30
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Kak Lio dan Kak Abel nggak saling kenal, ya?"
Respons mereka berbeda ketika aku menanyakan hal itu. Kak Abel yang menaikkan alis dan kening sedikit mengernyit, sepertinya dia dan Kak Lio memanglah tidak akrab. Sementara Kak Lio langsung terdiam dan kembali menampilkan ekspresi datar seperti saat dia berusaha untuk tidak gegabah dalam bertindak.
"Kenal? Kita aja beda kelas." Kak Abel duduk, lalu mengarahkan jeruk—yang entah dia dapatkan dari mana—ke bibirku. "Makan ini. Ini enak."
Aku bisa merasakan tatapan menusuk dari seseorang saat aku membuka mulut, menerima suapan dari Kak Abel.
"Walau beda kelas, bukan berarti nggak temenan, kan?" Aku melirik Kak Lio.
"Kayak kita?" tanya Kak Abel padaku.
Aku hanya terdiam ketika menatap Kak Lio dan menyadari sesuatu. Ketika aku hidup dalam kecemburuan pada Kak Abel dan terus membahas Kak Abel di depan Kak Lio, Kak Lio akan mengalihkan pembicaraan. Saat kami resmi berpacaran, Kak Lio memang tak pernah mau membicarakan orang asing sekalipun itu membicarakan temannya. Akan tetapi, suatu waktu Kak Lio mengatakan bahwa Kak Abel tidak mungkin menyukainya karena Kak Abel adalah seseorang yang salah dalam mengartikan perasaan hanya karena ditolong sekali.
Ditolong sekali....?
Aku terkejut ketika Kak Abel tiba-tiba menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan memaksaku untuk menghadapnya, membuatku akhirnya mengalihkan diri dari Kak Lio.
"Kenapa lo jadi sok akrab gini?" tanyaku pada Kak Abel, intonasi terdengar tidak nyaman didengar di telinga. Namun, cewek di sampingku ini bukannya tersinggung oleh cara bicaraku, dia malah tertawa dengan keramahan yang tak dibuat-buat.
"Bukannya mau sok akrab. Gue cuma pengin dekat dengan penyelamat gue."
Aku melirik Kak Lio. Apa di kehidupan sebelumnya, Kak Lio yang menolong Kak Abel makanya Kak Abel mengejar-ngejar Kak Lio? Sepertinya begitu, lalu entah situasi apa yang dialami Kak Lio, Kak Lio tidak melakukan itu di kehidupan kali ini. Sementara rencanaku untuk jalan-jalan keluar rumah membawaku bertemu dengan Kak Abel secara tidak sengaja dan karena empati membuatku merasa harus menolong Kak Abel di situasi sulitnya itu.
Semuanya jadi semakin masuk akal.
***
Sulit membuat Kak Lio berada di dekatku dengan nyaman. Dia masih saja menjaga jarak. Padahal aku hanya ingin dekat dan menjalanin semuanya dengan positif. Kami bisa menjauh dari momen di mana hanya ada kami berdua, tetapi sepertinya dia tak mau. Dia bahkan langsung menjauh hanya karena seragam kami tak sengaja bersentuhan.
Bukan hanya kepadaku Kak Lio seperti itu, tetapi juga kepada cewek lain. Akan tetapi, ada perbedaan yang begitu jelas. Respons Kak Lio padaku terlalu berlebihan, membuat orang-orang selalu salah paham dan mengira bahwa Kak Lio jijik padaku.
"Setelah gue pikir-pikir, Kak Lio beneran nggak suka cewek." Ara tiba-tiba membuka pembahasan baru setelah sebelumnya lingkaran meja ini dihiasi oleh percakapan tentang toko kue yang ada di seberang sekolah.
"Jadi, lo nyerah?" tanya Sherly dengan mata berbinar-binar. "Ara udah nggak bisa ngelak lagi, masa lo tetap dibutakan cinta? Di mana harga diri lo sebagai cewek? Malah ngejar-ngejar cowok kayak gitu!"
Di mata orang lain, aku memang bertingkah tidak elegan. Namun, mereka tak tahu apa-apa dan tak mungkin juga aku menceritakan apa yang sebenarnya aku alami kepada mereka.
"Tapi, bentar, Dar." Reva mengernyit. "Kenapa ya sikapnya ke lo itu terlalu berlebihan dibanding ke cewek lainnya?"
"Maksudnya?" tanya Ara heran.
"Itu, loh. Cara menghindarnya!" teriak Tiffany, lalu dia menatap Reva. "Itu kan maksud lo?" Reva mengangguk. "Tuh!"
"Iya, juga, ya?" Ara menatap kosong ke arah atap kantin. "Apa mungkin Kak Lio suka Dara?"
"Bukan, dong!" Sherly tiba-tiba teriak. "Sikap Kak Lio itu kayak gitu ke Dara tuh jelas karena risi! Dideketin sama cewek yang dia nggak doyan. Mau dia gay or straight, siapa yang nggak risi sampai diganggu kayak gitu?"
"Kalau risi, kenapa anteng aja duduk berhadap-hadapan tiap hari? Bukannya ngusir dengan tegas malah kayak nggak rela ninggalin?" tanya Ara, begitu menggebu-gebu. "Udah, ah. Ke kelas, yuk. Di jalan kita cerita."
Ara menarik tanganku dan aku segera berdiri. Ketika aku keluar dari kelas, aku melihat Kak Lio. Kupikir dia sudah pergi lebih dulu dari kantin bersama teman-temannya, tetapi ternyata mereka masih berada di teras kantin.
Kupandangi Kak Lio yang sedang menyandarkan lengannya di pilar teras kantin. Apa aku kerjai saja dia?
"Bentar, Ra," kataku sembari melepaskan tanganku yang digenggam Ara. "Kalian semua duluan aja. Gue nyusul."
"Babay!" seru Ara, sepertinya dia tidak melihat Kak Lio. Kalau menyadarinya, dia pasti akan menunggu dengan antusias hal apa lagi yang akan aku lakukan.
Aku melangkah buru-buru ke samping Kak Lio, membuat Kak Lio tersentak. Ketika melihatku, dia semakin merapat pada pilar dengan ekpresi panik.
"Kaget kenapa, sih, Kak?" tanyaku sambil menyandarkan kepalaku di lengan atasnya. Hal itu sontak membuat Kak Lio mundur dan hampir terjatuh karena tertabrak teman-temannya yang sedang duduk.
"NGAPAIN LO DUDUK DI SITU?" teriak Kak Lio pada seorang temannya.
"YA GUE DARI TADI DI SINI!"
Kak Lio yang sedang meluapkan amarah kepada temannya tak menyadari kehadiranku yang berdiri tepat di belakangnya. Ketika Kak Lio berbalik seratus delapan puluh derajat, aku langsung mengambil posisi untuk semakin memperpendek jarak di antara kami. Namun, yang tak kusangka adalah Kak Lio mendorongku hingga aku terjatuh dengan bokong yang pertama kali menyentuh lantai.
Ini sungguh sakit, tetapi semua terbayarkan dengan rasa puas karena mengerjai Kak Lio. Sekitar sini dipenuhi oleh teriakan dari teman-teman Kak Lio yang terus memanggil Kak Lio sambil mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab. Aku tak tahu apa yan terjadi, tetapi sepertinya Kak Lio langsung berlari menjauh entah ke mana. Aku sedang menyembunyikan wajahku di atas kedua lututku yan tertekuk, menyembunyikan tawa yang berusaha aku tahan. Kedua bahuku sampai naik turun karena ingin tertawa sekencang-kencangnya membayangkan ekspresi panik Kak Lio yang terakhir kali aku lihat.
Aku semakin ingin terus menggoda Kak Lio sampai Kak Lio menyerah untuk menghindar. Setelah tamat SMA, aku harus memaksa Kak Lio untuk menikahiku. Biar aku saja yang bekerja dan mencari nafkah dengan pengalaman-pengalaman bekerja yang aku dapatkan di kehidupan sebelumnya.
"Lio! Bikin nangis anak orang aja lo!"
Aku mendengar salah seorang cowok berbicara. Astaga, mereka jadi salah paham, membuatku semakin ingin tertawa saja.
"Bantuin, gih! Dia nangis sampai sesenggukan gitu."
"Cari mati lo? Panggil Lio cepetan. Gue nggak berani sentuh."
"Terus yang mau bantuin dia berdiri siapa lagi kalau bukan kita? Lio juga nggak mungkin mau nyentuh!"
"Lagian si Lio aneh banget! Nggak boleh ada yang nyentuh nih anak. Dia sendiri nggak boleh nyentuh. Pak satpam juga nggak boleh nyentuh. Guru laki-laki juga nggak boleh salim sama dia."
"Kok dia diem? Dia nggak lumpuh, kan? Bangun, oi!"
Aku merasa sekumpulan bocah laki-laki SMA ini mengerumuniku. Suara mereka ada di barat daya, barat laut, timur laut, barat, selatan, timur, tenggara, dan lainnya.
"Waduh, gimana, nih? Dia lumpuh beneran apa gimana? Katanya kalau tulang ekor kehantam bisa lumpuh, loh."
"Oi, bisa berdiri nggak?"
"Dek?"
"Adek?"
AAAAAA! Kenapa rasanya jadi malu pada mereka padahal sebelumnya aku merasa biasa saja? Apa karena efek hormon remaja di dalam tubuhku? Ya, ya, anggap saja begitu. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku jadi panik sendiri.
"Dia datang!" teriak seseorang. "CEPETAN, NIH CEWEK JADI LUMPUH GARA-GARA LO! NGGAK ADA YANG BERANI NYENTUH GARA-GARA PERINGATAN LO JUGA!"
"APA?" teriak Kak Lio. Suaranya tak jauh dari sini.
Aku tidak menutup mata selama beberapa detik. Mataku berhasil berair walau hanya sedikit. Sangaaat sedikit. Setidaknya aku harus terlihat benar-benar menangis.
Sentuhan tangan seseorang di lekukan bawah belakang lutut dan juga pinggangku, membuatku seperti tersengat oleh listrik kecil. Refleks, kukalungkan tanganku di leher seseorang yang langsung kukenali hanya karena wangi tubuhnya yang tak pernah aku lupakan.
"Kak Lio?" Mataku berkaca-kaca, kali ini tidak dibuat-buat, karena terharu.
Dia masih sangat peduli dan mengkhawatirkanku. Dia sampai rela melanggar aturannya sendiri ketika berada di dekatku. Akan tetapi, kenapa wajahnya suram begitu, siiih?
"Hei, jangan sentuh gue dengan kulit lo."
"Terus, gue pegangan di mana?" tanyaku, cemberut. "Gue harus terkulai kayak orang pingsan? Tangan gue meleyot sana-sini?"
"Lo nggak benar-benar nggak bisa berdiri, kan?" tanya Kak Lio. "Nyari perhatian gue, ya?"
"Sedikit." Sejak tadi, ada suara yang berbisik untuk menyuruhku mengelus pipi Kak Lio. Aku juga jadi melupakan aturan yang sudah kubuat. Ya sudah, lebih baik aku membuat sebuah pengecualian; tidak boleh bersentuhan dengan Kak Lio kecuali untuk misi.
Satu tanganku mulai beraksi. "Apa lo—aduh!"
Aku langsung dijatuhkan padahal aku baru bicara dan tanganku baru sedikit mengelus wajah Kak Lio. Untung saja tanganku lainnya masih bisa memegang pundak Kak Lio. Kak Lio lalu menjauh. Dia pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi dan aku langsung terduduk sambil tertawa kecil.
"Hei..."
Aku menoleh pada seseorang yang berdiri di sampingku dengan raut khawatir. Eh? Dia adalah teman kelasku yang beberapa kali tak sengaja bertatapan mata denganku saat di kelas, akibat dari meja-meja dan kursi-kursi kelas yang belakangan ini disusun dengan pola berbentuk U. Cowok dengan berbagai tingkah usilnya di kelas. Anak ini juga yang pernah hampir menabrakku di kelas.
Aku menaikkan alis. "Ya?"
Dia menunduk malu-malu sambil mengulurkan tangannya. "Sini. Gue bantuin lo berdiri."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro