31
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Musa, ya?"
Dibanding menggapai uluran tangannya yang menggantung, aku malah memastikan namanya. Tak ada name tag yang terjahit di kemeja cowok ini, tetapi anak-anak di kelas sering memanggilnya Musa.
"I—iya," balas Musa sambil menatap uluran tangannya. Perlahan, dia menarik tangannya kembali dan meletakkannya di rambut bagian belakang. Kemudian dia mengusapnya perlahan sembari tertawa malu-malu.
"Oh." Aku mengangkat tanganku dan raut wajahnya langsung bertanya-tanya. "Katanya mau bantuin gue berdiri?"
Musa menggerakkan tangannya dengan cepat, lalu memegang tanganku dengan kaku. Aku memegangnya erat dan segera berdiri. Tangan kami segera terlepas. Kutepuk bagian belakang rokku dari debu sembari menatap Musa yang senyum-senyum tak jelas.
"Makasih, ya."
Musa mengangguk-angguk dan tetap berdiri di sampingku.
"Ada apa?" tanyaku. "Lo mau ngomong sesuatu?"
"Itu ... anu." Musa memalingkan wajah. "Kita bicara bentar?"
Belum menjawab permintaan Musa, bel tanda istirahat berakhir malah berbunyi. "Sambil jalan ke kelas?"
Pipinya mengembung, lalu dia menghela napas pelan. "Nanti aja gimana? Pulang sekolah...?"
Aku perlahan mengangguk. "Oke." Entah apa yang ingin dia katakan, sepertinya itu terlalu privasi. "Ayo bareng ke kelas."
***
"Se—sebenarnya gue suka sama lo."
Aku terdiam mendengar pengakuan yang baru saja dikatakan oleh Musa. Pengakuan suka Musa memang menjadi salah satu dugaanku, tetapi aku tidak seyakin itu sebelumnya karena menjadi sekadar dugaan yang terlintas.
Musa terlihat gugup. Dia tak bisa bertatapan mata denganku. "Apa lo mau jadi cewek gue?"
"Nggak," balasku dengan cepat. "Maaf."
Meski terlihat kekecewaan dari raut wajahnya, tetapi dia tetap berusaha tersenyum. "Jadi, lo beneran suka sama kakak kelas yang itu?"
Aku mengangguk dengan cepat. "Maaf, ya?"
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa." Musa terkekeh dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Dia tak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya. Senyum yang berusaha dia perlihatkan juga tak bisa menutupi perasaan sedih yang tampak jelas dari semua gerak-gerik tubuhnya.
Aku tak menyangka aku mendapatkan pengakuan suka untuk yang kedua kalinya. Hanya satu orang yang menyukaiku dulu, yaitu Kak Lio. Tak ada yang mau dekat dengan cewek penyendiri, tidak menarik, dan terlebih lagi terasingkan di kelas seperti aku di kehidupan sebelumnya.
"Kenapa lo suka sama gue?" Aku hanya ingin mendengar alasannya.
"Karena...." Musa terdiam sejenak, lalu dengan berani menatap mataku. "Lo tipe gue."
"Tipe lo yang kayak gimana?"
Dia meneguk ludah. "Ya..., gitu."
"Gitu gimana?" tanyaku lagi. Aku mungkin terlalu memaksa sampai membuat Musa terlihat tak nyaman. "Ah, maaf. Gue cuma heran aja ada yang suka sama gue."
"Kenapa harus heran?" Musa mengernyit. "Lo pantas disukai, kok."
Aku terdiam menunggu Musa yang kembali membuka mulut untuk bicara.
"Pinter, keren, dan manis," katanya. "Itu tipe gue."
Haha....
Aku sedikit salah tingkah mendengar pujian dari cowok yang tak bisa kulihat sebagai seseorang yang seumuran denganku. Bagiku, Musa seperti anak-anak. Sebelum aku mengulang waktu, aku yang merupakan perempuan dewasa sudah terbiasa melihat remaja-remaja SMA yang terlihat seperti anak-anak. Musa yang tak pernah kulihat versi dewasanya tak lebih dari seorang anak laki-laki SMA yang berbeda 12 tahun denganku.
Aku menepuk lengan atas Musa sampai membuatnya terkejut. "Lo keren. Bisa ngungkapin perasaan lo dengan berani."
Musa terlihat makin salah tingkah. "Tapi..., kalau gue punya kesempatan buat lebih dekat lo, boleh nggak?"
"Selama nggak lebih dari teman," balasku. Aku tidak mau menjawab dengan kalimat yang memberinya sedikit harapan. Meskipun tidak mungkin juga dia memiliki perasaan suka padaku sampai bertahun-tahun kemudian, tetapi sudah seharusnya aku mengatakan secara tidak langsung bahwa aku tidak bisa memberinya peluang untuk menjalin hubungan bersamaku.
"Benar-benar nggak ada harapan, ya." Musa mengusap rambut bagian belakangnya. "Ahaha..., nggak apa, lah. Gue jadi teman lo udah syukur. Walau sayang gue harus mundur sebelum mulai perang."
Aku mendengkus dan tertawa kecil. Kulirik sekitar di mana siswa-siswi yang lalu lalang semakin sedikit. "Mau bareng keluar gerbang?"
Musa mengangguk dengan cepat. "Ayo!"
Kami melangkah bersamaan menuju gerbang sekolah. Awalnya, hanya ada keheningan di antara kami berdua. Jika aku tidak membuka percakapan lebih dulu, maka mungkin saja Musa tak akan membicarakan apa pun karena sepertinya dia juga bingung mengatakan apa karena merasa canggung.
Aku memiringkan sedikit tubuhku sambil berjalan. "Lo udah selesai PR matematika yang dikumpul lusa?"
Musa menggeleng. "Belum. Lo?"
"Belum juga."
"Gimana ... kalau kita selesaiin bareng?" tanya Musa, terdengar sedikit ragu-ragu.
"Gue ada rencana ngerjain bareng Ara, Reva, Tiffany. Mau ikut gabung?" tanyaku. "Tapi ngerjainnya di rumah Ara."
"Tadi mau ikut, tapi waktu denger ada temen-temen lo nggak jadi, deh."
"Loh, kenapa?"
"Malu lah di antara cewek-cewek." Dia terkekeh. "Gue contek aja pagi-pagi."
Aku mengetuk lengannya dengan pulpen yang aku pegang. "Nggak boleh kayak gitu."
Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah drastis. Dia perlahan berhenti melangkah. Senyumnya menghilang tergantikan oleh sedikit ekspresi takut. "Anu...," gumamnya sambil menoleh padaku. "Itu ... di depan."
"Kenapa?" Aku menoleh dan terkejut melihat Kak Lio berada cukup jauh dari kami.
"Kayaknya gue harus pergi duluan." Musa sedikit menunduk dan berbisik di dekat telingaku. "Nggak tahu kenapa perasaan gue nggak enak waktu ditatap sama dia."
Aku mengernyit, lalu tertawa karena mengartikan bahwa rasa takut Musa muncul karena rumor Kak Lio yang suka laki-laki.
"Dia dari tadi ngelihatin gue terus," kata Musa lagi.
"Sini." Aku melambaikan tanganku. Musa yang sempat menjauh kembali mendekat dan menunduk. Aku menghalangi bibirku dan telinga Musa dengan tanganku sebagai penghalangnya. "Jangan takut sama dia. Dia aslinya nggak seperti rumor yang beredar, kok."
"Masa, sih?" Musa menoleh, membuat wajah kami semakin dekat. Aku kaget, Musa juga kaget, membuat kami sama-sama menjauh. Aku tertawa cukup keras sementara Musa salah tingkah sambil terus-terusan meminta maaf.
"Gue percaya lo, kok." Musa masih memalingkan wajahnya, tak mau menatapku. "Seorang Dara nggak mungkin salah dalam menilai."
Aku tersenyum kecil.
"Gue pergi duluan, ya. Sampai ketemu besok!" Musa menatapku sambil menjauh. "Dadah!"
"Dadaaah!" Aku melambaikan tangan berkali-kali pada Musa sambil tersenyum. Anak itu memiliki atmosfer yang positif.
Segera kulangkahkan kaki dan tak mau menatap Kak Lio. Aku ingin melihat seperti apa responsnya. Apakah dia akan cemburu? Yah, jika Kak Lio juga mengingat semuanya seharusnya dia akan cemburu pada Musa.
Aku sudah hampir melewatinya dan dia tiba-tiba bicara.
"Dia siapa?"
Pertanyaan keponya membuatku tak jadi ingin menyuekinya. Aku akhirnya berhenti di dekatnya. "Teman kelas."
"Siapanya lo?"
"Ya, temen sekelas!" balasku sedikit berteriak. Aku menyipitkan mata. "Kenapa? Lo tertarik sama dia?"
Dia mengernyit. "Ngapain gue tertarik sama dia?"
"Oh, lo cemburu sama dia?" Pertanyaanku membuatnya terdiam, membuatku semakin semangat untuk bicara. "Katanya nggak tertarik sama gue? Kok cemburu sama orang yang deketin gue?"
"Deketin lo?"
"Iya." Aku memegang tali tasku. "Dia anaknya manis, lucu, dan imut."
Aku tidak asal bicara. Perbedaan umurku dengan Musa membuatku melihatnya memang seperti itu. Dia manis, tingkahnya lucu dan imut.
"Lebih imut dia atau gue?" tanya Kak Lio, membuatku hampir saja menyemburkan tawa. Dia terlihat malu setelah mengatakan itu.
"Dia lah. Secara umur juga lebih muda dia," balasku.
Kak Lio berdecak. Dia lalu menghela napas. Tak lama kemudian dia menatapku lamat-lamat. "Gue tiba-tiba ngerasa marah."
"Marah sama siapa?"
"Sama diri sendiri," katanya. "Gue nggak mau kehilangan penggemar."
"Hm, jadi lo nganggap gue fan, doang? Bukan cewek yang jatuh cinta sama lo, Kak?" tanyaku pada Kak Lio yang diam. "Kalau lo memang nggak mau sama gue dan terus menghindar, gue nggak apa-apa, sih. Pacaran dengan temen sekelas juga asyik juga."
"Apa? Pacaran?" Dia terlihat makin terkejut.
"Oh, gue belum bilang, ya?" Aku ingin iseng lagi. "Tadi gue habis ditembak sama temen gue yang imut itu. Namanya Musa."
Raut wajah Kak Lio berubah marah.
"Lo kenapa, Kak?" Aku bertanya, tetapi kulangkahkan kakiku untuk menjauh. "Lo udah mau pulang, ya? Dadah."
Ujung lengan kemeja sekolahku tiba-tiba ditarik. Hanya Kak Lio yang melakukan hal seperti ini.
"Ayo," katanya.
Kutatap Kak Lio dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Ayo. Satu kata yang selalu membuatku gugup di kehidupan sebelumnya karena kata itu seperti sebuah kode untuk melakukan itu.
Iya, itu yang itu. Sesuatu yang tak seharusnya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah.
Akan tetapi, Kak Lio yang selalu menghindar dan menahan diri di kehidupan kali ini tak mungkin tiba-tiba berpikir untuk melakukan hal itu lagi.
"Ke mana?" tanyaku hati-hati.
"Ke rumah gue."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro