Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A Thousand Sun In The Winter

Lihat.
Lihat.
Lihat.
Sudah satu jam berlalu kegiatan itu kulakukan. Meneliti satu persatu data-data ini. Waktu sudah tak bisa dikatakan senja tapi data tersebut terus berteriak minta diperhatikan.

"Yuza-san! Apa kau masih belum selesai? Aku pulang duluan ya."

"Hm, ada beberapa laporan yang harus diperiksa. Ya. Pulanglah."

Aku kembali memandang layar komputer saat Hikari beranjak pulang. Hah, kalau saja bukan karena pekerjaan mungkin data-data ini sudah kuabaikan. Terhitung, sudah lebih dua tahun aku bekerja di perusahaan ini sebagai karyawan devisi keuangan. Sangat tak mudah melakukan hal yang tak kau suka tapi ... ya, aku tak diberi pilihan. Bekerja kantoran untuk memenuhi kebutuhan.

Send.

Dengan satu kata, selesailah pekerjaanku. Data-data tadi kukirim pada manager keuangan melalui e-mail untuk ditindak lanjuti. Akhirnya aku bisa pulang.

Kantor sudah sangat sepi. Tentu saja. Ini sudah malam. Lift yang membawaku ke lantai dasar terbuka. Aku segera keluar dari ruang kotak itu, berjalan menuju pintu depan.

Cuaca saat ini semakin dingin. Untung aku setia melihat prediksi cuaca tiap hari. Kueratkan jaket yang sudah kupakai. Oh ... aku lupa melihat jam berapa ini. Jarum arlojiku menunjuk angka 9.30, aku harus segera ke halte. Saat tiba di luar pintu kantor aku terkejut.

Ah, salju ya?

Berapa lama aku berkutat dengan data-data kantor sampai tidak menyadari sekarang turun salju.

Aku berdiri di depan pintu masuk. Mencoba menikmati apa yang terjadi. Butiran putih jatuh menghempas tanah. Tak banyak namun cukup untuk menghias daun-daun di pohon. Melihat ini semua, pikirku mengelana pada dongeng dingin di bulan Desember.

Pagi itu, memang waktu yang tepat untuk secangkir teh hijau hangat. Duduk di dekat jendela dan melihat potret di luar, menambah sempurna suasana pagi musim dingin. Namun, baru saja ingin menghayati pagi ini, seseorang tiba-tiba merusak semuanya dengan menarik-narik lengan kausku. Tanpa melihat pun aku sudah tau, itu pasti 'Si Gadis Dungu'.

Aku menatapnya tajam, "Ada apa!" Dia hanya balas senyum tak jelas. Dasar bodoh!

"Nii-chan. Bunga." Dia menjulurkan origami bunga matahari padaku. Lagi.

Oh, rupanya dia tak peduli dengan penolakan ku sebelumnya. Baik. Aku tersenyum padanya, "Ini untuk ku?" Dia mengangguk antusias, "tapi sayang aku tak suka." Ku remas origami itu. Dia hanya terpaku memandang origami di pangkuannya yang sudah rusak.

"Pergi kau!"
"Nii-chan"
"Kubilang pergi bodoh"
"Nii-chan"

Hehhh, harusnya aku tau tak ada gunanya meminta dia pergi. Akhirnya aku yang memutuskan untuk pergi.
Aku pergi ke dapur, melihat beberapa bahan masakan. Namun cuaca dingin membuatku malas.
Rerstoran cepat saji tidak buruk juga.

Jalanan di pagi hari akan sangat macet. Jadi kuputuskan untuk mengendarai Kawasakiku saja. Untung tadi sudah kucuci. Tak sengaja mataku melihat sesuatu terselip di bagian belakang motorku saat hendak menaikinya.

Matahari. Lagi.

Gadis itu benar-benar menyebalkan. Apa-apan dia menghiasi motorku dengan origami bunga matahari. Hah, aku jadi ingin makan orang sekarang. Kubuang origami jelek itu lalu membawa motorku membelah jalanan.

limabelas menit untuk sampai ke tempat yang kutuju. Dalam perjalanan, otakku tak henti memikirkan gadis dungu itu. Andai bisa, kulenyapkan dia. Gadis itu membuatku tak sadar kalau sudah sampai di restoran siap saji. Kuparkirkan motorku di ruas kiri.

Bell itu bersuara saat kubuka pintu restoran. Netraku mengedar, mencari tempat yang nyaman. Kursi dekat jendela menarik perhatianku untuk beranjak ke sana. Kupanggil seorang pelayan di sana ketika pantatku menghantam kursi empuk ini. Seporsi king sandwich dan secangkir latte untuk pagi yang dingin kurasa cocok. Pelayan mencatatnya lalu pergi.

Sementara menuggu pesanan aku melihat sudut jalan lewat bingkai jendela. Di sana seorang gadis kecil bertopi bundar yang sudah usang termakan usia, berdiri sambil menengadahkan tangannya. Tatapannya memelas saat ada orang yang lewat. Melihat itu aku jadi terinspirasi untuk menjadikan 'Si Gadis Dungu' seperti anak itu. Dengan begitu dia akan berguna untukku. Fufufu ... aku tertawa memikirkan rencana luar biasa ini.

"Tolong jaga Yui selama Mama dan Papa pergi, ya Yuzu!"

Sial! Kenapa pesan Mama selalu terngiang saat aku mencoba merencanakan hal buruk pada gadis dungu itu. Menyebalkan.

Setelah mengenyangkan perut, aku lantas pergi. Pergi ke segala tempat kecuali 'rumah'. Mulai dari game center, lapangan basket sekolah, tempat karaoke,  rumah teman, sampai waktu menjadikan hari tak lagi pagi.

Aku malas bertemu si dungu tapi kalau tak pulang, aku tidur dimana? Kulajukan motorku menuju 'Si Dungu' setelah membeli dua porsi makan malam. Aku masih punya hati untuk memberinya makan ... walau sekali dalam sehari.

Sekian waktu kuhabiskan membelah jalanan dan itu membuatku gerah body. Sekarang, gara-gara si dungu aku jadi gerah hati. Terhitung banyak sudah aku mengetuk pintu. Bagaimana seorang penyakitan macam dia bisa mengunci pintu? Oh! Yuzu, kau yang mengajarkannya mengunci pintu, kan. Lama-lama kebodohannya menular padaku.

Dobrak.

Dan itu membuahkan hasil. Kususuri setiap ruang rumah, mencari si dungu. Dewi Fortuna berpihak padaku. Kulihat si dungu sibuk dengan kertas dan mataharinya di sudut ruang belajarku. Dia tak sadar aku menghampirinya, dia sangat tak peka terhadap segala hal. Saat aku berada di belakangnya, tanganku merampas tangan mungilnya. Kuseret dia ke kamar mandi.

Kekesalanku sudah di puncak. Itu membuatku gelap mata. Dengan segala amarah kusapukan tanganku di pipinya. Mencetak bekas merah merona.

"Maumu apa Dungu!"

Dia tersenyum.

"Tak bisakah kau pergi dari hidupku," belum puas dengan tamparan yang kuberikan. Dinginnya air di bak mandi pun kusiramkan padanya. Terlihat jelas dia kedinginan tapi 'Si Dungu' hanya tau caranya tersenyum walau saat dia kesakitan sekalipun.

"Onii-chan!" Aku sakit mendengarnya. Dia mengingatkan statusku di sini.

Dia tersenyum untuk kesekian saat aku masih tiada henti menyiramnya.

"Nii-chan"

"Diam Yui! Tak bisakah ... tak bisakah kau biarkan aku istirahat? Aku letih. Aku benci dengan semua keadaan ini."

Aku bersandar pada dinding kamar mandi. Mataku buram oleh cairan mata. Aku sungguh lelah dengan semua ini.

"Harusnya kau tak hadir di hidupku, maka semuanya tak akan begini. Aku akan bahagia begitu juga dengan kau."

Aku tau. Sangat tau kalau Yui, 'Si Gadis Dungu' tak akan mengerti dengan ucapanku tapi aku yakin hatinya akan merasakan kesedihanku.

"Nii-chan. Menangis."

Sungguh bodoh dia. Aku telah bertindak kasar tapi sekarang dia memelukku. Seolah-olah akulah yang patut di kasihani.  Terbuat dari apakah hati gadis ini? Dia terus memelukku sampai bajuku ikut basah. Aku tak bisa terus begini, kulepaskan pelukannya.

"Ganti bajumu lalu makanlah, ada ramen di atas meja." Ujarku sambil menuntunnya pergi menuju kamarnya.

Usai insiden malam itu, semuanya berjalan adanya. Yui dengan seribu bunga matahari kertasnya dan aku dengan sejuta penolakan terhadapnya.

Detik yang terus melangkah, menuntun waktu untuk membawaku pergi. Kelulusanku hanya terhitung pekan. Jauh hari sudah terpikirkan matang, kulirik lagi sebuah tiket menuju Tokyo, mungkin ini yang terbaik untuk kami.

Aku tak sangka harus meninggalkan Yui. Sudah empat tahun sejak Papa dan Mama meninggalkan kami seenaknya dan selama itu juga aku hidup berdua dengan gadis dungu itu. Aku jadi ingat awal kehadiran gadis dungu itu.

Senja itu aku yang baru pulang dari sekolah tanpa mengetuk pintu langsung masuk ke dalam rumah. Terlalu lelah untukku yang habis latihan basket menyapa Papa dan Mama yang terhanyut dalam buaian drama tv. Kakiku langsung melesat menuju kamar.

Selesai membersihkan diri, kutemui papa dan mama. Tapi ada yang salah di sini. Di antara mereka berdua ada seorang balita yang sibuk menatapku.

"Yuzu, ayo ucapkan salam pada anggota baru kita!" Mama memerintahku.

Sejak saat itu aku dan Yui menjadi sepasang saudara.

Kembali pada saat ini, karna terlalu sibuk mengenang masa lampau aku jadi lupa untuk pulang. Meski salju masih turun kupaksa untuk tetap belari menuju halte bus.

Hari-hari selanjutnya kujalani seperti biasa. Bangun pagi, membersihkan rumah, sarapan, pergi ke kantor, pulang lalu istirahat. Masih dalam lingkar yang sama.

Untuk hari ini, sepulang bekerja aku pergi ke Bank. Saat diriku memutuskan pergi ke Tokyo, kutitipkan Yui di yayasan Autis dan setahun setelah hidupku di sini cukup mapan, Yui kuikutkan terapi khusus Autis. Beberapa hari lalu pihak rumah sakit sudah mengirimkan tagihan biaya terapi Yui.

Selesai urusan di Bank, aku beranjak pulang. Dua puluh menit, akhirnya bus yang kutunggu datang. Setelah kuhempaskan diriku pada kursi penumpang, bus ini berjalan melewati beberapa tempat seperti taman kota.

Aku melihat sepasang kekasih yang saling memadu kasih. Sangat nampak di mata mereka berdua terpancar cinta yang besar. Oh! Cinta ya? Mengingat cinta, akalku jadi berkelana pada gadis dungu itu.

27 Desember 2009.
Sedih rasanya harus merayakan ulang tahun sendirian. Dengan bosan aku yang masih di kamar keluar untuk sarapan. Semoga Si Gadis Dungu masih belum bangun. Sangat muak melihatnya tersunyum sambil memberikan bunga matahari. Realita tak seindah ekspektasi. 'Si Dungu' rupanya sudah menungguku. Ada sepotong kue di atas meja makan.

"Nii-chan selamat." Dia tersenyum sambil mengangkat kue tadi.

Sebenarnya aku muak dengan tingakahnya tapi melihat ketulusan di matanya menyadarkanku bahwa hanya dia satu-satunya orang yang selalu menemaniku. Dengan cepat kubawa dia dalam sebuah pelukan.

"Terimakasih." Hanya itu yang mampu tersuarakan diantara banyaknya kata yang ingin tersampaikan.

"Suka Nii-chan"

"Ya aku suka, Yui."

"Menikah." Hah? Apa yang dia katakan? Aku diam mencoba mecerna. Pelukan tadi sudah terlepas. Dia menatapku.

"Kita menikah." Sialan. Jangan bilang dia belajar itu dari drama yang dia lihat di tv. Kubilang pada Yui agar tidak mengatakan hal itu lagi. Sungguh aku malu mendengarnya, bagaimana mungkin seorang saudara menikahi saudaranya. Walaupun Yui saudara angkat tapi dia seorang Autis. Mana sudih aku menikahi orang tak normal.

Saat kupikir pernyataan 'menikah' hanya sebuah kata yang ia dengar lalu diucapkan kembali, ternyata sebuah kesungguhan dalam hatinya. Bagaimana tidak kukatakan begitu, melihat tingkahnya yang seperti orang dimabuk cinta. Memakai baju-baju bagus padahal biasanya hanya menggunakan baby doll kebesaran, memberiku origami hati walau disertai setangkai origami bunga matahari dan hal yang paling konyol dia lakukan, mencium pipiku setiap aku pergi sekolah. Horror setiap kali aku mengingatnya.

Seorang Autis memang mengalami keterbelakangan dalam mengolah informasi dan juga kesulitan berkomunikasi, penderita Autis juga kurang peka terhadap lingkungannya. Namun ada dua hal yang menjadi kelebihan mereka di mana orang normal jarang memilikinya, yaitu 'Kejujuran dan Ketulusan'

Dua kata itu juga yang memantapkanku untuk pergi ke Tokyo meninggalkan Yui. Sangat tau kalau cinta yang dia ucapkan bukanlah sebuah kebohongan. Setiap kata darinya adalah kejujuran; setiap hal yang dilakukannya adalah bentuk ketulusan hatinya. Aku tak mungkin memberinya harapan meski jika aku mencintainya tapi sayangnya aku tak sudih memiliki pasangan seperti dia.

Terlalu terbuai masa lalu sampai aku tak sadar sudah tiba di rumah. Turun dari bis kuberjalan menuju rumah. Masih sama. Tak ada yang menyambut saat pintu ini terbuka. Hahaha ... memangnya siapa yang kau harap menyambutmu? Hantu?

Malam adalah waktu yang paling kubenci.
Malam selalu mengejekku tentang kesepian.
Aku mengigil oleh dinginnya kerinduan.
Dan yang paling kubenci, malam selalu mengingatkanku jika egoku telah menggores hati ini.

Sudah dua puntung rokok dan sebotol vodka kutandaskan. Dua hal tersebut sering kulakukan saat pikiranku tidak baik. Dan kini yang menjadi duri otakku adalah 'Si Dungu'. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya. Dalam hatiku pun sebenarnya merindukan dia. Tapi aku tidak siap untuk bertemu dengannya.

Bagaimana jika terapi yang dia jalani membuatnya mengerti bahwa aku telah menyakitinya berulangkali. Lalu bagaimana jika dia membenciku. Tapi entah kenapa aku ingin menatap wajahnya. Ya aku harus pergi.

Untung semuanya berjalan lancar walau aku harus membayar denda pembatalan kontrak kerja. Setelah berdebat dengan diriku sendiri, kuputuskan untuk tidak hanya bertemu Yui tapi sekaligus kembali hidup di sana. Satu tiket kereta menuju Okinawa sudah kukantongi hanya tinggal menunggu kereta yang akan membawaku.

Singkat cerita, aku telah tiba di yayasan tempat Yui di titipkan. Aku bertanya pada seseorang yang kurasa salah satu pengurus yayasan ini.

"Maaf nyonya, aku ingin bertemu dengan adikku yang kutitipkan di sini."

"Oh, siapa nama adik tuan?"

"Yui. Yui Okihara"

"Jadi anda tuan Yuzu?" Perawat itu sedikit terkejut saat dia mengenaliku.

"Iya. Apakah aku bisa bertemu Yui sekarang."

"Tentu saja. Mari saya antar."

Wanita paruh baya itu menuntunku melewati lorong-lorong yayasan ini. Tadi dia melihat Yui di taman belakang. Wanita ini juga tak ada hentinya menceritakan perkembangan Yui. Jujur saja aku tak mendengrkannya, aku sibuk menetralkan detak jantungku yang tak karuan.

"Sudah sampai tuan, itu Yui!" Dia menunjuk seorang gadis yang sibuk berkutat dengan kertas origami. Langkahku terhenti, sangat tak sanggup untuk melangkah lagi.

"Tuan?"

"Ah, iya. Anda bisa meninggalkan saya di sini. Terimakasih atas bantuannya."

"Sama-sama. Yui pasti senang anda menemuinya. Saya permisi tuan." Wanita itu lalu pergi.

Aku sudah berada di belakangnya, ternyata dia masih belum peka terhadap sekitarnya. Kutarik napas dalam-dalam lalu kuhembuskan.

"Yui," dia menoleh saat mendengar suaraku. Matanya melotot hendak keluar. Aku berjalan menuju kursi di depannya lalu merilekskan diriku di sana, "Apa kabar?" Lanjutku.

Kalau boleh kuakui, Yui sangat cantik. Rambut yang dulunya pendek kini telah menjuntai ke punggungnya, netra hitamnya masih seindah dulu, kulit putihnya semakin bersih dan yang tak pernah berubah, senyum tulusnya yang saat ini terpatri di wajahnya.

"Nii-chan pulang?" Ucap sambil beranjak lalu memelukku.

"Aku rindu." Kurasa dia menangis saat kaus yang kupakai sedikit basah. Sambil mengusap punggungnya aku mengatakan kalau aku juga merindukannya.

Kami berbincang-bincang untuk melepas rindu. Walau Yui masih belum bisa diajak komunikasi tapi ada beberapa percakapan yang bisa dia pahami

"Apa kau ingin pulang?"

"Yui mau sama Nii-chan."

"Tentu saja. Kita akan hidup bersama di rumah Papa dan Mama."
"Ayo kita pulang!" Ajaknya sangat antusias.

Kami berdua pun pulang ke rumah yang dulu. Menjalani hari dengan penuh bahagia. Tidak ada lagi kekerasan pada Yui. Aku sudah dewasa untuk menghadapi tingkah konyolnya. Jika melihat kebelakang aku menyesal telah mensia-siakan gadis baik ini. Tapi aku berjanji tak lagi menyakitinya. Kini kami hidup layaknya saudara yang saling menyayangi.

Sudah berbulan-bulan bahagia yang kami jalani. Tapi roda kehidupan terus berjalan dan secara tiba-tiba membalikkan keadaan. Sepekan lalu dokter memvonis jantungku tengah mengalami kebocoran dan tak ada cara selain melakukan transplantasi jantung. Aku belum mengatakan hal ini pada Yui. Aku tak sudah berjanji tak akan membuatnya terluka. Tapi kematian sudah menunggu di depan sana.

Aku tetap menjalani hari dengan bahagai di depan Yui. Senyumannya membuatku ingin bertahan walau sangat sulit. Dia telah tau keadaanku saat surat rumah sakit tak sengaja dibacanya. Bahkan dia selalu ikut saat aku melakukan pemeriksaan. Vonis dokter semakin membuatku jatuh.

Sampai pada suatu malam yang menjadi puncaknya, aku tak sadarkan diri. Tapi aku merasa seseorang membawaku ke rumah sakit. Jantungku sudah melambat, mungkin sebentar lagi malaikat kematian menjemputku. Sepertinya ada seseorang yang menjatuhkan airmatanya di pipiku. Ah, mungkin itu 'Si Gadis Dungu'. Untuk waktu yang lama aku tak sadar tapi tak juga mati. Hingga silaunya lampu mampu membuka mataku.

Kuteliti, ini adalah ruang operasi. Ada beberapa dokter di sini yang kurasa baru saja mencangkok jantungku.

"Bawa pasien ke ruang rawat!" Salah satu dokter berkata pada seorang perawat.

Ranjang yang kutiduri bergerak menuju ruang rawat. Aku larut dalam penasaran, siapa yang sudah mendonorkan jantungnya? Ah, masa bodoh, yang penting aku hidup sekarang.

Ini sudah malam dan aku ingin beristirahat kalau saja tidak ada dokter yang sedang memeriksa keadaanku.

"Ini surat dari adik anda." Dia memberikan sebuah amplop putih kepadaku. Dari saking senangnya aku masih hidup sampai-sampai aku lupa pada Yui.

"Dimana adikk saya? Kenapa sejak keluar dari ruang operasi saya tidak melihatnya." Semoga dokter itu tau keberadaan Yui.

"Adik anda berkata, dia ingin hidup bersama anda selamanya."

"Maksudnya?"

"Dia ada dalam diri anda saat ini," Ucapnya dokter itu dengan tatapan iba, "Saya permisi memeriksa pasien lain dulu, tuan Yuzu."

Jangan.

Jangan katakan jantung ini adalah miliknya.

Buru-buru kubuka amplop putih ini. Ada sepucuk kertas dan setangkai origami bunga matahari.

Aishiteru, Nii-chan
Aishiteru, Nii-chan
Aishiteru, Nii-chan

Aku tak sanggup membacanya. Walau itu hanya dua penggal kata yang diulang tapi baginya itu adalah suatu hal yang berharga melebihi hidupnya. Airmataku sudah meluap menyuarakan luka ini.

Aishiteru, Nii-chan
Aishiteru, Nii-chan
Hiduo bahagia Nii-chan!
Sayonara ^_^

Habis sudah semuanya. Terkubur oleh takdir yang sudah terulis dan telah kering.

Satu tahun setelah satu-satunya orang yang kumiliki pergi, selama itu juga aku pergi dari dari kota yang memberiku kenangan indah dan juga kepahitan takdir. Saat itu aku yang baru mengakui posisi Yui di hatiku. Ya. Aku menyukainya jauh sebelum orang tuaku meninggal. Tapi egoku selalu menyangkal dengan dalih dia saudaraku, dia seorang Autis, dia permpuan tak normal apalagi saat dia menjadi penyebab kematian Papa dan Mama. Rasa suka itu terhalang oleh kebencianku. Namun kini aku aku menyesal kenapa cinta ini datang terlambat. Kenapa cinta ini datang saat pemiliknya telah pergi. Aku tak ingin berlarut dalam kesedihan, seperti yang Yui minta, aku harus hidup bahagia.

Kini aku hidup dipinggir kota Osaka. Aku membuka sebuah toko bunga di sini. Bunga adalah hal yang paling Yui sukai. Memang tak banyak hasil yang kuperoleh tapi bukan uang yang kuharapkan melainkan ketenangan hatiku.

"Paman aku mau sebuket mawar putih." Seorang perempuan datang untuk membeli sayangnya dia harus kecewa.

"Maaf aku tidak menjual bunga selain bunga matahari."

"Paman ini, niat menjual bunga tidak sih?" Tanyanya sedikit marah.

"Bunga matahari adalah kesukaan orang yang kusayangi namun dia sudah pergi."
Gadis itu tampak menyesal, "Maaf paman jika aku tau alasanmu aku tak akan memarahimu seperti tadi. Kalau begitu aku pergi ke toko lain saja."

Toko bungaku memang hanya menjual bunga matahari karena dengan begitu aku bisa meredakan kerinduanku padanya dan dengan begitu juga aku bisa merasakan dia ada di dekatku. Kuraba dadaku, kurasakan jantungnya yang terus berdetak untuk setiap detik hidupku.

***
SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro