L.A Light, 15 Mei 2016
Fuhh...
Hembusan putih dari mulut dan hidungku mengepul dan menari di atas hidung dan kepalaku. Angin bertiup sepoy menggambar bentuk bentuk yang terus berubah, bergerak tanpa henti berusaha meraih langit, menipis dan terus menipis sebelum akhirnya hilang ditelan malam.
Penat yang tadinya menyesak dada dan mencekik leher, mengancam derai hujan emosi yang awannya telah mendung menggelap dalam benak, kini terurai satu satu.
Pohon yang cabangnya nyaris mencapai kakiku di lantai dua, serentak lebih hijau dan cerah, dan bintang yang bertebaran di hitamnya malam perlahan bersinar lebih terang.
Mungkin karena pikiranku lebih jernih sekarang, entahlah.
Ku hentakkan abu yang sudah mulai berkumpul ke pinggiran pagar besi, dan rokokku menyala lagi.
Mereka bilang enak jadi perempuan.
Mereka bilang tugas perempuan hanya bersolek dan telentang, lalu terima enak.
Mereka bilang tanggung jawab perempuan hanya mengulurkan tetek dan tunggu dihisap anak.
Menyiapkan makan dan menimang si kecil, apa susahnya?
Semua cerita putri dongeng dari mulai Klenting kuning sampai Cinderella, akhirnya bahagia.
Menikah, lalu bahagia selamanya. And they lived happily ever after.
Tanganku meraba menyisiri rambut, memilinnya sampai keras dan menyelipkannya. Kusingkirkan poni yang masih bandel merayapi dahi, sebelum ku hisap rokokku kembali.
Mataku menyusuri jalan di bawah bukit, mengikuti sinar-sinar motor yang sesekali melewati balkon yang kutempati.
Nyatanya kebahagiaan bukanlah hal yang sim salabim abrakadabra langsung terjadi saat itu juga.
Rumah dan seisinya adalah black hole waktu yang siap menelan hidupmu dari waktu ke waktu. Cucian piring yang tak kunjung usai menumpukkan diri di wastafel, baju yang tiap hari harus dicuci diseterika dan dilipat, debu yang harus terus diseka...
Anak? Setelah berbulan bulan menimbulkan mual, sakit pinggang dan sesak, lalu harus keluar dengan rasa sakit tiada tara, yang tak pernah dialami atau bisa dibayangkan satupun lelaki di dunia.
Sudah keluar bukannya selesai, ia akan merampas waktu dan hidupmu hingga kering habis disesap tak bersisa. Boro-boro mau bersantai di rumah seperti kaum lelaki bayangkan. Mau mandi atau sekedar buang hajat saja, anak merengek pengen ikut, kalo mesti, dia bongkarlah itu ventilasi hanya demi melongokkan kepala, entah buat apa.
Bersolek?
Pake apa? Cream yang habis dibalurkan anak lelakimu ke mobil mobilannya? Atau bergincu dengan lipstik yang tadi baru dipakai anak perempuanmu menggambar di dinding? Bercanda ya?
"Ha ha"
Rasa geli menggelitik akhirnya meletup menjadi kekeh.
Tetapi itu hanya sesaat. Rasa geli itu menguap seketika dipanasi realita.
Gampang kuliah sehabis menikah dan punya anak?
Waktunya kapan? Meninggalkan anakmu pada orang tua sembari dicaci karena tak juga mandiri?
Menitipkannya pada pembantu yang menjualnya pada pengemis di lampu merah kah?
Atau dititip ke day care, membayar uang segede gunung cuma sekedar buat nitip urus tetapi dari mana?
Bukankah kau cuma lulusan SMA yang tak bisa kerja? Apalagi sambil kuliah dan ada anak?
Apa maksudnya? Kuliah sambil anak bergantung di tetek?
Mengerjakan tugas yang kembali dirobek robek atau dicoreti karena baik skripsi maupun kertas biasa tak ada bedanya untuk anakmu.
Lagi pula...
Otakmu sudah lelah dua puluh empat jam dibebani terlalu banyak rengek dan tuntutan si boss kecil yang tak bisa diajak diskusi.
Kadang menjerit dan engkau tergopoh gopoh lari mendatangi, lupa dengan sewajan minyak panas yang kau tinggalkan hanya untuk menyaksikan anakmu hanya frustrasi dengan mainannya, dan engkau pun lari kembali ke kompor, terkadang hanya untuk mengangkat gorengan yang terlalu gosong atau bahkan melihat api naik menjilat minyak.
Aku menghisap kembali rokokku, dan otakku jadi kosong.
Lelaki memang takkan mengerti. Karena mereka tak ada disitu.
Kalaupun ada, insting mereka tidak dirancang untuk mengutamakan anak, melalaikan yang lainnya. Rancangan baik, memang, karena bagaimanapun, manusia ketika bayi amat lemah tanpa daya.
Hanya saja, bila terus menerus dua puluh empat jam pikiran dibikin waspada tanpa henti, korslet juga akhirnya.
Itu mau dipakai memecahkan rumus-rumus dan mencerna apa yang ada di kuliahan?
Aku tertawa.
"Neeng? Dimana?"
"Nuju Ibak!"
Buru-buru kumatikan rokokku, berlari tergesa ke dalam kamar mandi dekat jemuran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro