Bab.9
Malam ini aku membuat janji dengan laki-laki hidung belang yang kutemui di mall, Sabtu lalu. Dia mengajak ketemu di restoran. Tempat dia yang tentukan, restoran ternama yang berada sedikit di pinggiran kota.
Aku mematut diri di cermin. Memeriksa penampilan dalam celana hitam keemasan berbahan sintetis yang lentur dan ketat. Untuk atasan aku memakai kaos ketat tanpa lengan berwarna senada yang menonjolkan lekuk tubuh. Malam ini kulukis bintang warna biru keemasan di pipi kanan. Sengaja untuk menyamarkan bentuk wajah. Lipstik merah menyala dengan make up tebal. Sebelum pergi, menyambar jaket kulit hitam dan memakainya.
Di jam tujuh malam, harusnya tidak bertemu Andra di lift mau pun lobi. Akan susah menjelaskan jika dia melihatku berdandan menor dan provokatif.
Kadang mikir juga, kenapa aku harus peduli sama perasaannya? Memang dia baik, cute dan senyumnya menawan tetap saja, kami baru saling kenal. Aku tidak ingin melibatkan perasaan terhadap laki-laki, tidak baik untuk pekerjaanku.
Senjata malam ini, pistol yang kuselipkan di sepatu but. Dua buah pisau pendek di kaki. Mudah-mudahn dia bukan target sulit.
"Selamat malam, Neng Venus. Duuh, cantiknya." Seorang penjaga pintu apartemen menyapa sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Aku hanya melirik tanpa menjawab.
Kupacu motorku menembus jalanan padat. Motor hitam ber-cc besar bagaikan kuda yang melesat, meliuk-liuk di antaranya banyaknya kendaraan. Tidak sampai satu jam, aku tiba di restoran.
Aku melihatnya, laki-laki dalam penampilan paling jreng yang pernah kulihat. Kemeja kotak-kotak tabrak warna dengan celana merah. Rambutnya disisir rapi dan tentu saja, perhiasan emas bergayut di seluruh tubuhnya. Matanya bersinar saat melihatku datang.
"Cantikku, akhirnya kamu datang juga." Dia menyeringai, menampakkan giginya yang sedikit kuning.
Aku tersenyum, mengangguk pelan dan melepas jaket. Bisa kulihat matanya melotot dan menelan ludah saat melihat tubuhku tanpa jaket. Aku duduk di seberangnya, tidak lama pelayan datang membawakan buku menu.
"Pesan apa saja yang kamu mau, Cantikku. Abang yang traktir," ucapnya dengan nada sombong.
Aku memesan jus dan olah ayam keju. Sambil menunggu pesanan datang, kutatap wajah laki-laki di depanku.
"Apa kabar, Pak Alek?"
"Aaah, jangan panggil, Pak. Panggil saja, Abang," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Aku menatapnya, secara sengaja mengibaskan rambut ke belakang dengan jari menyusuri leher. Bisa kulihat, matanya makin melotot.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Larasati, Bang."
"Nama yang bagus, Abang suka."
Percakapan kami terputus saat pelayan datang mengantarkan makanan. Aku harus menahan diri saat kurasakan kakinya menjulur untuk mengelus tulang kakiku. Menggelikan. Aku berharap dia tidak merasakan pisau yang terselip di betis.
"Setelah ini kita nonton ya, Dik."
"Kemana?"
"Bioskop yang tak jauh dari sini, ada tayangan mid night. Kamu naik apa kemari?"
"Motor."
"Tinggalkan saja, biar anak buahku nanti yang mengurus."
Aku mengangguk, sambil menyesap jus memperhatikan suasana restoran yang ramai oleh anak muda. Alek makan steak dengan lahap. Setelah dia menghabiskan makanan, kami pergi menuju mobilnya. Sempat kulihat dia mendelik marah pada beberapa anak muda yang memandangku.
"Apa lihat-lihat, mau dihajar!"
Sungguh laki-laki posesif. Aku tersenyum sambil mengelus punggungnya dan berakhir di pinggangnya yang bersabuk. Dia tersenyum mesum melihat tindakanku.
Mobilnya berwarna hitam mengkilat. Mobil besar dan mewah. Dia membuka pintu tengah dan memintaku duduk di sebelahnya. Sementara ada seorang sopir dan entah siapa lagi ada di bagian depan. Ehm ... mencurigakan.
"Kita mau kemana?" tanyaku sesaat setelah masuk mobil.
"Ke bioskop, Cinta."
"Lalu kenapa mereka ikut?" tunjukku pada dua orang di depanku.
"Mereka anak buahku, wajar kalau ikut."
Mobil mulai dinyalakan.
"Aku tidak ikut, mau turun," ucapku sambil membuka pintu.
"Ayolah, jangan begitu."
"Buka pintu, turunkan aku!"
Lelaki di sampingku meringis.
"Jalan!" ucapnya pada sopir.
Dia merenggut rambutku sebelum berbisik, "Kau pikir bisa lolos, Elektra? Aku tahu ini kamu dari pertama melihatmu di bioskop," ucapannya membuatku tersentak kecil.
Aku bertindak cepat, menepiskan tangannya. Mencabut pisau dan berusaha menusuknya. Mobil mulai jalan. Aku condong ke depan dan menggores leher sopir, membuatnya teriak kesakitan dan mobil oleng menabrak pohon.
"Jalang! Sang Tuanmu tentu terlalu meremehkanku karena mengirim seorang wanita untuk membunuhku."
Detik berikutnya aku merunduk saat dia mengacungkan pistol. Satu tembakan melesat, kulempar pisau mengenai tangannya dan pistol terlepas.
Satu laki-laki di depanku meraih rambut dan membenturkan kepalaku ke dinding mobil. Sial! Tanganku meraihnya dan menusuk bahu dengan pisau, kena tapi tidak cukup dalam. Sementara Alek sibuk mencari pistol yang terlepas. Kuangkat tubuhku dan memukul sekuat tenaga kepala musuhku. Dia oleng, kujambak rambutnya dan sekali lagi menusuk bahunya. Jeritan kesakitan menghentikan perlawanannya. Saat tersadar, pintu mobil terbuka dan Alek kabur.
"Habisi gadis itu!" teriaknya sebelum pergi ke arah parkiran mobil.
Saat turun, sudah ada empat orang menghadangku. Masing-masing dengan senjata tajam di tangan.
"Lawan kita ternyata gadis cantik," ucap salah seorang dari mereka.
Aku pasang kuda-kuda.
"Waah, sayang sekali dia harus mati. Molek begitu."
Sambil tertawa mesum mereka bersamaan menyerang. Aku menunduk, menghindari sabetan parang dan berkelit ke kiri saat tebasan clurit mengejar. Merunduk, aku menyusup di antara mereka dan menancapkan pisau di salah satu kaki.
Terdengar jeritan kesakitan, aku berguling di tanah saat sebuah tendangan mengenai tubuhku., bangkit berdiri kusambar parang milik laki-laki yang kutusuk. Kutangkis satu sabetan dan mengarahkan parang ke perut mereka. Satu lagi tersungkur oleh parangku. Sisa dua yang gerakannya makin marah dan membabi buta. Dengan tangan kanan memegang parang dan kiri berpisau, kusabet mereka. Kaki, pinggul, perut dan orang terakhir tersungkur dengan parang menancap di bahu.
Sial! Mereka membuatku kehilangan jejak Alek. Aku berlari menuju parkiran motor. Mengabaikan pandangan orang-orang padaku. Membuka jok motor dan mengeluarkan handphone. Menyalakannya dan membuka GPS. Untunglah, aku sempat menyematkan alat pelacak di bajunya. Terpampang di layarku, dia bergerak menuju luar kota. Kuletakkan handphone di dasbor motor. memakai helm dan menstarter, memacu kencang menuju jalan raya.
Jalan raya tidak terlalu padat, terlebih yang menuju luar kota. Dari layar kulihat, mobilnya melesat dengan kecepatan sedang. Sekarang bahkan berhenti. Mungkin kena lampu merah. Jarak kami tidak lebih dari dua kilo sekarang. Kupacu motorku lebih kencang, menerobos lampu kuning dan membuat pengendara lain tertinggal di belakang.
Mobil Alex mendekati pintu tol. Sial! Sekarang terlihat jelas di mana posisinya karena berjarak satu kilo dari posisiku terpampang plang jalan tol.
Dengan sigap, aku meliuk di antara kendaraan yang sedang antri di pintu tol. Pasti akan ada yang menegurku jika tidak cepat. GPS menyala saat sebuah mobil putih berhenti tepat di depan plang masuk. Kaca terbuka, tangan bergelang emas menempelkan kartu pada alat pembayaran. Plang terbuka, mobil putih melaju di bawahnya dengan aku merengsek maju di sampingnya.
"Woii, motor dilarang masuk jalan tol!" Kudengar teriakan para petugas pintu tol.
Aku tak mengindahkannya. Segera setelah melewati plang, kuarahkan pistolku padanya.
Wajah Alex memucat dari balik kaca mobil yang setengah terbuka. Dua tembakan cepat menembus kepalanya dan membuat darah memercik. Mobil oleng dan menabrak mobil di sampingnya. Aku terus melaju ke tanjakan, berhenti tepat di ujung paling tinggi. Memutar balik motor dan memacu turun menembus keramian, keributan dan tidak memedulikan petuga keamanan yang berusaha menghentikanku.
"Tangkap dia!"
"Pembunuh!"
"Panggil ambulan!"
Motorku melaju melewati jalan kecil di samping gardu tol, melawan arah dengan mobil yang berderet antri dan akhirnya tiba di jalan raya. Nyaris saja sebuah bus besar menabrakku jika aku oleng sedikit saja. Aku melirik pintu tol yang macet, sebelum melaju kencang menembus jalan raya.
Tugas hari ini selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro