Bab.11
Musik berdentum keras sekali ditimpa hingar bingar suara tawa. Kerasnya percakapan dan selubung asap rokok seperti mencekam udara. Aroma alkohol menyergap penciuman, bercampur dengan parfum para pengunjung. Para wanita berpakaian minim bersliweran di lantai dansa, para laki-laki hidung belang melirik mereka bak harimau mencari mangsa. Di antara semua keramaian, aku berdiri tertegun di pojok ruangan.
Aku menyapu pandangan perlahan ke seantero ruangan yang malam ini penuh sesak manusia. Klub malam 'Amore' terdiri atas dua lantai. Lantai satu dijejali pengunjung yang ingin menikmati minuman dan hiburan murah, sedangkan lantai atas untuk kalangan yang menyukai hal yang lebih mewah dan eklusif.
"Hai, cantiik. Yuuk, kita dansa." Suara laki-laki berkumis yang sepertinya setengah teler terdengar dari sampingku. Aku hanya melirik dan mengibaskan tangan.
"Ciih, sombong!" ucapnya sambil berlalu dengan sempoyongan.
Kubawa kakiku ke arah bartender. Ada banyak pengunjung sedang memesan minuman. Aku bersandar pada konter dan memesan minuman. Tristan dengan pakaian trendy berwarna hitam putih, mengocok minuman beralkhohol layaknya sang ahli.
Jam di tangan menunjukkan waktu pukul 23.30, waktunya untuk beraksi. Setelah membayar minuman yang tidak aku sentuh, melangkah cepat dan meliuk di antara tubuh yang bergoyang menuju pintu belakang.
Di dekat pintu kulihat ada sesosok penjaga berbadan besar memakai kaos tanpa lengan dan bersarung tangan hitam. Ehm ... Kingkong. Bersikap seakan tidak mengenalku.
"Mau kemana, Manis? Ini bukan jalan untuk keluar," seorang penjaga yang lebih kecil menghalangi jalanku.
Aku memasang wajah ceria. "Mau ke belakang Kakak, ingin ikut audisi penari."
"Begitukah? Cantik juga kamu." Tangannya nakal menggerayangi wajahku.
"Bro, Boss datang." Penjaga berkaos singlet menepuk pundaknya.
"Ah, sial! Malam ini pasti repot," gerutunya kesal. Lalu menunjuk padaku. "Buruan lewat sana!" Aku menyipitkan mata, melirik sebentar padanya sebelum melewati pintu kecil yang mengarah ke belakang klub. Ada halaman sempit tempat beberapa perempuan sedang berkumpul.
Aku membaur bersama mereka, tidak ada saling sapa atau basa-basi. Semuanya terdiam tak peduli di tempatnya. Beberapa di antaranya asyik merokok atau mengisap permen.
Pintu kecil di depan kami terbuka. Seorang laki-laki kecil bermata juling menatap kami sambil menyeringai.
"Ah, kalian semua sudah berkumpul. Ayo, masuk satu per satu."
Kami mengantri dengan posisiku paling belakang. Masuk melalui pintu kecil. Bisa kulihat tangan si juling mengelus siapa pun yang lewat di depannya. Satu jam kemudian tiba giliranku.
Tanganku menarik rok pendek di atas dengkul, dengan sepatu tinggi dua belas senti. Malam ini untuk atasan aku memakai kaos ketat melekat tubuh dengan rambut pirang panjang sebatas pinggang. Aku bergerak cepat melewati pintu saat gadis yang baru saja audisi keluar, tidak memberi kesempatan si juling mengelusku.
"Ah, si gadis nomor dua belas. Siapa namamu?"
Seorang laki-laki tampan, bertanya dengan suaranya yang dalam. Didengar dari logatnya dia bukan warga negara lokal. Kusapukan pandangan ke ruangan yang remang-remang. Hanya ada penerangan dari lampu kristal di langit-langit. Aroma alkohol menyengat.
"Jeni."
"Oke, Jeni. Berikan keahlianmu!" perintahnya sambil bertepuk tangan.
Aku melangkah ke atas panggung kecil yang sudah mereka persiapkan. Kulihat laki-laki tadi sedang duduk rapat dengan laki-laki tampan yang kukenali sebagai Zeus. Ehm ... cepat juga gerakannya. Belum dua minggu menyamar sudah menjadi teman Gonzales.
Musik mengalun menghentak, aku mulai meliukkan tubuh. Ada tiang besi di tengah panggung, kuangkat tubuhku ke sana, berayun dan naik ke pucuk tiang kembali ke bawah dengan posisi kepala di bawah. Semua kulakukan dengan tenang, ini adalah hal mudah. Jauh lebih mudah dari pada berendam di rawa-rawa selama dua hari untuk mengintai mangsa atau juga latihan keras selama dua bulan di hutan dengan makanan seadaanya. Ku liukkan tubuh dan melirik genit ke arah dua laki-laki di depannku. Musik berhenti, tepat saat aku bersalto turun dari tiang.
Terdengar tepuk tangan riuh. "Wow, Jeni. Kamu hebat sekali."
Kubungkukan badan memberi hormat dan mengatur napas.
"Sini, Sayang. Sama Abang sini."
Aku melangkah mendekati Gonzales dan Zeus. Keduanya menatapku dengan pandangan kurang ajar. Aku duduk menyilangkan kaki.
"Cantik, molek, dan sexy. Kapan kamu bisa mulai kerja?" tanya Gonzales sambil mengangsurkan minuman ke tanganku.
Aku menerima minuman yang dia berikan, menandaskan dalam sekali teguk. "Besok, aku siap."
"Baiklah, kutunggu aksimu cantik."
"Aku punya satu syarat sebelum bekerja."
Gonzales mengangkat sebelah alisnya. "Aku memberimu pekerjaan dan kamu berani memberiku syarat?" ucapnya dengan nada tidak suka.
Aku mengangkat bahu. "Semua demi pertunjukan."
Kilihat Gonzales memandang Zeus seakan untuk memintar pertimbangan, tidak lama dia kembali menatapku. "Baiklah, katakana padaku apa maumu."
"Aku ingin memakai topeng saat menari."
"Hahaha ... ternyata hanya itu. Baiklah, aku ijinkan. Mulai malam ini namamu Queen of Jeni."
Gonzales mencolek daguku, sengaja kukedipkan mata. Setelah berbasa-basi aku keluar. Untung saja tidak ada si juling di pintu.
Saat mencapai halaman belakang, suara orang berteriak menarik perhatianku. Kingkong sedang melemparkan seseorang keluar pintu klub. Kulihat orang itu merangkak minta ampun tapi Kingkong terus menghajarnya. Kutinggalkan mereka menuju gang belakang yang gelap. Melangkah santai di atas sepatu hak tinggi. Mulai besok aku akan menjadi Jeni. Bukan Elektra atau Venus.
Mengingat tentang Venus, membuatku merindukan Andra. Cowok manis dan baik hati yang seharusnya jatuh hati dengan cewek baik-baik juga. Bukan denganku yang berlumuran darah. Apakah dia akan tetap menyukaiku jika tahu diriku yang sebenarnya? Cepat kutepiskan pikiran tentang Andra sebelum meracuni hatiku. Saat sedang bekerja, tidak boleh terganggu urusan pribadi.
Di ujung gang kulihat sekelompok orang sedang menongkrong. Laki-laki semua sepertinya. Tidak ada jalan lain ke arah jalan raya, harus melewati mereka. Gang mulai sepi, hanya ada satu atau dua motor lewat. Dengan terpaksa aku melewati mereka.
"Hai, Manis. Mau kemana?"
"Ahai, sexynya diaaa."
Suara demi suara kurang ajar menggodaku. Aku acuhkan dan terus melangkah. Bisa kurasakan tangan mereka mulai kurang ajar meraba tubuhku. Kutekuk hingga patah salah satu tangan yang mencoba meraba dadaku. Kulihat dia kesakitan dan ambruk ke tanah.
"Aaah, sialan!" ucapnya dengan wajah meringis.
Teman-temannya mulai waspada. Berdiri dari tempat duduk mereka dan mulai mengelilingiku.
"Rupanya, kamu ingin dikerjai cewek binal."
Tak lama mereka menyerangku bersamaan. Kutendang kemaluan laki-laki terdekat lalu menekel kaki yang lain. Aku melompat ke pagar pendek dan menyapukan kaki ke kepala mereka. Terdengar teriakan kesakitan. Ujung sepatuku mengenai dengan ganas wajah siapa pun yang mencoba mendekat. Terakhir aku melompat dan menerjang laki-laki tanggung dengan pisau di tangan. Memukul, menendang dan mengamati mereka tergeletak. Aku melangkah cepat menuju jalan raya.
****
Setelah malam itu aku mulai bekerja. Memakai wig yang setiap hari berganti warna sesuai dengan baju, aku meliuk di tiang. Aku tidak menari tiap hari hanya khusus weekend. Banyak yang mengajakku kencan demi memuaskan fantasy mereka tapi aku menolak.
"Katakan padaku Jeni," ucap Gonzales suatu malam saat melihatku menari hampir tiga puluh menit dengan para laki-laki hidung belang meneteskan air liur saat melihatku. "Kenapa kamu menolak uang dari mereka yang sanggup membayarmu tinggi?"
Aku tersenyum, membuka topeng dan berkata padanya. "Aku memilih dengan siapa aku bermain, Gonzales."
Malam itu, demi menghindari kecurigaan. Lee yang menyamar sebagai pengunjung membeliku dengan harga tinggi melalui Gonzale. Aku melenggang keluar dan masuk ke dalam mobil Lee menunju tempat kami berkencan, warung tenda pinggir jalan. Mengobrol dan bernostalgia hingga pagi.
Selama menari aku membuka kuping lebar-lebar pada informasi yang kudapat mengenai Gonzales. Berusaha mengumpulkan info apa pun itu tentangnya dari tukang sapu, sesama penari mau pun para pegawai klub yang membuka mulut dengan senang hati saat aku bertanya. Diam-diam aku menggambar akses klub di kepalaku. Lantai atas ada sepuluh ruang VIP dengan kantor Gonzales berada di tengah. Lanjut dengan bilik-bilik murah di lantai bawah yang sepertinya untuk transaksi narkoba. Ada sekitar sepuluh kamera pengintai dan dua pintu kecil selain pintu depan sebagai akses keluar masuk klub. Gonzales memperkerjakan setidaknya dua puluh anggota keamanan untuk menjaga klubnya.
Di hari ke empat belas aku bekerja, Paman memberi kabar agar kami berkumpul. Bukan di gudang karena saat ini kami berada di kota lain yang jauh dari tempat tinggal kami, melainkan di apartemen yang alamatnya aku dapatkan dari kurir pengantar susu di hotel tempatku menginap. Selama dua minggu ini aku berpindah dari satu hotel ke hotel lain dan ajaibnya, Paman selalu bisa menemukan aku.
Saat mencapai apartemen, kulihat semua kelompok lima sudah berkumpul. Ada zeus yang terlihat tampan tak tercela seperti biasa, Kingkong yang lebih pendiam dari biasanya dan Tristan juga Lee yang akhir-akhir ini sering kutemui.
Sang Paman datang ke asistennya yang biasa. Berdiri di tengah ruangan lalu berkata keras. "Aku sudah mengumpulkan semua informasi, kini saatnya kalian melapor padaku."
Zeus maju dan mengangsurkan banyak foto. "Rumah nomor tiga milik Gonzales. Di dalamnya banyak anak di bawah umur diambil dari berbagai daerah. Disekap di sana untuk dijual pada klien kaya dengn kecenderungan sex menyimpang."
Dari ujung mataku kulihat rumah besar bercat hitam.
"Aku sudah menemukan jalur yang digunakan Gonzales untuk mendapatkan supply minuman keras ilagal. Ternyata ada seorang pejabat pemerintah yang terlibat." Kali ini Tristan memberi laporan. "Dengan imbalan gadis muda, uang dan narkoba tak terbatas."
Paman mengangguk.
"Aku berteman dengan beberapa orang yang menjadi klien tetap Gonzales dan mereka mengundangku ke privat party di mana hal yang memuakkan ada di sana. Dari mulai narkoba sampai sex bebas." Lee maju ke depan dan memberikan USB kecil pada pada Paman.
"Apa yang kau dapatkan Elektra?" tanya Paman padaku.
Aku tersenyum. "Rumah di mana para gadis disekap. Mereka dijanjikan dari para makelar untuk dipekerjakan sebagai pelayan restoran. Berusia kisaran 16 sampai 22 tahun. Ada sekitar dua puluh orang. Kamu tahu klien paling setia mereka, Paman? Sang Walikota."
"Jika tidak salah, Gonzales mencatat semua nama kliennya dan mendaftar penyimpangan dan kesalahan perilaku mereka. Saat membutuhkan bantuan, dia memeras mereka menggunakan bukti video atau apa pun itu." Zeus menimpali informasiku.
"Okee, lalu Kingkong?" tanya Paman pada Kingkong yang sedari tadi terdiam.
Terdengar suara seperti orang sedang flue dari Kingkong, matanya terlihat merah. Aneh, apa dia kurang tidur?
"Aku mendapatkan nama-nama pengedar narkoba. Gonzales banyak menggunakan para artis yang namanya mulai meredup untuk menjadi kaki tangannya." Suara Kingkong terdengar serak.
Saat itu pula, Paman merengsek maju dan memepet tubuh Kingkong ke tembok dan berteriak keras.
"Kamu memakai barang haram itu, Kingkong! Jawab!"
Kulihat Kingkong berusaha mengelak dari pitingan Paman tapi tidak bisa. "Hanya sedikit, Paman. Untuk penyamaran," ucapnya pelan.
"Kamu gila! Bukankah selalu kukatakan tidak boleh ada satu pun di antara kalian terlibat dengan barang haram itu!"
Bentakan Pam membuat Kingkong menunduk. Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri barang.
"Sang Tuan tidak adan senang jika kalian terlibat sesuatu dan tidak bisa diandalkan."
"Aku masih bisa diandalkan, Paman!" tukas Kingkong.
Paman menoleh padanya lalu menatap kami satu per satu. "Aku sedang mengatur jadwal untuk menyerbu tempat penampungan anak-anak. Dan kau Kingkong!" tunjuknya pada anggota termuda kami. "Selesai dari tugas Gonzales ini, kau harus ikut rehabilitasi. Jika tidak bisa membersihkan dirimu. Kamu tahu apa konsekuensinya."
Dengan wajah mengeras Paman meninggalkan kami. Kulihat Kingkong merosot ke lantai dengan wajah terpukul. Saat begitu bisa kulihat jika umurnya masih muda meski badannya besar sekali. Aku memandang pintu di mana Paman menghilang. Mempersiapkan diri untuk tugas selanjutnya sebagai Elektra.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro