbuhi kelegaan. Bukankah takdir memihak padanya? Dia dan Se Yi hadir dan tumbuh bersama dalam rahim ibu mereka. Kini, saat Se Yi hendak meninggalkannya, takdir mengembalikan Se Yi dengan cara yang lebih abadi. Setelah ini, dia tidak perlu khawatir lagi Se Yi akan direbut oleh Dae Ji atau pria mana pun. Se Yi akan tetap menjadi miliknya. Dengan keabadian yang melingkupi mereka.
Kita akan bertemu lagi. Aku janji.
Puas memberi kecupan, Min Ah mengiris dalam kedua pergelangan tangannya menggunakan pisau yang tadi diambil dari dapur. Tangan yang mengalirkan banyak darah itu dibawa beserta tubuhnya untuk kembali merebahkan diri di sisi Se Yi. Kuat, dia memeluk Se Yi.
“Arirang ... arirang ... arariyo.” Kembali, Min Ah menyenandungkan lagu pengantar tidur mereka. “Saya melewati ... jalur Arirang.” Matanya mulai terpejam. “Dia yang meninggalkan ... diriku di sini ....” Suaranya berhenti. Kini, dia hanya ingin menyesap aroma tubuh Se Yi.
Min Ah tersenyum, mengingat bagaimana Se Yi bersikeras tentang arti dari arirang. Kata arirang memang memiliki banyak makna, tetapi ... baik dulu atau detik ini Min Ah juga bersikukuh bahwa arti dari arirang adalah kekasih yang rindu sekali. Seperti sekarang, dia rindu sekali pada Se Yi. Dan suara hujan di luar menjadi pengantar tidurnya untuk menemui Se Yi.
Tamat.
Catatan:
Lagu yang dinyanyikan Min Ah pada bagian terakhir cerita ini merupakan kutipan dari lirik lagu Arirang. Sebuah lagu tradisional dari Korea yang memiliki banyak versi, tergantung dari daerah mana lagu itu dibawakan.
Berikut, lirik asli yang saya kutip dari Google terkait lagu Arirang yang dinyanyikan Min Ah.
Arirang, arirang, arariyo.
Arirang gogaero neomeoganda.
Nareul beorigo gasineun nimeun.
Simnido motgaseo balbyeongnanda.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro