42
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Padahal gue pengin ikut dan jagain lo."
Aku tersenyum mendengar jawaban Kak Lio. "Enggak apa-apa, Kak. Gue kan pergi bareng Ara. Kalau sama Ara memangnya Kak Lio nggak percaya? Dia anaknya nggak akan macem-macem."
Kak Lio menghela napas di seberang sana. "Ya udah. Gue juga ada urusan, sih, tapi gue pikir ini bentaran doang dan bisa nyusul kalian. Tapi, kalian juga lagi pengin main berdua aja. Gue bisa apa?"
Aku terkekeh pelan sambil menatap pantulan wajahku di cermin. Aku sudah lama tidak berhias. "Kalau gitu, sampai ketemu lagi, Kak."
"Jaga diri, oke? Jangan pernah lepas dari Ara. Nanti gue hubungi anak itu buat jagain lo."
"Ya ampun, Kak Lio! Justru di sini aku yang harusnya jagain tuh anak," balasku sambil menatap lips tick tipis yang sempat kugores di bibirku. Seharusnya Kak Lio tahu ucapanku barusan bahwa umur jiwaku jauh lebih tua dibanding Ara yang tidak tahu apa-apa. "Ya, udah. Bye, Kak Lio."
"Heem, bye, Darl."
Aku mematikan ponsel sambil menutup mulutku. "Darl? Bukan Dar?" gumamku lalu menggeleng pelan. Pipiku terasa kram karena menahan senyum. Ponselku berdering dan segera kuterima panggilan dari Ara. "Yes?"
"Lo udah selesai, Dar?"
"Tinggal nyelesaiin make up, sih. Lo sendiri?"
"Udah selesai. Gue jemput lo, yaaa? Gue ada nyewa mobil, nih."
"Emangnya udah tahu tujuan bakalan ke mana?"
"Belom! Nanti kita bicarain. Pasti seru kalau rencana mendadak ke suatu tempat gituuu. Bikin adrenalin naik banget."
Ini memang rencana mendadak kami untuk jalan-jalan di hari libur sekolah. Sebenarnya, ini adalah rencana mendadak Ara. Aku sebelumnya tak mau ikut dan memilih untuk mengisi baterai tubuhku di kamar selama seharian. Namun, Ara terus memaksa seperti seorang anak kecil. Mendengar anak kecil sedang merengek saja membuatku lelah. Apalagi Ara yang merupakan anak baru gede.
Aku mengakhiri panggilan setelah Ara pamit. Dia terdengar buru-buru.
Aku menyiapkan sling bag hanya untuk mengisi dompet mini, ponsel, lips tick, dan juga minyak kayu putih. Kutatap cermin untuk melihat rambutku yang tergerai melewati bahu. Hari ini aku hanya pergi bersama Ara dan aku pikir memakai baju terusan selutut berwarna hitam polos sepertinya lucu. Ternyata memang lucu. Aku melihat remaja perempuan berwajah cerah di cermin itu. Berbeda dengan wajah dewasaku yang suram dan sekitar mata yang penuh dengan warna hitam yang untungnya bisa kututupi dengan concelear agar membuat orang lain tidak salah fokus dengan mata pandaku.
Mama sedang sibuk belakangan ini sehingga aku lebih sering menghabiskan banyak waktu sendirian di rumah. Segera kulangkahkan kaki menuju ruang tamu sambil menenteng flat shoes hitam putih. Setelah memakai sepatu, aku mengunci rumah dari luar dan duduk di teras untuk menunggu kedatangan Ara yang datang menjemputku bersama sopir sewaannya.
Aku tak sadar menggerakkan kakiku karena tak sabar. Sepertinya, aku terlalu bahagia. Apa karena aku akan jalan-jalan dengan teman?
Untuk seseorang yang tak peduli pertemanan, aku sendiri terkejut dengan respons antusias tubuhku yang seperti remaja pada umumnya.
Mungkin juga karena aku tidak pernah merasakan kebahagiaan bersama seorang sahabat lagi sejak SMA hingga dewasa. Masa-masa itu penuh dengan kesendirian dan rasa frustrasi yang untungnya kehadiran Kak Lio bisa menutupi semua itu.
Sekarang, aku punya seorang teman yang selalu ada saat aku terpuruk. Ditambah, Mama berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan lalu. Hubunganku dengan Kak Lio juga berjalan di arah yang baik.
Belasan menit yang kulakukan hanya melamun sampai akhirnya sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku berdiri dan memegang tali sling bag. Kulihat Ara turun dari mobil, lalu dia melambaikan tangan. Aku segera menghampirinya, tak lupa menutup pagar rumah dengan rapat.
"Kita ke mana?" tanyaku pada Ara ketika aku sudah menaiki mobil sambil melihat ke cermin dalam mobil yang menggantung. Sopir yang mengemudi itu dari postur dan kulitnya terlihat masih muda. Dia memakai masker dan topi sehingga sedikit pun dari wajahnya tak terlihat sama sekali.
Dia tidak mirip Kak Lio. Jika mirip Kak Lio, maka aku akan berpikir bahwa Kak Lio dan Ara sedang menyiapkan kejutan untukku.
"Yuk, mulai cari tahu." Ara mengambil ponselnya dan mulai berselancar di internet.
Kami berbincang memikirkan tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Ara lebih suka pergi dengan tujuan mendadak begini daripada pergi ke suatu tempat yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Katanya, dia tidak akan tenang sampai hari tiba. Makanya, jika ingin ke suatu tempat, dia akan langsung pergi tanpa pikir panjang.
"Oh, tadi Kak Lio ngehubungin lo nggak?" tanyaku di sela pembicaraan terkait tempat wisata. "Dia mau ikut, tapi gue larang karena lo cuma pengin berdua sama gue."
"Iya, hari ini lo full time bareng gue." Ara mengambil sebuah botol minuman kecil dari dalam tasnya. "Dar, cobain, deh. Katanya ini rasanya beda dari air mineral kebanyakan."
Aku menaikkan alis.
"Coba aja!" seru Ara sambil menyodorkanku botol air mineral itu. "Rasain. Apa lidah lo sama dengan lidah gue?"
Aku menerima botol itu dari Ara, lalu membuka penutupnya. Tak pikir panjang, aku langsung mencoba satu teguk. "Rasanya memang ada yang beda dari yang lain," kataku sambil mengangkat botol minuman itu dan melihat airnya tidak bening seperti kebanyakan air mineral lainnya. "Ini air mineral yang sama lo minum?"
Ara mengangguk pelan. "Coba habisin."
Aku menjauhkan botol itu dari wajahku dan menatap Ara dengan heran. "Apa lo naruh sesuatu di dalam botolnya?"
Ara membelalak. "Nggak, lah."
Aku terkekeh dan segera menutup botol itu, lalu kuberikan kepada Ara. "Nih, nggak enak. Habisin sendiri kalau lo pengin."
"Dara...."
Aku menghela napas dan melihat Ara yang merajuk. "Apaaa?"
"Kayaknya butuh waktu setengah jam buat sampai," kata Ara.
"Kita kan belum tahu lokasi." Aku menyandarkan kepalaku ke samping, tepatnya di bahu Ara.
"Gue udah tahu tujuan. Lo bisa tidur dulu. Nanti kalau sampai gue bangunin."
Belasan menit kemudian, mataku terpejam dan rasanya berat untuk kembali terbuka. Perjalanan ini membuatku mengantuk. Badanku terasa lemas dan rasanya ingin menempel ke kasur. Tidak ada kasur di sini. Akhirnya, aku memperbaiki posisiku dan berbaring dengan menekuk lutut. Kuletakkan kepalaku di paha Ara tanpa permisi.
Kantuk ini membuatku tak bisa membuka mulut untuk mengatakan satu kata saja.
***
Tempat tidur ini terasa nyaman dan membuatku semakin sulit untuk bangun. Semua terdengar samar-samar. Aku bahkan berusaha untuk membuka mata, tetapi tak berhasil melihat apa-apa.
Percakapan yang tak jelas terdengar disertai suara decitan pintu yang terbuka.
Aku yakin sedang bersama Ara di dalam mobil yang membawa kami ke tempat wisata. Seharusnya aku sedang berbaring di atas jok mobil yang tidak seempuk tempat yang aku tiduri saat ini. Kakiku juga lurus, tidak menekuk seperti saat di mobil.
Sebenarnya, apa yang terjadi padaku?
"Tuh cewek udah pergi."
Aku mendengar suara cowok yang tak kukenal.
"Takut banget foto naked-nya tersebar. Padahal aku nggak punya foto telanjangnya satu pun, Yang." Suara ini ... Alula?
Sial. Apa yang terjadi padaku? Aku juga akhirnya mengingat bahwa suara cowok tadi mirip dengan suara cowok yang dihajar Kak Lio tempo hari. Ck, aku benar-benar tidak bisa bangun. "Eungh...." Dan hanya suara keluhan yang keluar dari mulutku.
"F*ck, suaranya seksi juga. Apa dia udah bangun?"
Berengsek. Suara cowok itu terdengar menjijikan.
"Nggak mungkinlah, Yang. Jo bilang obat tidurnya bisa tahan sampai 6 jam. Ini bahkan belum sejam." Kudengar Alula mengatakan itu. "Kita cukup ambil foto ciuman kamu dan nih cewek, habis itu kamu pergi dari sini. Foto kalian bisa aku pakai buat ngancem Dara."
"Serius cuma foto, doang? Aku nggak bisa nyicip bibirnya dikit?"
Aku benci ketika berusaha untuk mengambil kembali kesadaranku, tetapi tubuhku tak merespons dengan baik. Aku dalam bahaya. Mereka telah mengancam Ara dengan menggunakan kebohongan. Sementara Ara terlalu pandai berakting sampai bisa membawaku ke tempat kedua bajingan ini demi melindungi dirinya sendiri.
Di mana Ara? Apa dia tidak berusaha untuk menolongku sekarang? Kumohon.... Aku dalam keadaan tak bisa melawan.
Kurasakan tempat tidur ini bergerak. Aku berusaha membuka mata dan samar-samar melihat rambut pendek seseorang yang tak lain adalah laki-laki.
"Biar gue yang telanjangin."
DEG.
Aku ingin membunuhnya.
Aku menangis tanpa suara ketika merasakan bibir orang lain menuyentuh bibirku. Ini benar-benar menjijikkan.
"Ah, bibirnya. Sialan gue mau lebih."
"Sayang! Bukan itu sekarang yang paling penting. Tujuan utama kita cuma ngambil foto kalian berdua. Habis itu terserah kamu mau ngapain dia."
Mereka ... pasangan yang menjijikan.
"Apa kamu nggak mau gabung, Sayang?"
"Aku lebih mentingin foto asli kalian berdua pelukan telanjang bulat. Itu yang paling penting!"
Seluruh tubuhku tak bisa kugerakkan sesuai keinginanku. Apa aku mati saja setelah in?
Aku hanya bisa berharap ada yang datang untuk menolongku, tetapi itu hanyalah harapan yang tak terwujud.
Di kehidupan kali ini aku menjaga tubuhku untuk Kak Lio sampai kita menikah nanti, tetapi hidupku benar-benar bercanda.
Cowok menjijikkan ini menjamah tubuhku yang tak bisa berbuat apa-apa. Seolah bukan obat tidur yang aku minum, tetapi seperti obat pelumpuh tubuh. Aku bisa mendengar kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya. Aku bisa merasakan tangan menjijikkan dan mulutnya yang kotor menelusuri tiap inchi tubuhku.
Aku ingin mati ... atau setidaknya aku bisa kembali ke masa lalu sekali lagi.
Kumohon sekali lagi saja aku kembali ke masa lalu dan menghentikan kejadian mengerikan ini.
Jika tidak, aku benar-benar akan mati setelah bangun nanti.
Sayangnya, harapanku tak terwujud ketika merasakan mahkota yang kujaga baik-baik di masa ini untuk orang yang kucintai, telah dicuri dan dirusak oleh cowok menjijikan yang terus menghujamku tanpa henti.
Semua sudah jelas.
Aku ... memilih untuk mati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro