Bab.6
Mata kami saling berpandangan dengan menilai. Aku melirik kakinya yang menggeser terbuka, kipas yang dia kembangkan di atas kepala dan ada serangkain jarum di tangan kirinya. Ini akan menjadi pertarungan yang tidak mudah. Jika tak salah lihat dia memakai semacam bakiak ala jepang dengan kimono merah berhias bunga-bunga. Penampilan yang cantik dan menipu. Bibir tipis yang dioles lipstik dengan warna merah menyala terlihat melengkung seperti meremehkan.
Kugenggam tongkat di tangan dan mulai bergerak saat kudengar dia berteriak.
"Mati kau!"
Aku merunduk saat kipasnya melayang dan hampir menebas leherku. Kuayunkan tongkat untuk menghalau jarum yang dia terbangkan. Satu jarum lolos dan mengenai gaun yang kupakai dan membuat lobang seperti terbakar di sana. Rasanya seperti diserang puluhan serangga saat jarum melintas di sekitar kepala dan badan.
Sial!
Bisa mati konyol jika tidak bertindak cepat. Kuayunkan tongkat dengan gerakan memutar, aku menerjangnya saat kulihat dia hendak mengeluarkan jarum yang lain. Tidak memberinya kesempatan untuk mengelak tongkatku menebas leher, kaki dan menghentikan perlawanannya saat menghantam bahunya dengan keras.
Dia terdorong ke belakang, sambil memegang bahunya. Terlihat meringis menahan sakit. Seorang laki-laki datang entah dari mana dan memberikan dua pedang pendek padanya. Wanita bertato kini menyeringai padaku. Oh, hebat.
"Mari, kita lanjutkan main-mainnya gadis kecil."
"Silahkan, Nenek tua."
Dengan bengis dia menyerangku bersenjatakan dua pedang yang bergerak cepat berirama. Salah satu pedang nyaris menembus perutku jika sedikit saja aku terlambat mengelak. Kuputar-putar tongkat di tangan, kami berteriak bersamaan saling menyerang. Tidak memberinya kesempatan aku menghajar kakinya dan membuatnya terjungkal. Belum sempat dia berdiri, kuhantam bahunya dengan tongkat. Dia menjerit, kupukul sekali lagi ke arah pinggang dan membuatnya pingsan seketika. Darah merembes keluar dari sela bibirnya.
Kulemparkan tongkat ke samping dan mengambil dua pedak pendek yang semula miliknya. Dari luar kudengar suara pertarungan masih terdengar. Sekilas terlihat banyak tubuh yang dilemparkan masuk. Itu pasti ulah Kingkong.
Aku berlari menyusuri lorong dan dihadang oleh sepasang laki-laki kembar yang menatapku beringas. Penampilan mereka berdua terlihat modis dengan jaket kulit hitam berwarna serupa, bahkan rambutnya pun sama-sama dicat pirang.
"Kakak, ada cewek di depan kita," ucap laki-laki bersenjata bumerang.
"Kita akan bersenang-senang dengannya." Kali ini laki-laki yang dipanggil kakak yang berdiri pongah bersenjata tombak yang bicara.
Aku tersenyum dan menjawa perkataan mereka. "Kenapa kalian tidak menyingkir dan membiarkan aku masuk?"
Bunyi tombak diputar dengan cepat dan laki-laki yang memegangnya tertawa keras. "Langkahi mayat kami dulu, gadis kecil."
Bumerang melayang di atas kepala, aku merunduk dan mengayunkan pedang berusaha menghalaunya tapi gagal. Kibasan tombak membuatku terdesak ke belakang. Aku memasng kuda-kuda dan mulai menyerang mereka berdua, suara senjata beradu mengerikan. Aku merasakan kulitku robek di pinggang saat tombak menyasarnya. Dua manusia yang sekarang menjadi musuhku bukan lawan yang enteng. Saat aku terdorong ke belakang, terdengar ucapan dari belakang.
"Elektra, tinggalkan mereka. Biar aku yang menghadapi."
Zeus datang bersama Tristan, berarti keadaan di luar sudah mereka kendalikan. Aku menganggguk dan tidak menunggu lama, berlari ke dalam bersama Tristan. Aku yakin, Zeus akan mampu menangani dua laki-laki kembar.
Kami berdiri bersisihan di ujung lorong. Ada dua jalan bercabang di depan kami. Sementara tidak terlihat satu orang pun di sini.
"Hati-hati, sepertinya ini jebakan," bisik Tristan padaku.
Belum sempat aku menjawab, dari depan muncul segerombolan orang memakai kimono putih dengan celana hitam. Mereka semua berambut cepak dan berbadan besar. Masing-masing memegang katana. Kuhitung ada kisaran sepuluh orang. Aku bertatapan dengan Tristan dan kulihat dia mengeluarkan senjatanya dari balik baju. Sebuah parang. Sementara musuh kami kini berlari menyerang dengan katana mereka.
Bunyi senjata beradu, sabetan pedang dan darah mengucur dari mana-mana saat aku dan Tristan berusaha menghabisi mereka. Kulihat lengan Tristan terluka dan aku sendiri nyaris kena tebas katana jika tidak sigap mengelak. Kuincar yang bertubuh paling tinggi di antara mereka. Aku berusaha mendekati dam melompat ke atas bahunya. Dia berteriak, kutarik rambut dan kugores lehernya dengan pedangku.
"Elektra, jalan terus. Biar mereka aku yang hadapi."
Dengan tubuh bersimbah darah aku mengangguk. Berlari meninggalkan Tristan melawan musuh yang tersisa. Langkahku terhenti di depan uala besar. Ada Tuan Kim berdiri tenang di depan anak buahnya yang tersisa. Dari tempatku berdiri, terlihat Tuan Kim terkejut melihat kedatanganku. Dia menyapaku dengan ramah.
"Selamat datang di gubuk kami, sungguh kedatangan kalian di luar dugaan."
Aku terdiam, tidak menjawab. Dia tersenyum kecil, nyaris ramah bahkan.
"Jika boleh tahu, siapa yang menyuruh kalian? Lima orang muda yang hebat. Belum pernah ada sebelumnya, orang berani mengacak-acak kediamanku."
Aku tersenyum simpul. "Tuan Kim, mari kita selesaikan ini secepatnya."
Senyum menghilang dari mulutnya. Tangannya terentang dan seorang anak buahnya memberikan senjata. Satu buah pedang panjang atau lebih menyerupai katana? Entahlah, karena yang pasti Tuan Kim bukan orang sembarangan.
"Harusnya kalian anak muda bisa memilih untuk mencari tahu siapa yang lebih menguntungkan sebelum berbuat," desis Tuan Kim sambil memasang kuda-kuda.
Kutekuk lutut dengan kaki kiri di depan, ke dua pedang pendek siap di di tangan. Mataku mengawasi gerakan kaki Tuan Kim.
"Kami terbiasa untuk tidak bertanya, yang utama adalah menjalankan tugas," jawabku sambil tersenyum.
"Jika begitu, kau datang mengantarkan nyawa anak muda. Sayang sekali, padahal kau cantik."
Senyum dari Tuan Kim menghilang, berganti dengan serangan cepat ke arahku. Gerakan pedangnya beda, lebih praktis, cepat dan akurat. Beberapa kali bisa kurasakan ujung pedangnya hampir mencungkil mataku. Dia melompat dan aku menyongsongnya, senjatanya bertemu dengan pedangku dan kami terjatuh karena benturan yang kuat. Kulihat Tuan Kim berdiri sempoyongan, aku pun sama. Napasku terasa sesak.
Kudengar langkah orang berlari datang, kutengok kebelakang ada Zeus, Tristan dan Lee datang bersamaan. Tubuh mereka bersimbah darah dan masing-masing memegang senjata.
"Jangan ada yang ikut campur," desisku pada teman-teman di belakang.
Mereka mundur selangkah yang artinya mengerti perintahku. Tuan Kim kembali menegakkan tubuh. Sekilas mengamati orang-orang di belakangku lalu kembali mata kami bertemu.
"Jika hari ini aku mati, setidaknya aku bahagia. Bisa melawan orang-orang hebat seperti kalian. Terutama kau, gadis kecil. Sayang sekali kita berseberangan, jika tidak? Tentu kan kujamu kau dengan secangkir teh melati yang panas."
Aku tersenyum, sedikit tersentuh dengan perkataannya tapi tersadar jika dia dalah tugas yang harus kuselesaikan.
"Mari, kita sudahi ini, Tuan Kim."
Pedang kami kembali bertemu, saling tebas, saling tusuk. Sebuah sabetan mengenai lengan telanjangku, darah mengucur dan terasa perih. Kehela napas panjang sebelum kembali menyerang, kaki menekel kakinya. Saat dia goyah, aku meloncat tinggi, membebat dengan tangan kiri dan menusuk dengan pedang di tangan kanan. Tidak lama kulihat pedang terjatuh dari tangannya, pedangku menusuk tepat di dada.
Anak buahnya berteriak histeris dan menyerang bersamaan, aku bergeming. Ada teman-temanku yang menghadapi mereka. Mataku tetap mengawasi Tuan Kim yang kini ambruk ke tanah. Sesaat seperti ada senyum terkembang di mulutnya sebelum dia hilang kesadaran atau mungkin mati. Aku tidak tahu.
Mudah saja membereskan sisanya, kami menggotong tubuh Tuan Kim dan membawanya pergi dengan truk milik Kingkong. Pesta berubah jadi tempat bertaruh nyawa.
Aku turun di gudang sedangkan teman-temanku yang lain membawa Tuan Kim bertemu paman. Sejenak, masih terbayang senyum dari wajah tua yang menjadi musuhku. Hatiku tergetar tapi secepat itu pula kutepiskan. Aku, Elektra. Tidak boleh terbawa perasaan. Dengan membawa senjata yang semula milik Tuan Kim, aku melaju pulang dengan mobilku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro