Bab. 12
Pukul satu dini hari, kami diturunkan oleh Lee di sebuah bukit kecil. Kegelapan menyelimuti udara. Tidak ada suara apa pun yang terdengar kecuali desau angin menerpa daun. Sepeninggal mobil yang mengangkut aku, Tristan dan Kingkong. Kami melangkah perlahan menyusuri jalan setapak lalu berhenti tepat di kelokan.
"Kalian lihat gedung di sana?" Tristan menunjuk salah satu bangunan yang terlihat menjulang di tengah bukit.
"Bukankah itu rusun?" tanyaku tidak yakin.
"Iya, itu rusun dan dikeliling pagar berduri. Elektra, kamu masuk dari belakang. Aku dari samping dan Kingkong--."
"Dari depan tentu saja," sela Kingkong dengan suaranya yang dalam.
Tristan menggangguk dalam kegelapan. Akhirnya kami memutuskan untuk berpencar. Kukencangkan lagi sarung tangan, memastikan dua pedang panjang di punggungku tersimpan rapi. Ada beberapa jenis senjata yang kubawa malam ini, selain pisau pendek, ada dua buah pistol yang kuselipkan di paha dan tentu saja bintang beracun yang efektif melumpuhkan lawan. Malam ini setelan hitam elastis dengan sepatu but menjadi pilihanku. Setelah memakai kacamata yang khusus dipakai dalam gelap, aku berlari menuruni bukit menuju rusun di depanku.
Pintu pagar belakang hanya dijaga dua orang. Dari tempat dudukku di balik tanaman perdu yang berada tepat di seberang mereka, kulihat keduanya sedang berdiri sambil mengobrol seru. Suara tawa terdengar samar-samar.
"Samping clear!" Suara Tristan terdengar dari headset. Kami semua terhubung satu sama lain dengan Lee sebagai operatornya.
Aku berdiri, menghitung sampai tiga dan berlari mendekati penjaga. Kulemparkan dua bintang beracun tepat mengenai leher dan dada mereka.
"Si-siapa, kau." Salah seorang dari mereka sempoyongan memegang dada dan berusaha mencabut pistol. Kudekati dan menghujam dengan pisau pendek. Sedangkan salah seorang lainnya sudah ambruk lebih dulu.
Setelah memastikan keduanya tak bergerak, aku mendorong pintu. Sebuah gedung tua atau lebih tepatnya rusun terlihat mentereng tapi juga menakutkan. Aneh, tidak ada orang berlalu-lalang di halaman belakang.
"Lee, bisa pantau di halaman belakang? Tidak ada orang di sini." Aku berbicara dengan Lee dari pelantang kecil di krah baju.
Tidak lama terdengar suara Lee menjawab. "Aman Elektra, tidak ada manusia. Masuk dari sisi kanan, ada celah dari sana dari pada melewati gerbang belakang."
Mengabaikan perasaan aneh karena gedung sebesar ini tidak ada satu pun penjaga yang mondar-mandir, aku melangkah melintasi halaman dan mencongkel gerbang belakang. Lagi-lagi tanpa penjagaan sewaktu kubuka gerbang dari besi dengan mudah.
Aku berdiri menghadap lorong panjang dan sepi. Ada ruko yang sudah tutup di sisi kanan dan kiri.Menurut informasi yang kuterima, tempat anak-anak disekap ada di lantai tiga. Entah kejahatan apa lagi yang disembunyikan Gonzales di sini, aku tidak tahu. Melangkah perlahan, kuamati keadaan di sekitar. Terlalu sepi.
Setelah melewati lima ruko, langkahku terhenti. Mendadak terdengar suara derap kaki. Bukan hanya sepasang tapi banyak sekali. Berikutnya suara besi beradu dengan lantai. Tidak lama muncul dari belokan ujung, belasan orang bersenjata tajam. Mereka melangkah cepat sekali menghampiriku. Kucabut dua pedang dari punggung dan bersiap.
"Bunuh, jalang ituh!" teriak seorang yang paling depan dengan parang di tangan.
Mereka berlari menerjang, kuayunkan pedang membabat kepala yang terdekat. Lalu kutekuk lutut untuk menyabet kaki. Kilatan parang melitas di sisi kepala sebelah kanan. Aku berkelit, menegakkan tubuh dan menusuk dua orang yang hendak menusukku dari samping. Darah berceceran dan teriakan kesakitan membelah malam saat kubantai mereka. Tersisa empat orang yang paling kuat gerakannya. Salah seorang berusaha memukulku dengan tongkat kasti, aku mengelak. Kusikut lehernya dan membuatnya terhuyung. Menggunakan kesempatan aku melompat ke atas punggungnya dan menebas leher dua orang yang sedang berusaha memenggal kepalaku. Tanpa perlawanan berarti, kuhabisi dua lagi termasuk si pembawa tongkat.
Aku berdiri di antara mayat bergelimpangan penuh darah. Kutarik napas panjang dan mulai melanjutkan langkah.
"Lee, sepertinya ini jebakan. Banyak orang yang sudah menunggu kami."
"Iya, Kingkong diserang di depan dan Tristan yang berada di lantai tiga pun mengalami hal yang sama. Cepat naik ke lantai dua, kepalang tanggung. Paman mengatakan, misi kali ini tidak akan ada bantuan."
Begitu rupanya, jadi ini misi bunuh diri?
"Lee, aku naik ke lantai dua."
Aku menaiki tangga yang berpenerangan remang-remang. Tidak ada orang yang menunggu. Kalau di lantai satu penuh dengan ruko maka di lantai dua ada banyak kedai makanan yang sudah tutup. Terdengar suara rentetan tembakan, aku tidak tahu dari mana asalnya. Kupercepat langkahku mencari tangga dan tiba di tengah ruangan, kudengar suara senapan dikokang.
Aku merunduk bersamaan dengan berondongan peluru.
"Woiii, jalang kurang ajar. Di mana lo!" Suara teriakan beradu dengan kerasnya senapan. Aku berada di balik meja bundar yang menggelinding lepas.
"Hahaha ... apa cuma segini nyali Elektra yang terkenal ganas?"
Sial! Mereka tahu identitasku rupanya.
"Ayo, Manis. Tunjukkan rupamu dan terimalah peluruku!"
Aku berguling di lantai saat peluru menerjang meja yang kugunakan sebagai pelindung. Kuraih pistol di sepatu but dan setengah menunduk kutembak orang terdekat. Satu tembakan yang mematikan. Tak lama berondongan peluru kembali menyasar tempatku, setengah menunduk aku mendekat dengan menggunakan papan meja yang lain sebagai tameng. Satu orang lain berhasil kulumpukan dan satu peluru berhasil menyasar pundakku. Tipis saja, hanya tidak cukup dalam melukai.
Sunyi ... peluru mereka habis dan tersisa satu orang yang menatapku bengis.
"Besar juga nyalimu cewek manis. Bagaimana kalau kita bergumul?" teriaknya sambil memamerkan senyum dengan deretan gigi kuning. Tangannya memegang patahan kayu.
Kutarik pelatuk, satu peluru menembus kepalanya. Aku memandangnya sejenak sebelum berlari ke arah tangga. Buat apa mengeluarkan tenaga jika menggunakan pistol bisa lebih cepat melumpuhkan.
"Lee, Tristan ada di mana?"
Aku menatap lorong sepi saat kudengar suara Lee menjawab. "Tidak terdeteksi. Elektra, hati-hati."
Sial!
Saat aku baru saja hendak beranjak, mendadak terdengar suara berdengung keras. Tak lama suara aneh bergaung di kesunyian malam.
"Selamat datang para tamu, ijinkan kami penghuni wisma Gonzales menjamu kalian. Bagaimana? Apa jamuan yang kami berikan tidak memuaskan?"
Ah, benar dugaanku. Gonzales tahu jika rumahnya diserbu.
Terdengar suara tertawa yang nyaring dari speaker gedung.
"Untuk para penghuniku tercinta, tentu kalian tidak suka jika rumah kalian diteror orang asing bukan? Karena itu, aku meminta kalian berjuang untuk mempertahakan rumah kalian ini. Ayo, semua! Berjuanglah!"
Tidak sampai sepuluh detik pengumuman berakhir, pintu-pintu dari deretan rumah menjeplak terbuka. Keluarlah para penghuni laki-laki dengan masing-masing memegang senjata. Sialnya, ada beberapa di antaranya membawa anak di bawah umur. Aku harus bertindak.
"Aku tidak akan melukai siapa pun di antara kalian, jika kalian semua masuk ke rumah, sekarang! Jangan ikut campur urusan kami karena aku hanya ingin membebaskan anak-anak kecil yang disekap Gonzales!" Aku berteriak berusaha memperingatkan.
Tidak ada jawaban dari perkataanku. Mereka tetap memandang bengis dengan senjata di tangan.
"Yang aku lakukan demi kebaikan." Aku beringsut mendekat, mencabut pisau pendek karena pedangku tertinggal di lantai dua. "Menyingkirlah kalian!"
Rupanya, tidak ada yang mendengarkan seruanku karena mereka tetap saja keluar dari rumah masing-masing demi menyerangku.
Bisa kulihat mereka hanya masyarakat biasa. Senjata yang digunakan adalah apa yang ditemukan di dapur. Suara tangis bayi bercampur dengan makian para ibu saat aku melumpuhkan para lelaki dan mengusir anak di bawah umur untuk masuk ke dalam rumah. Semua tergeletak di lantai tepat di depan pintu kamar mereka karena terkena sabetan pisau dan satu parang berpindah ke tanganku. Tidak ada perlawanan berarti dari mereka.
"Sudah kukatakan, aku datang untuk menolong dan kalian semua bebal!" makiku pelan dan meninggalkan mereka menuju lantai empat.
Tiba di anak tangga terakhir, sebuah suara yang maskulin menyambutku.
"Selamat datang, Elektra atau bukan? Ah, ya. Jeni yang cantik."
Aku berdiri di ujung tangga yang berhadapan langsung dengan aula yang besar. Ada Gonzales tersenyum pongah. Berdiri bersisihan dengan Zeus dan di belakang mereka ada sekitar lima puluh orang yang kesemuanya bersenjata.
Aku menatap mereka dan merasa terjebak tanpa tidak ada jalan pulang. Semua harus dihadapi. Mengembuskan napas panjang aku maju tiga langkah. Mendadak terbersit tentang Andra di ingatankku. Entah kenapa perasaan sedih muncul begitu saja saat mengingatnya. Sayang sekali jika ternyata kami tidak dapat bertemu lagi karena aku mati di sini.
Aku Elektra dan tidak akan menyerah begitu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro