Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

UNBREAK

Bagi kamu yang membaca ini, kuharap tak akan pernah bosan dengan kisah-kisah yang aku tulis.

Selamat membaca, semoga kamu suka

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Kita putus aja.”

Aku mengerjap, berharap pendengaranku keliru dalam menangkap maksud pacarku. Sehingga kuputuskan untuk bertanya, “Kita apa? Putus?”

Namun, cewek berambut lurus sepinggang itu tidak menjawab. Hanya berdiri dengan genangan air mata di pelupuk—yang aku yakin—siap tumpah kapan saja apabila ia mengerjap sekali. Sedetik kemudian rambut hitam itu bergerak mengikuti kepalanya yang menggeleng. Sebelum pergi, meninggalkanku yang masih terpekur. Berasumsi bahwa pendengaranku memang tidak sedang bermasalah dan ia benar mengucapkan tiga patah kata terkutuk itu.

Kau tahu bagaimana perasaanku? Seperti baru saja disulap menjadi kanebo kering begitu mendengar kata ‘putus’ dari pacar yang bahkan baru kumiliki selama sebulan. Ya. Kau tidak salah baca. Sebulan.

Apa salahku? Tolong sebutkan!

Pikiranku lantas ditarik ke momen beberapa bulan lalu, ketika pertama kali bertemu dengannya saat penerimaan murid baru.

Cewek itu tidak sengaja melawatiku yang akan bermain basket—meski sekolah sedang libur, tim basket sekolah kami tetap latihan. Ia lantas  bertanya tentang letak ruang teater untuk audisi murid beasiswa jalur prestasi, salah satunya dalam bidang musik. Karena kebetulan lapangan basket bersebelahan dengan ruangan itu, jadi aku menunjukkan jalannya.

Aku ingat betul. Sebelum mengantarnya, aku sempat mengamatinya sejenak. Cewek itu tidak secantik cewek-cewek lain yang pernah dekat denganku. Badannya tergolong kurus. Bahkan tingginya hanya sepundakku. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Cara gadis itu bersuara serta menatap dengan binar matanya dan benda apa yang tengah tersemat di punggungnya.

“Lo main gitar buat audisi?” tanyaku penasaran. Sembari berjalan berdampingan dengannya.

“Iya,” jawabnya ringkas, getsture-nya gugup.

Untuk beberapa saat yang singat, kami pun tiba di depan ruang teater.

“Ini ruangannya. Good luck,” ucapku.

“Makasih.”

Semestinya, kakiku sudah melangkah ke arah lapangan basket. Namun, entah kenapa malah berhenti lalu menghadap gadis itu kembali. Mengamatinya yang sedang mencoba menenangkan diri dengan menarik serta mengeluarkan napas beberapa kali sebelum membuka pintu pintu kayu cokelat tua ruang teater dan melesak.

Tubuhku mengambil alih pikiranku untuk mengikutinya masuk dan duduk di kursi penonton di deretan paling atas. Ada beberapa murid yang juga sedang menonton, atau audisi—aku tidak tahu. Saat itu fokusku hanyalah gadis itu yang sudah berdiri di panggung kecil menghadap guru musik sekolah kami yang menjadi juri.

Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum kaku lalu berusaha menyapa dan memperkenalkan diri. “Halo selamat pagi, nama saya Cheryl Marsilue.”

Sejak saat itulah aku tahu namanya.

Dengan gemetar, Cheryl mengutak-atik kabel gitar listrik miliknya dan mulai memetik senarnya menggunakan pick. Senar itu pun bergetar membentuk nada. Tangan lentik Cheryl kemudian meraih treamolo dan menggoyangkannya untuk menaik-turunkan nada tanpa memindah cord gitar.

Aku ternganga, dan mungkin semua orang di ruang teater ini termasuk juri sebab mendengar Canon Rock yang ia cover mengalun lancar. Ternyata Cheryl seorang melodis, pemain gitar yang lebih mengandalkan gandalkan petikan-petikannya daripada genjrengan senar.

Aku tahu belajar melody sangatlah susah, dan jelas membutuhkan waktu yang lama, juga harus mempunyai bakat alami, karena aku juga pernah mempelajarinya, tetapi masih belum mahir.

Setelah mengakhiri petikan gitarnya dan sekali lagi Cheryl menaik turunkan treamolo, semua penonton bersorak serta bertepuk tangan. Bahkan ada yang berdiri. berjalan ke panggung lalu menjabat tangan Cheryl untuk memberinya selamat dan saat itu juga ia langsung diterima sebagai murid peraih beasiswa sekaligus sebagai salah satu personil grup band sekolah ini.

Sejak saat itu pula, aku jatuhnya cinta pada Cheryl Marsilue.

•••

Mari aku diskripsikan sedikit tentang diriku agar kau tahu seperti apa rupa serta sifat dasarku.
Aku Levi Rafandra. Berumur 17 tahun, kelas XII IPA 3. Berhubung sebagai pemain basket yang unggul, jangan heran bila tinggiku mencapai 185 sentimeter dengan berat badan 75 kilogram. Hobiku selain bermain basket, juga bermain gitar.
Pada dasarnya, aku orang yang dingin, acuh tak acuh terhadap sekitar. Namun, entah kenapa sifat itu malah dianggap cool bagi teman-teman cewek.

Aku jenis cowok yang tidak suka menjalin hubungan. Jenis yang suka mengejar cewek, tetapi tidak sudi mempertahankan. Apabila cewek yang kukejar menunjukkan sedikit saja rasa tertarik terhadapku, tanpa menunggu barang waktu sedetik pun, aku kontan melepas buruanku.

Cheryl, jelas pengecualian. Bahkan dalam hatiku terucap niat tulus untuk menjalin hubungan dengannya. Untuk itu aku mengejarnya. Perasaan euforia itu masih kurasakan saat Cheryl yang notabene adik kelas menerimaku sebagai pacar.

Hingga akhirnya ia meminta untuk mengakhiri hubungan ini. Posisi yang diidam-idamkan seluruh cewek di sekolah telah Cheryl lepas tanpa alasan.

Sebulan. Kau mungkin tak akan percaya kalau kukatakan aku belum pernah berkencan dengannya. Jangankan berkencan, menggenggam tangannya barang sedetik pun saja belum. Apalagi mengantarnya ke rumah, dan lain-lain. Kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing : aku dengan basket, dan Cheryl dengan grup band. Satu bulan itu waktu yang terlalu singkat.

Setelah tidak lagi menjalin hubungan, tampaknya gadis itu biasa-biasa saja. Berbeda denganku yang sangat terluka. Atau mungkin ini wajar karena ia pacar sekaligus cinta pertamaku? Sialnya, sebagai cowok, aku harus bersikap tegar juga, ‘kan?

Senin pagi, semua murid berlomba lari cepat masuk ke gerbang sebelum bel sekolah berdentang dan sekuriti menutup gerbang. Kupikir satu-satunya murid yang lelet Senin pagi ini hanya aku karena—mungkin tanpa Cheryl sadari—gadis itu baru saja melewatiku.

“Buruan masuk, mau saya tutup gerbangnya, udah hampir jam tujuh, mau upacara,” seru sang penjaga gerbang yang berumur empat puluhan kepadaku.

“Maaf, Pak,” ucapku lalu berlari sebelum penjaga itu benar-benar menutup gerbangnya.

“Selamat pagi, Kak Levi.”

Bagai disambar petir di pagi hari. Suara merdu gadis itu menyusupi gendang telingaku. Tanpa permisi dan tanpa aba-aba. Kupikir, Cheryl sudah ke kelasnya. Ternyata belum. Malah sekarang kami berjalan ke arah selasar bersama. “Gimana weekend-mu?”

Weekend-ku?

Cheryl baru saja mengakhiri hubungan kami tanpa alasan, dan sekarang dengan senyum kurang ajar yang hangatnya mengalahkan mentari pagi ia bertanya bagaimana weekend-ku?

Aku ingin mengerung marah. Lalu mendorong ia ke dinding untuk menodong alasannya melakukan hal itu padaku, tetapi otakku lelet. Sepatah kata sederhana terburu meluncur sendiri.

“Lumayan,” jawabku asal dengan nada normal. Tidak ingin Cheryl tahu bagaimana kacaunya hatiku sekarang. Aku juga ingin terlihat kuat, berumpama tidak ada apa-apa di antara kami—seperti dirinya. “Gimana weekend-mu, Cher?”

“Not good,” jawab gadis itu sambil memindah pandangan.

Sungguh. Ini akan menjadi obrolan yang sangat menarik andaikan kelas Cheryl tidak selangkah di depan kami dan upacara bendera segera dimulai. Memaksa diriku memutus rasa penasaranku akan jawaban yang diberikan gadis itu.

•••

Sekolah sedang mengadakan class meeting. Entah kenapa aku dan Cheryl malah terjebak dalam situasi yang—menurutku—sangat ingin kuhindari. Yaitu duduk berdua dengannya di depan koridor yang menghadap bentangan lapangan basket.

Gadis itu menggenggam sebotol air mineral sedangkan aku yang semula membelakanginya kini berputar 45 derajat menghadap samping karena ingin bersandar di dinding.

“Kak Levi,” panggilnya lirih sembari menutup botol minuman yang baru saja ditenggaknya. Aku hanya bergumam sebagai jawaban. Sehingga Cheryl membuka mulut lagi. “Aku seneng kita kayak gini, rasanya lebih nyaman aja kalau kita temenan,” lanjutnya yang kemudian menurunkan pandangan.

Aku menggeleng samar, akan tetapi mulutku malah berkata sebaliknya. Semata-mata hanya ingin terlihat kuat dan satu suara dengannya. Padahal rasanya aku ingin meneriaki gadis itu dengan apa yang telah dilakukannya pada hatiku. Berhadapan dengan Cheryl selalu menyulitkanku.

“Iya bener.”

“Oh ya hari ini kak Galih sakit jadi izin nggak latihan. Tolong temenin aku ya buat gantiin dia sementara?”

Galih merupakan teman sekelas ku sekaligus gitaris grup band sekolah. Dan, Cheryl, kalau ia benrjat menjadikanku bucinnya alias budak cintanya. Maka selamat, ia berhasil. Kurasa dari dulu.

Jadi, sore itu aku mulai menemani Cheryl latihan. Tidak hanya sekali, tetapi sering kali sampai Galih sembuh. Kemudian otakku membentuk presepsi sendiri. Apabila ini merupakan caraku untuk bisa berdekatan dengannya. Kenapa tidak?

“Aku anter pulang ya? Ini udah hampir malem,” pintaku saat kami telah selesai latihan.

“Makasih, Kak Levi,” jawabnya sambil tersenyum.

Kuantar ia pulang. Mencoba peruntungan, aku mengambil tangannya dan melingkarkannya di pinggangku. Cheryl tidak menolak. Rasanya, untuk sementara ini, itu sudah cukup.

Suatu sore, Cheryl menelepon dan berkata ingin pergi ke kafe baru. Jadi aku menjemputnya. Sejak saat itu aku rutin bertemu dengannya. Kami makan bersama, menonton film di bioskop, juga sesekali berkumpul dengan teman-teman.

Ketika kami ke bioskop, ia tiba-tiba menggandeng tanganku dan berkata, “Ini gantinya kencan. Kita dulu nggak pernah kencan,” katanya riang. Aku terpekur dengan kata-kata itu. Entah kenapa selalu membiarkannya mengontrol situasi.

Tidak terasa, beberapa minggu telah terlewati. Kupikir hubunganku dengan Cheryl akan berkembang. Namun, nyatanya tidak. Malah kupikir mengalami kemunduran karena Cheryl jarang membalas pesanku.

Aku pun memutuskan kembali menjadi Levi Rafandra seperti yang dulu. Suka mengejar cewek, tetapi tidak suka dikejar. Ini semua karena beberapa waktu lalu Galih mengabariku tentang kedekatan Cheryl dengan salah satu teman sekelasnya bernama Deon.

Apa kau tahu hal gila apa yang kulakukan untuk menarik perhatian Cheryl? Aku mendekati sahabat gadis itu bernama Anggia. Padahal jelas-jelas Anggia sudah memiliki pacar.

Sebut saja aku bajingan karena setelah berhasil memerangkap Anggia dan sahabat Cheryl itu sudah memutuskan hubungannya dengan sang pacar, aku malah menghilang alias berhenti menghubunginya. Karena rupanya Cheryl tak kunjung menghubungiku.

Kupikir usahaku benar-benar gagal dan aku sungguh merasa tak enak hati dengan Anggia karena hanya menjadikannya alatku. Namun, sewaktu akhirnya tiba-tiba Cheryl mengubungiku dan mengatakan ingin bertemu, harapanku melambung tinggi sampai angkasa. Tanpa rasa curiga sedikit pun, aku pergi menemuinya. Hingga aku melihat wajahnya yang murung setibanya aku di teras rumahnya.

“Aku habis berantem sama Anggia,” akunya. “Kamu ngapain sih main-main sama dia? Kalau suka ya jadian aja! Nggak usah kayak gitu! Kamu tahu nggak? Dia udah mutusin pacarnya buat kamu! Gara-gara kamu aku jadi dimusuhin sama dia!”

Entah kenapa aku malah impulsif. Emosi yang selama ini kusimpan mendadak muncul ke permukaan. “Cheryl! Aku udah cukup sabar hadepin sikap kamu yang seenaknya sendiri ke aku! Kamu mutusin aku, tapi masih jalan sama aku. Gandengan, nonton film, makan bareng juga. Terus tiba-tiba kamu deket sama Deon dan kenapa aku nggak boleh deket sama Anggia?”

“Deon sama aku cuma temen doang,” bantahnya.

Bullshit!” ucapku sambil menggeleng. “Kamu pikir aku sama Anggia kayak gimana? Dia itu yang terlalu ge er!” Maafkan aku Anggia. Maafkan aku.

“Lagian kita lagi ngomongin Anggia. Bukan Deon, Kak Lev!” Raung Cheryl dengan kedua alis berkerut-kerut.

Pada akhirnya, aku mengakui, “You know what, Cher? Oke, aku emang sengaja deketin Anggia buat narik perhatian kamu! Selama ini aku nggak bisa move on dari kamu yang nggak jelas tiba-tiba mutusin aku! Seenggaknya kasih tahu aku alasannya, Cher! Biar aku bisa ngelepasin kamu, kalau misalnya kamu emang nggak nyaman sama aku!”

Cheryl menengadah sambil menggeleng. Bulir-bulir bening mulai mengalir di pipinya yang mulus. “Kamu bodoh, Kak Levi!” pekiknya sambil menangis. Rasanya baru kali ini aku melihat serta mendengarnya menangis. Hatiku rasanya ikut teriris. Namun, aku juga masih tidak bisa menahan emosiku yang meluap-luap bagai bendungan yang tahu-tahu bobol.

“Ya! Aku bodoh karena nggak bisa move on dari kamu dan masih ngarepin kamu! Puas kamu sekarang, Cher?”

“Aku pengin putus. Soalnya aku pengin deket sama kamu.”

“Dari mana asalanya kamu bisa punya teori kayak gitu?” tanyaku tak percaya.

“Banyak gosip yang disebar sama cewek-cewek yang pernah kamu deketin, Kak Lev. Katanya kamu tukang goshting. Makanya aku takut …, kalau misalnya aku nunjukin gelagat suka sama kamu, kamu bakalan buang aku. Kamu bakal ngehindarin aku. Jadi, aku mutusin kamu.”

Pengakuannya mengejutkanku. Aku mendesah keras. Menengadah sambil menjambak rambutku lantaran frustasi. “Kamu yang bodoh, Cher! Mereka itu cuma iri sama posisimu!”

“Iri sama posisiku? Kalau emang aku spesial, kenapa kamu malah deketin cewek-cewek?” tuntutnya.

“Itu dulu! Sebelum aku jadian sama kamu, Cher!” bantahku.

“Enggak! Aku juga denger dari kak Dayu kamu rajin chat sama dia! Banyak juga yang cerita kamu juga deketin kak Amel, temen sekelas kamu waktu masih sama aku!”

Aku membelalak. “Terus kamu percaya gitu aja tanpa tanya ke aku, Cher?” Cheryl mengangguk. Dan aku kembali mengusap wajahku kasar. “Astaga! Gimana caranya aku chat sama Dayu atau Amel kalau aku sibuk sama basket? Kamu juga tahu itu, Cher!”

“Ya gimana aku nggak percaya kalau Anggia itu bukti nyatanya, Kak Lev?”

“Itu kan beda kasus, Cheryl! Astaga!” Aku menunduk sambil menggeleng-geleng, tak percaya dengan apa yang kami debatkan. Rasanya ingin kuguncang-guncangkan Cheryl supaya ia sadar. “Kita udah putus waktu aku deketin Anggia. Dan tujuanku jelas buat narik perhatian kamu yang nggak aku dapetin. Makanya itu aku udahin deketin Anggia. Tapi emang situasinya udah keburu dia mutusin cowoknya.”

Sekarang, gantian Cheryl menunduk sambil mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Secara perlahan, aku menyentuh kedua bahunya. “Denger, Cher. Waktu aku deketin kamu, kenapa aku sampai nembak kamu? Yang selama ini nggak pernah aku lakuin ke cewek lain?”

Cheryl kemudian mendongak dan menatapku lagi. “Aku nggak tahu. Aku ‘kan oon, kamu aja yang jelasin. Aku takut salah kesimpulan lagi.”

Aku menatapnya penuh intimidasi. “Dengerin baik-baik! Resapi! Aku Levi Rafandra, sayang sama kamu, Cheryl Marsilue. Mau balikan nggak? Aku beneran nggak bisa move on. Suer, Cher, kamu bikin aku gila tau nggak?

“Nggak mau, Kak Lev.”

Mataku kembali membelalak. “A-pa?”

“Nggak mau nolak.” Chery mengusap air mata sambil tertawa kemudian melanjutkan, “Aku juga sayang kamu, dan nggak bisa move on dari kamu. Jadi, ayo kita balikan.”

Senyum Cheryl menular padaku. Unbreak?”

“Yes.”

____________________________________________________

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro