Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.13 (ending)


Aku tidak tahu apa ini memang waktu yang tepat untuk menyerah pada kematian. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang penuh orang. Gonzales berdiri pongah memegang pistol dengan Zeus di sebelahnya.

Sebuah pemandangan membuatku tercekat. Kingkong berada dalam tahanan mereka. Terduduk di lantai dengan wajah bersimbah darah. Kemana, Tristan? Aku tidak menemukannya di dalam ruangan ini. Semoga saja dia selamat.

"Kamu wanita hebat, Jeny. Atau sekarang aku menyebutmu, Elektra? Anak buah dari Sang Tuan yang tidak diketahui siapa nama aslinya. Seorang diri berani mengacak-acak tempatky." Suara Gonzales terdengar nyaring di seantero ruangan.

Dia maju dua langkah dan mengacungkan senjatanya padaku. Sebelum aku sempat bergerak, sebuah letusan terdengar dan sesuatu yang panas menyerempet betis. Seketika aku terduduk, kesakitan melanda kaki hingga paha dan darah menetes dari luka sambaran peluru.

"Gonzales, tahan." Terdengar ucapan Zeus perlahan.

"Hahaha ... aku tahan Brother. Memang tidak asyik membunuh dia seperti ini." Aku mendongak saat Gonzales bersiul.

Datang mendekat dua laki-laki berbadan kerempeng dengan tato menutupi tubuh. Keduanya memegang besi runcing.

"Elektra, aku memberimu satu kesempatan untuk keluar dari sini, jika bisa melewati dua jagoan kembarku!"

Aku bangkit, berdiri dengan menahan perih. Mataku mengawasi si kembar yang memandang beringas.

"Apa kata-katamu bisa kupercaya?"

Pertanyaanku dijawab oleh gelak tawa dari Gonzales. Pria berwajah bule itu melangkah mendekat dan menatap wajahku lekat-lekat. Seluas senyum tersungging di bibirnya. "Iya, kamu bisa pegang janjimu. Keluar dari sini tanpa halangan apa pun asal bisa mengalahkan jagoanku."

Gonzales kembali ke tempatnya berdiri. Mengangguk samar pada dua laki-laki bertato yang kini melangkah mendekat. Kuambil dua pisau dari dalam sepatu but dan mengacungkan di depan dada.

Secepat kilat, serangan datang dari mereka. Bersenjatakan besi runcing mereka menusuk, menekel dan berusaha menggebuk. Aku berkelit, satu tangan menangkis besi dengan pisau dan tangan lainnya berusaha menyabet perut lawan. Satu pukulan berhasil membuatku terhuyung. Bahuky terasa nyeri.

"Ayo, menyerah saja gadis manis. Dan kita bisa bersenang-senang dari pada harus merobek kulitmu yang mulus." Salah seorang dari mereka berkata dengan nada sombong.

Kuputar dua pisau di tangan. Dengan satu lompatan, aku menerjang dan naik ke salah satu pinggang dari si kembar. Secepat kilat kutusuk kugorok lehernya dengan pisau. Darah menyembur dan membahasi tangan. Aku meloncat turun dan menepis satu sabetan yang diarahkan ke leherku. Aku menunduk, menekel kaki si penyerang di pisau. Meleset! Kali ini sasaranku adalah perut dan satu sabetan berhasil membuat perut muruhku terburai.

Aku terengah bersimbah darah dengan si kembar tergeletak di lantai. Gonzales menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Tepati janjimu, Gonzales," desisku penuh kebencian.

"Tentu saja, manis. Aku menepati janjimu." Dia menelengkan kepala, seolah memberi tanda pada anak buahnya di belakang. Aku tahu dia akan mengingkarinya.

Saat dia mengacungkan senapan ke arahku, sebuah bom molotov dilempar masuk ke dalam ruangan dan tak lama terdengar ledakan memekkan telinga.

"Tuan, di mana Anda?" terdengar teriakan panik di antara asap.

Aku menepuk telinga dan mengucek mata untuk menjernihkan pandangan. Dari tempatku teerngkurap, kulihat Gonzales merangkak. Ada luka-luka di wajahnya. Saat aku hendak bangkit untuk menyerangnya. Zeus bergerak lebih dulu. Tangannya terulur untuk mengambil pistol yang tergeletak di atas lantai dan dua tembakan dia arahkan ke kepala Gonzales.

Hiruk-pikuk terdengar, dari kaca jendela yang pecah, meluncur masuk Tristan dan menembaki siapa saja yang terlihat oleh mata.

Aku merangkak di antara asap bom dan demi menghindari peluru Tristan yang bisa saja menyasar tubuh. Mataku berusaha mencari sesosok tubuh dan akhirnya kutemukan.

"Kingkong, bangun. Ayo, buruan! Ngapaian tidur di sini?" Kutepuk-tepuk wajah Kingkong untuk membuatnya tersadar.

Asap menghilang, tak lama terdengar teriakan perkelahian. Zeus melawan tiga orang sekaligus dan Tristan menghadapi mereka yang tersisa.

Tidak lama aku terpelanting, saat sebuah tendangan mendarat di pinggangku. Aku berguling menghindari satu injakan kuat, meraih pecahan kaca yang tergeletak tak jauh dariku. Dengan satu terjangan kuat, kutancapkan kaca pada wajah penyerangku. Sementara satu orang lainnya terjatuh oleh pukulan. Kingkong sudah sadar dari pingsannya.

"Elektra, ayo. Kita ke lantai atas. Anak-anak ada di sana." Aku mengangguk, melangkah menghindari pukulan dan terjangan, menyusul Kingkong. Kuraih dua buah senjata laras panjang entah milik siapa yang tegeletak di lantai dan memberikan salah satunya pada Kingkong.

Zeus dan Tristan berusaha melindungi langkah kami. Entah dari mana datangnya, penyerang makin lama makin banyak. Bahkan setelah Gonzales mati.

Aku dan Kingkong setengah berlari menaiki tangga. Kami membuka satu per satu pintu yang tertutup hingga di sebuah pintu bercat merah, kami menemukan belasan anak laki-laki dan perempuan berdiri dengan tubuh menggigil.

"Ayo, semua. Kita keluar dari sini. Jangan takut." Aku menggiring mereka. Setengah memaksa mendorong tubuh-tubuh kecil yang gemetar hingga tak mau bergerak karena takut.

Kingkong melangkah di depan kami. Mengacungkan senjata laras panjang.

"Bagaiman caranya menurunkan mereka tanpa melewati pertempuran?" bisik Kingkong kebingungan.

Aku menatap jendela dan melongok keluar. Mata bergerak kesekeliling ruangan dan akhirnya menemukan jemuran dari tali tambang.

"Kita akan menurunkan mereka dengan ini," ucapku sambil berusaha mengurai jemuran.

"Kamu gila! Bagaimana kalau mereka terjatuh?"

Aku mengedikkan bahu. "Kalau gitu aku akan menggendong mereka. Kamu berjaga di sini."

"Shit!" Kingkong mengumpat. Tapi bergerak cepat untuk membantuku.

Akhirnya kami mendapatkan dua tali tambang yang kokoh. Dengan penuh perjuangan, aku dan Kingkong bolak balik menurunkan anak-anak. Tangan kami tergores dan tubuh kehilangan banyak tenaga tapi setidaknya anak-anak itu selamat.

Kami giring mereka melewati halaman dan menuju jalan belakang. Terjadi perkelahian antara dua orang yang memergoki kami dengan Kingkong. Sementara aku terus melangkah dengan senjata di tangan.

Alat komunikasiku rusak. Beberapa anak mulai menangis. Seorang anak bertubuh kecil bahkan tidak mau berjalan. Dengan kesabaran yang nyaris menipis, kugendong dia dan memaksa anak lain untuk tetap bergerak melewati alang-alang. Di jalanan yang sepi, kuarahkan senjata ke langit dan menarik pelatuk sebanyak dua kali.

Menunggu beberapa saat, sebuah mobil meluncur datang entah dari mana dan berhenti tepat di depan kami. Ada Lee di belakang kemudi. Kubuka pintu mobil dan menjejalkan anak-naka ke dalamnya. Setelahnya menutup pintu dan menggebrak perlahan. Lee pun melaju kencang meninggalkan aku.

Masih ada tugas yang belum kuselesaikan. Saat aku kembali ke tempat semula, kulihat Kingkong kini menghadapi lima pengeroyok Kutarik pelatuk dan menembak mereka satu per satu.

Tak lama, ledakan terdengar kembali dari lantai atas. Kali ini lebih dasyat karena tanah pun ikut bergetar. Para penghuni berhamburan keluar. Beberapa di antaranya wanita dan anak-anak. Aku memberi tanda pada mereka untuk menunduk. Terlalu sibuk untuk memperhatikan situasi hingga sebuah peluru panas menghantam dadaku. Rasa sakit menguasaiku dan aku ambruk ke tanah. Menatap nanar pada para wanita dan anak-anak yang ketakutan sebelum kelumpuhan menguasaiku. Andra adalah nama terakhir yang kusebut sebelum aku jatuh dalam kegelapan.

****

Sebuah mimpi panjang, tentang tawa dan air mata masuk ke dalam tidurku. Aku melihat bayangan saat kecil di mana paman menolongku. Saat itu, aku baru saja membunuh laki-laki tua yang hendak memperkosaku.

Mimpi berlanjut pada tawa ceria saat aku remaja dengan anggota kelompok lima lainnya. Kami sepertinya sedang berpesta ikan bakar.

Tak lama terdengar teriakan sama-samar, namaku disebut dari kejauhan. Saat aku membuka mata, kulihat paman berdiri di sampingku.

"Jangan bergerak, Elektra. Kamu terluka," ucap sang paman saat melihatku menggeliat.

"Kamu pingsan selama beberapa jam sampai akhirnya peluru yang nyaris menembus jantungmu bisa dikeluarkan tim dokter."

Aku mengerjapkan mata. Berusaha melihat sekeliling dan mendapati ada Kingkong, Lee dan Zeus. Rupanya, anggota timku selamat meski dengan badan penuh perban. Tunggu, ada satu orang yang belum terlihat.

"Kita kehilangan, Tristan," ucap Paman dengan kesedihan tersirat.

Tanpa terasa, air mataku menetes. Setelah kebersamaan kami selama ini, akhirnya aku harus kehilangan salah satu di antara mereka. Kami yang dididik untuk menjadi petarung dan pembunuh, dipersiapkan untuk menghadapi yang terburuk sekali pun. Pada akhirnya, harus merelakan salah satu di antara kami pergi lebih dulu.

Tanpa menunggu benar-benar sembuh, aku bersikeras keluar dari rumah sakit. Sang paman memberi kami libur panjang.

"Kalian berliburlah, hingga batas waktu yang tak ditentukan. Kami sedang berusaha membereskan sisa-sisa kekacauan dan melatih anggota lima junior. Aku dan Sang Tuan akan menghubungi kalian, jika keadaan mendesak."

Entah kemana perginya Zeus, Kingkong dan Lee. Mereka hanya berpamitan sejenak sebelum akhirnya menghilang. Masih dengan perban di dada dan kaki, aku pulang ke apartemenku.

Keadaannya masih sama, saat aku turun dari mobil yang kuparkir di halaman. Lampu-lampu sudah dinyalakan pada malam yang gelap. Hujan turun rintik-rintik, mengingatkanku pada suasana saat aku berpamitan dengan Andra. Beberapa bulan telah berlalu, entah bagaimana kabarnya. Dingin menyergap saat aku tertatih menyeberangi halaman menuju pintu lobi.

"Venus."

Sebuah teguran menghentikan langkahku. Saat aku menoleh, sesosok tubuh dari samping pilar apartemen meraihku dalam pelukan. Hidungku mencium aroma maskulin dari tubuh Andra.

"Kamu kembali Venus. Syukurlah, kamu kembali." Suara Andra bergetar di atas kepalaku.

Aku mendongak dan kami bertatapan. Tangannya membelai rambutku. "Apa yang terjadi denganmu? Kenapa pulang luka-luka begini?" tanyanya kuatir.

Aku tersenyum. "Ada kecelakaan tapi aku nggak apa-apa."

Tangannya menyusuri wajah dan rambutku. Mendadak suatu keinginan kuat menyergap dari dada.

"Cium aku," ucapku parau.

Bisa kulihat mata Andra membulat mendengar permintaanku. Setelahnya sebuah bibir yang dingin menyentuh bibirku. Kami bermesraan entah untuk berapa lama sampai akhirnya Andra mengerang.

"Aku merindukanmu, Venus. Hingga nyaris mati rasanya. Pernahkan kukatakan jika aku mencintaimu?"

Ucapannya membuat hatiku tergetar. Kutangkup wajahnya dengan dua tangan dan berbisik perlahan. "Maukah kamu menikahiku? Dan kita pergi sejauh mungkin dari sini. Hidup berdua hanya kamu dan aku?"

Sesaat dia terdiam, matanya membulat. Sepertinya dia tak percaya dengan ajakku. Lalu tak lama kemudian, senyum terkembang di bibirnya.

"Kita memang belum lama kenal, Venus. Tapi siapa yang peduli dengan waktu jika jiwa kita saling menemukan. Aku cinta padamu, mari kita menua bersama."

Di bawah rintik hujan kami saling berjanji. Entah untuk berapa lama aku tak tahu. Saat bersama Andra, aku ingin menjadi Venus yang sesungguhnya dan melepaskan nama Elektra.

Aku Elektra dan ini kisahku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro