Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44

by sirhayani

part of zhkansas

...

Kak Lio benar-benar mengetahuinya meski tak mengatakan dengan gamblang apa yang dia ketahui.

Dan Kak Lio tentu saja tidak akan meninggalkanku, tetapi ... bagaimana jika aku hamil? Apakah aku tidak boleh membunuh janin yag mungkin saja akan hidup di dalam rahimku?

Itu yang aku pikirkan sejak awal.

Rasa takut yang lebih besar dari kekejian yang telah aku dapatkan, yaitu nyawa baru yang tak kuinginkan.

Setelah memakan sesendok nasi dan kembali ke kamarku, aku hanya berbaring di tempat tidur dan melamun. Kupejamkan mata dan kuhela napasku dengan panjang. Aku tahu apa yang akan Kak Lio lakukan. Sudah berhari-hari sejak terakhir kali Kak Lio datang. Aku merasa waktu berjalan terlalu lambat.

Entah apa yang terjadi di luar sana. Duniaku bergerak di situ saja. Apa yang terjadi di sekolah, apa yang dilakukan Mama, apa yang dilakukan Kak Lio, semuanya itu tak aku ketahui. Hanya satu hal yang menjelaskan semuanya, yaitu banyak hal yang terjadi karena aku yang tiba-tiba tak memunculkan diri.

Aku bangun dan duduk. Kutatap tubuhku di cermin lemari. Kurus, wajah pucat, rambut tak pernah disisir. Aku menoleh ke arah pintu kamar saat mendengar suara yang berasal dari luar, lalu ketukan pelan terdengar ragu-ragu.

"Dara...?"

Itu suara Reva. Kenapa dia muncul?

"Ini gue Reva. Ada Tiffany juga." Jeda sesaat dari ucapannya. "Ara juga ikut. Cuma kami bertiga."

Kata cuma itu terdengar seperti dia meyakinkanku bahwa tidak ada orang lain yang perlu aku khawatirkan. Alula.... Sepertinya, sesuatu telah terjadi di sekolah.

"Dar, please....?"

Tiffany terdengar memohon.

"Masuk. Nggak dikunci," kataku dengan suara yang berusaha aku keraskan.

Gagang pintu kamar itu bergerak turun. Pintu perlahan-lahan terbuka. Reva dan Tiffany melangkah dengan pelan sembari menatapku dengan sorot sedih. Kulirik Ara yang masih bergeming di depan kamarku. Dia tak melangkah sedikit pun.

"Lo nggak masuk?" Reva menoleh pada Ara.

Ara menggeleng pelan. "Kalian berdua aja dulu. Gue ... nanti. Gue perlu ngobrol berdua doang bareng Dara." Setelah mengatakan kalimatnya, Ara menarik pintu dan membiarkanku, Reva, dan Tiffany hanya bertiga di kamar ini.

Reva tiba-tiba duduk di lantai dan melipat kedua tangannya di tepi tempat tidur. Dia mendongak, menatapku dengan raut wajah bersalah. "Dar, gue minta maaf karena diemin lo waktu lo difitnah."

Aku memalingkan wajah dan menghela napas. "Semua udah lewat."

"Karena itu...." Tiffany yang masih berdiri, terdiam sejenak. "Gue juga bener-bener minta maaf, Dar. Gue nggak nyangka Alula masang topeng setebel itu."

Aku tersentak mendengar nama itu. "Kalian pada akhirnya tahu kebenarannya? Apa ... yang terjadi di sekolah?"

"Apa lo nggak tahu sama sekali?" tanya Reva.

Aku menggeleng. "Handphone gue nggak pernah gue nyalain."

"Apa lo ... baik-baik aja kalau tahu?" tanya Tiffany hati-hati.

Kutatap Tiffany dengan mata berkaca-kaca. "Cepat atau lambat gue akan tahu juga, kan? Apa pun yang terjadi di sekolah, perasaan gue akan tetap sama. Sama-sama terluka."

Tiffany menunduk dan hanya terdiam setelahnya.

"Sehari sejak lo nggak ke sekolah, tersebar rumor kalau lo hamil."

Aku membelalak dan menatap Reva terkejut. "Siapa yang nyebarin?"

"Entah... Itu sepertinya karena video lo ... dengan cowok yang di foto itu tersebar."

Tubuhku langsung gemetar hebat. Semua orang telah melihat bagaimana aku diperlakukan secara keji, kan? Mereka tidak menganggap bahwa aku dan cowok menjijikkan itu melakukannya atas dasar suka sama suka, kan?

"Awalnya, semua orang nyudutin lo." Kata-kata Reva membuat air mataku luruh. Aku jadi tahu dari mana Kak Lio mengetahui apa yang terjadi padaku.

Namun, Mama terlihat tidak membahasnya. Apa sebenarnya Mama tahu dan menjaga perasaanku?

"Tapi video lain tersebar. Muka perekam itu kelihatan dari cermin lemari. Mukanya jelas banget. Dia Alula ... yang lagi ngambil video sambil ketawa."

Aku menunduk dalam. Sudahlah. Semuanya semakin kacau. Jejak digital itu tak akan hilang hingga aku pergi dari dunia ini dan hidupku tak akan tenang selamanya.

"Dar...." Tiffany duduk di tepi tempat tidurku. "Gue bener-bener nyesel."

"Udahlah. Semua juga udah terlanjur terjadi." Lalu aku tersenyum masam. "Ngulang waktu juga nggak mungkin bisa."

"Lo pasti dapat keadilan, Dar. Kali ini gue jelas nggak akan diam. Alula dan pacarnya udah dapat karmanya. Pacarnya jadi burnonan. Alula juga udah dapat panggilan dari polisi," kata Reva. "Nyokap lo berusaha keras untuk ngurus semua ini. Begitu pun dengan Kak Lio. Gue, Tiffany, Ara, teman-teman sekolah."

Aku menatap pintu. Tentu saja, Ara tak mengatakan bahwa dia juga terlibat dalam rencana pasangan itu.

Setelah aku mengatakan bahwa aku bisa melewati semua ini, meski sejujurnya tidak juga, Reva dan Tiffany keluar dari kamar. Mereka memberi Ara giliran untuk menemuiku sendirian.

Ara menutup pintu dan hanya berdiri di dekat pintu sambil mengusap lengannya. Tatapan bersalah mencuat dari wajahnya. Dia mulai mengeluarkan air mata yang mengalir deras dari pipinya. Aku mengalihkan pandangan dan mendengkus.

"Apa kali ini lo akting lagi?" tanyaku, sarkas.

"Dar...." Dia terisak dan mendekat dengan pelan, lalu berlutut di lantai dengan tatapan memohon. "Maafin gue. Gue bener-bener minta maaf, hiks, gue nggak tahu kalau mereka akan ngelakuin hal itu. Gue ... gue kepaksa. Gue takut Alula beneran nyebarin foto gue."

"Padahal kita bisa nyari jalan keluarnya. Lo percaya mereka padahal foto naked lo nggak ada sama sekali di mereka," kataku pelan. "Lo berhasil mereka manfaatin. Sekalipun foto naked lo ada, apa mereka bener-bener musnahin foto itu kalau lo ngelakuin permintaan mereka? Enggak. Enggak, Ra."

Ara hanya terisak tanpa henti.

"Udahlah." Kupejamkan mataku sesaat. "Semua udah lewat."

"Maaf banget, gue diancam, Dar...."

"Ya, gue tahu," bisikku, lalu menghela napas panjang. "Lo bisa keluar sekarang. Gue tiba-tiba pengin sendirian, Ra."

"Maaf." Ara berdiri dan menatapku. Pipinya penuh air mata. "Lo bener. Semua udah lewat. Lo yang paling dirugikan di sini dan gue ... semua ini karena keegoisan gue."

Setelah berusaha mengatakan hal itu, Ara lalu berbalik dan melangkah dengan pelan keluar dari kamar.

Aku membaringkan tubuhku dan menatap pintu kamar yang tertutup. Kudengar suara percakapan di luar kamarku. Suara mereka semakin terdengar jauh. Aku juga mendengar suara Mama.

"Cara supaya kita kembali hidup normal tanpa gangguan dari orang-orang keji yang ada di dalam garis takdir kita berdua, Dara."

Aku tiba-tiba mengingat perkataan Kak Lio. Kalimat itu terdengar berkaitan dengan kehidupan kami yang terulang. Entahlah. Aku merasa semakin hancur setelah mengetahui apa yang terjadi di luar sana.

Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah pasrah menerima takdir hidupku yang menyedihkan.

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro