Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PARALEL

Hallo teman-teman, apa kabar?
Semoga sehat selalu ya

Saya datang bawa cerpen lagi nih
Semoga suka ya

Selamat membaca gaeeesss

❤❤❤

“Ayah, Joon, kenalkan, ini pacarku Young Hwa Lee.” Dengan senyum merekah bak bunga mekar dan dipenuhi rasa bangga, kau memperkenalkan pria yang duduk di sampingmu pada ayah dan adikmu dalam kesempatan makan malam ini di tempat tinggal kalian.

Young Hwa menunduk, sebelum sepasang netra bagai bulan sabitnya menatap pria beruban di depannya. Lalu bergeser ke pemuda yang acuh tak acuh dan lebih tertarik pada kimchi di meja makan. “Halo, saya, Young Hwa Lee. Salam kenal paman, Joon.”

Sayangnya, niat baik dan sopan santun Young Hwa tidak mendapat respons yang sama. Han-Joon Kim, dengan kurang ajarnya memberi pacarmu seringai meremehkan. Konyolnya lagi, berhasil ditularkan pada ayah.

“Kurasa, sudah cukup perkenalannya. Aku sudah lapar. Mari makan saja.”

Mendengar perkataan ayah, Joon segera mengambil kimchi lalu menyuapkannya ke mulut tanpa sungkan. Begitu pula dengan beliau.

Pacarmu memandangmu yang masih syok atas respons ayah dan adikmu. Seolah bisa membaca pikiranmu, ia berbisik, “Apa itu artinya ayah dan adikmu tidak menerimaku?”

Rupanya, Joon bisa mendengarnya. “Kalau sudah jelas, kenapa masih tanya? Seharusnya kau pergi dari sini dan tidak lagi berhubungan dengan Iseul.”

Sumpah demi toppoekki jempolan bibi Ahn di depan gang, ingin kauhajar kepala Joon sekarang juga. Bagaimana bisa ia bereaksi seperti itu pada calon kakak iparnya?

“Aku tidak percaya, kau mengenalkan pecundang ini pada kami, Iseul,” imbuh Joon yang dilafalkan salam gerutuan. Dan kau tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi.

“Ya! Han-Joon Kim!” Kau meneriaki adikmu.

Ayah lantas menegur, “Ck, sudahlah, Iseul. Tidak perlu membuat drama makan malam.”

“Tapi—”

“Iseul,” potong Young Hwa. Tangannya mengambil salah satu tanganmu di bawah meja. “Mungkin lain kali saja aku mampir ke sini.” Ia lantas berpindah fokus ke ayah dan Joon. “Saya pamit dulu. Selamat malam semuanya.”

Walau sudah dihina sedemikian rupa, Young Hwa tetap membungkuk sebelum melepas genggaman tangannya lalu pergi meninggalkan apartemen mungil kalian.

Sementara kau masih menatap nanar punggung pria itu, Joon berceloteh, “Ahkhirnya pecundang itu pergi juga.”

Dan kau kontan meledak pada Joon. “Apa-apaan itu tadi? Kenapa kau seperti itu apa Young Hwa? Sebenarnya kau ini kenapa? Kau bilang aku harus mencari calon suami baik dan Young Hwa adalah kandidat yang cocok! Tapi kenapa responsmu malah seperti itu?”

Joon tidak mengacuhkanmu dan malah menyalakan ponsel yang kauduga untuk bermain gim sambil menyumpiti makanan yang kaumasak khusus untuk makan malam spesial malam ini.

Jengkel tak kira-kira, kau berdiri hingga kursimu mundur kemudian memindah berat tubuh untuk menyahut ponsel adikmu dan meletakkannya di meja secara kasar.

“Ya! Han-Joon Kim! Aku bicara padamu!” pekikmu dengan napas naik turun lantaran emosi. Namun, sedikit senang karena perhatian Joon kini terpusat padamu. Sehingga kau bebas mengutarakan kemarahanmu. “Kau merusak acaranya! Kau selalu merusak segalanya! Dulu saat ibu dan ayah cerai kau tidak peduli! Sekarang saat aku bertemu pria yang cocok, kau menghinanya!”

“Kenapa harus mempermasalahkan perceraian ayah dan ibu? Aku justru senang karena dapat uang saku dobel,” jawab Joon santai. “Dan pecundang tadi—”

“Ya! Kau benar-benar keterlaluan! Aku membencimu, Joon! Aku harap tidak pernah punya adik sepertimu!” Setelah meneriakkan serentetan kata yang membentuk kalimat itu, kau pun pergi meninggalkan apartemen buaraian air mata.

Kau terus berlari tidak melihat jalan. Beberapa kali bahumu tersenggol orang lain dan kau tidak peduli. Hingga tiba-tiba kedua kaki yang menyangga tubuhmu sudah ada di tengah jalan. Suara klason mobil dan teriakan orang-orang bertimpang tindih dan saling bersahutan memanggilmu. Sebelum akhirnya kilauan cahaya lampu kendaraan mendekat, menyakiti matamu lalu tubuhmu dihantam mobil. Dan semuanya pun menjadi gelap.

°°°

“Iseul ... Iseul ...!”

Dengan usaha tak main-main, kau berhasil membuka kedua mata. Mulanya, kau sangat yakin berada di rumah sakit akibat kecelakaan yang beberapa waktu lalu baru kaualami. Rupanya sangkaanmu keliru. Bukan itu yang terjadi padamu.

Kau mendapati dirimu tidur di kasur dalam kamar apartemen mungil keluargamu tanpa satu pun luka di tubuhmu.

“Baguslah kau sudah bangun!”

Syarat akan rasa jengkel dalam suara itu membuatmu menoleh dan melihat ibu bercelemek, berkacak pinggang di depan pintu sambil memegang pengaduk sup.

Kedua matamu kontan memelotot, mengiringi dagumu yang rasanya hampir jatuh ke lantai lantaran terlalu lebar menganga.

Bagaimana bisa ibu berada di kamarmu? Mengingat hampir tiga tahun lalu beliau tinggal di tempat terpisah pasca cerai dari ayah. Pemandangan seperti ini adalah pemandangan bertahun-tahun lalu.

“Kenapa aku bisa di sini? Kenapa ada ibu? Bukankah aku baru saja tertabrak mobil? Bukankah seharusnya aku di rumah sakit? Dan ibu tidak di sini?” Kau meracau, kacau balau.

“Apa yang kau bicarakan? Apa kau mimpi?”

“Tidak!”

“Ck, sudahlah. Bersiap-siaplah dan sarapan. Ibu sudah masak sup kesukaanmu. Jangan sampai terlambat, katanya kau ada rapat pagi?”

Sambil mencerna keadaan, kau kembali mengamati sekitar. Di meja makan sudah ada ayah yang menunggumu sarapan. Seolah tak pernah terjadi pertengkaran hebat antar kedua orang tuamu.

Kau pun bergabung. “Sejak kapan ibu pulang?” Kau menemukan dirimu bertanya pada ayah.

Pria beruban itu sontak menaikkan alis. “Seperti biasa, pagi-pagi sekali sudah pulang dari belanja.”

Kau mengerjap. “Maksudku, apa ayah tidak keberatan ibu kembali ke rumah? Ayah dan ibu kan sudah bercerai tiga tahun lalu,” terangmu, berbisik sambil melirik ibu yang mengenakan oven mitt.

“Kau ini bicara apa? Jangan sembarangan, Iseul. Ayah dan ibu tidak pernah cerai.”

Sekarang kau seolah merasa menjadi gila. “Tidak! Tiga tahun lalu ayah dan ibu cerai. Coba tanyakan pada Joon kalau tidak percaya,” bantahmu.

Namun, ayah malah berbalik tanya, “Joon siapa?”

Keanehan pun semakin menjadi-jadi. Sekali lagi matamu melebar. “Han-Joon Kim, adikku. Anak kandung ayah dan ibu yang paling kecil. Sekarang dia sudah SMA.”

“Sejak kapan kau punya adik? Kenapa dari tadi bicaramu melantur, Iseul?” Ibu meletakkan panci keramik dan ikut duduk dengan kening berkerut samar.

“Ayah dan ibu pasti bercanda.” Kau menggeleng dan tersenyum masam.

Sebenarnya keadaan apa yang sedang kauhadapi? Kenapa ayah dan ibu tidak bercerai? Kenapa Joon tidak ada? Kenapa kau tidak punya adik? Apakah harapanmu terkabul karena kecelakaan itu? Namun, kenapa kau tidak terluka sama sekali? Apakah benar kata ibu, kau hanya bermimpi?

Itu tidak mungkin, Joon sudah hadir di hidupmu selama hampir 18 tahun. Kau mengenalnya luar-dalam.

Kau menatap sekeliling Seoul dan mendapati semuanya tampak normal. Udara musim panas, kedai teopokki jempolan bibi Ahn di depan gang, bahkan kartu identitas kantormu pun sama persis seperti saat terakhir kali kau bekerja—sebelum makan malam itu.

Ketika memasuki gedung kantor, kau menyapa rekan-rekanmu, semuanya juga tampak normal. Kala naik elevator, pacarmu Young Hwa juga mengirimikan pesan pagi ini dan memang itulah rutinitas kalian.

Sungguh, semua tampak normal hingga sebuah suara familier membuat segalanya bertambah gila.

“Kau masih berhubungan dengan pecundang itu?”

Dari ponsel, kau beralih ke pria di sampingmu. Dan betapa terkejutnya kau mendapati Han-Joon Kim berpakaian formal, mengenakan setelan kerja biru dongker. Dengan wajah dan umur lebih dewasa.

“J-Joon? Kenapa kau ada di sini dan berpakaian seperti ini?”

“Kalau kau lupa ini kantor ayahku dan aku bekerja di sini? Dan Iseul, panggil aku Pak kalau sedang bekerja. Kecuali kau mau memutuskan hubungan dengan Young Hwa si pecundang itu dan menikah denganku.”

“Ha?” Kegilaan macam apa lagi ini?

Dentingan halus elevator membawa tubuh pria itu keluar sementara kau masih terjebak dalam ketidakmengertian keadaan.

Sejujurnya ini mengerikan. Joon yang biasanya terlihat di sekitarmu sebagai adik, kini harus kaulihat setiap hari sebagai rekan kerja. Atasan pula. Hingga berminggu-minggu lamanya, kau tidak bisa keluar dari kegilaan-kegilaan ini. Puncaknya hari ini.

“Bagaimana? Kau sudah memutuskan pacar pecundangmu itu?” tanya Joon untuk yang keseratus kalinya dalam sebulan, setiap kalian berpapasan di kantor.

Bagian paling lucu adalah cara Joon, adikmu, dan Joon atasanmu ini kalau bicara. Gaya mereka sama. Tengil dan selengean serta gemar mencemooh Young Hwa. Bagaimana kau tidak jengkel?

“Anda sudah tidak waras, Pak,” jawabmu.

“Ya, kurasa. Kau memang membuatku tergila-gila, Iseul.”

Ini sudah keterlaluan. Keadaan ini mempermainkamu.

Kau memejam sebentar lalu menatapnya dengan garang. “Kenapa kau selalu menjengkelkan? Kenapa aku harus terbangun dan selalu mendapatimu di hidupku? Sudah bagus aku bangun pagi dan tidak menemukan adikku Joon. Sekarang aku harus bertemu denganmu sebagai atasanku? Dengan membuat kekacauan yang sama? Kenapa kau selalu mengusikku dengan Young Hwa? Kenapa?”

Tahu-tahu, kau sudah menangis. Tubuhmu secara praktis bergerak meninggalkan Joon menuju lobi untuk mencegat taksi. Namun, apa yang kaudapati?

Young Hwa mencium pipi seorang wanita—rekan kerjamu—dengan mesra. Kau tersentak oleh kenytaan itu.

“Itu yang kumaksud. Semoga kau sadar, Iseul.” Kau mendengar Joon berbicara di belakangmu.

Berhubung tak tahan lagi dengan kegilaan ini, kau berjongkok dan menangis keras. Dunia ini sungguh gila. Atau kaulah yang gila?

Joon berinisiatif mengantarmu pulang dan kau membairkannya. Dalam mobilnya, kau masih menangis sampai tertidur. Begitu terbangun, tahu-tahu kau duduk di meja makan dan mendapati situasi makan malam dengan ayah, dan Joon—adikmu yang tentil dan selengean.

Pintu depan apartemen kalian tertutup dan Joon kembali berkata, “Akhirnya pecundang itu pergi juga.”

“Pecundang?” Kau mendapati dirimu bertanya dengan perasaan kacau balau.

“Pacarmu, lalu siapa lagi?” jawab Joon lalu mengambil ponsel yang kauduga untuk bermain gim sambil menyumpiti makanan yang kaumasak khusus untuk makan malam spesial malam ini.

Kau hampir meledak lagi karena kegilaan ini tak kunjung usai. Pada akhirnya, kau menangis lagi, kali ini lebih keras dan histeris. Sampai-sampai ayah dan Joon berhenti makan untuk melihatmu.

“Hei, jangan menangis, Noona.” Baru kali ini kau mendengar Joon memanggilmu demikian. Suaranya lebih lembut, syarat akan kasih sayang.

“Aku melakukannya demi kau. Kemarin aku melihatnya mencium teman sekantormu,” tambahnya.

Kau sontak berhenti dan menatap Joon. Seolah tak percaya. Bukan akibat Young Hwa telah selingkuh darimu. Melainkan karena informasi yang baru saja dibeberkan Joon.

“Kau tidak percaya, Iseul? Ini, aku punya buktinya.”

Joon memperlihatkan sebuah video kejadian yang sama persis kaulihat dengan mata kepalamu sendiri sebelum Joon—atasanmu—mengantarmu pulang beberapa detik lalu.

Oh Tuhan, sebenarnya apa yang sedang terjadi?

_____________________________________________

©®Chacha Prima 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro