24
by sirhayani
part of zhkansas
...
Menjadi peringkat ketiga tingkat kota dalam Ujian Nasional dan juga merupakan siswi berprestasi yang lulus bebas tes di SMA ini, membuatku berakhir di kelas yang berbeda di masa sebelumnya.
Dan hal yang paling membuatku terkejut adalah aku sekelas dengan Ara.
Bahkan menjadi teman sebangku.
Mau bagaimana lagi, perubahan-perubahan ini tak bisa aku hindari. Aku tak ingat jawabanku saat aku mengisi kertas jawaban di kehidupanku sebelumnya. Jadi, mau tak mau aku belajar agar tidak mendapatkan nilai rendah.
Aku tidak menolak ajakan Ara untuk duduk sebangku dengannya karena dengan begini aku bisa bertemu dengan Kak Lio lebih dekat. Aku tidak akan lupa bahwa Kak Lio dan Ara adalah sepupu dua kali.
"Nama lo siapa?" Ara mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis karena cacat genetik pada pipinya yang beruntung dia dapatkan itu.
Aku menaruh tasku di atas meja, lalu duduk di bangku kosong ini sambil membalas uluran tangan Ara dengan singkat. "Dara."
Ara menganga. "Nama lo Dara?" Lalu dia melirik namaku yang tertulis di kemeja bagian kanan.
"Iya," balasku.
"Hampir mirip nama gue, dong?"
Aku hanya menatapnya dalam diam. Sementara Ara masih terkejut.
"Lucu tahu!" seru seseorang di belakangku. "Ara. Dara. Ara. Dara. Kelihatannya kalian bakalan jadi bestie banget, nih?"
"Kalau kalian berdua jadi bestie, ajak-ajak gue, dong," kata yang lain lagi.
"Nanti kalau ada yang manggil gue atau Dara, kami berdua bakalan sama-sama nengok," kata Ara, lalu tertawa.
"Haiii." Siswi berkacamata memunculkan wajahnya di sampingku. "Kenalin, gue Reva."
"Gue Tiffany." Dan seseorang lagi ikut memunculkan wajahnya. "Sepertinya lo introver banget! Kita bertiga segugus waktu MOS. Jadi, jangan heran kalau agak berisik, ya?"
"Ah, ya," balasku pelan.
Dulu dan sekarang, Ara tetaplah anak yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan dua siswi yang duduk di belakang kami ini juga baru kenal dengan Ara saat Masa Orientasi.
"Lihat, tuh! Oi! Tungguin gue!" Ara buru-buru keluar dari bangkunya. Pada akhirnya dia melewati bagian belakang bangkuku. Dua siswi di belakang juga ikut berlari mengejar Ara yang sepertinya mengejar orang lain yang barusan lewat di depan kelas.
Kebisingan ini ... tidak buruk juga.
***
Istirahat ini, aku berpisah dari Ara, Reva, dan Tiffany. Mereka terlalu sibuk berbincang saat berjalan di koridor menuju kantin sampai tak sadar aku diam-diam kabur ke dekat perpustakaan sekolah untuk mempersiapkan hatiku bertemu Kak Lio yang entah di mana.
Namun, aku malah tak sengaja mendengar sekumpulan siswi dari perpustakaan yang sedang berbicara buruk tentang Sherly.
"Serius, sih. Se-nggak suka itu gue sama dia. Dia SKSD banget. Mau dikata social butterfly apa, ya?"
"Iya, dia jatuhnya lebih ke annoying."
Mengapa orang-orang begitu semangat membicarakan keburukan orang lain? Telingaku jadi ternodai mendengar gosip.
Aku membuka bungkusan permen, lalu kumasukkan ke dalam mulut dan langsung kugigit agar stik permennya terlepas dari permen berbentuk kaki ini.
"Eit, eit. Jangan makan permen kayak gini nanti gigi lo bolong. Nggak bawa sikat gigi, kan?" Sherly tiba-tiba muncul entah dari mana.
Aku mengeluarkan satu permen dari saku bajuku, lalu kuberikan kepada Sherly yang langsung diterima cewek itu dengan riang.
"Ih, thank you."
"Lo ngapain di sini? Nggak ke kantin?" tanyaku, basa-basi.
"Lagi males," balasnya, lalu dia mengulurkan tangannya. "Ngomong-ngomong, gue belum ngasih selamat ke elo karena dapat nilai tertinggi Ujian Nasional di SMP kita."
Aku membalas uluran tangannya dengan singkat. "Ya."
"Apa lo denger?" tanya Sherly pelan.
Aku menatap tanaman di depanku dan pura-pura tidak tahu maksudnya. "Denger apaan?"
"Orang yang tadi bicarain gue dari belakang. Dia pikir gue nggak tahu aibnya?" Sherly berdecih. Kutatap bibirnya yang mulai maju. "Anj*ng, sih. Berani banget nyeritain gue dari belakang. Dia pikir gue lupa kalau dia kemarin bilang dengan bangganya udah ciuman sama kakak kelas waktu MOS?"
Ah, bukannya mereka sama saja? Aku tidak akan lupa bagaimana sifat asli Sherly di kehidupan sebelumnya.
Sherly memegang pahaku dan menoleh dengan mata membara. "Terus tahu nggak?"
"Gue nggak suka ngegosip," balasku cepat. "Lo dan orang yang ngomongin lo dari belakang tadi, apa bedanya?"
Sherly langsung terdiam.
Aku berdiri dan merenggangkan otot-otot tanganku ke atas, lalu kutatap Sherly yang sedang menatapku sambil menggigit bibir. Aku tahu, dia ingin aku mendukungnya dengan cara ikut menggunjing cewek yang menggosipi Sherly tadi. Namun, aku sedang malas berurusan dengan orang seperti dia.
"Kalau suatu saat gue denger gosip buruk tentang gue, bisa jadi lo yang lakuin. Entah yang mulai lo duluan atau salah satu penyebarnya." Aku menghela napas panjang. "Jangan gosipin orang lain. Ini bukan tentang karma atau bukan, tapi di mana-mana, ngegosipin keburukan itu nggak baik."
"Tapi yang gue omongin tadi itu fakta!" seru Sherly pelan.
"Fakta atau fitnah. Bukan itu intinya," balasku, lalu mulai melangkah sambil melambaikan tangan pada Sherly tanpa mengatakan apa-apa lagi.
***
"Lo dari mana aja? Tiba-tiba ngilang tanpa ngomong apa-apa!"
Aku disambut oleh teriakan Ara dan bibir cemberutnya ketika berhenti di dekat pintu kelas.
"Keliling sekolah," balasku.
Ketika aku kembali melangkah, siswa kelas ini berlari dan tak sengaja menabrakku. Dia terjatuh, lalu memandangku sambil menyengir. Aku hanya menatapnya datar, lalu siswa itu segera bangkit dan memukul kepala temannya yang tertawa mengejeknya.
Aku akhirnya kembali melangkah dan tiba di bangkuku dengan selamat.
"Dih dia masih cengar-cengir salting tuh di sana habis hampir ngetabrak lo, Dar," kata Ara.
Aku bertopang dagu dan kembali meratapi kekhawatiranku untuk bertemu Kak Lio. Padahal aku sudah berusaha menyiapkan hati, tetapi ujung-ujungnya tak berani mencarinya.
Kutatap Ara untuk bertanya tentang Kak Lio, tetapi dia sedang menatapku dengan penuh harap. "Apa...?"
"Lo punya aura yang bikin cowok-cowok nggak berani ngelawan lo," kata Ara yang membuatku mengernyit heran. Reva dan Tiffany mengiakan perkataan Ara yang terkesan ada maunya itu. "Handphone gue disita sama kakak panitia MOS kemarin. Terus, dia bilang nggak akan ngasih gue kecuali gue yang datangin dia langsung. Masalahnya, gue nggak berani. Nanti gue dipegang-pegang. Gue nggak nyaman...."
"Kok bisa disita?" tanyaku heran.
"Nggak tahuuu!" serunya.
"Masa gitu aja lo nggak tahu, sih, Dar?" tanya Reva. "Apalagi kalau bukan karena cowok itu lagi nyari perhatian Ara!"
"Cari perhatiannya nggak gentle banget nggak, sih, sebagai cowok?" tambah Tiffany.
"Lo dipegang-pegang?" tanyaku dan Ara mengangguk dengan ekspresi ketakutan.
Tidak heran. Ada laki-laki yang memang suka bertingkah di luar batas demi mencari perhatian orang yang dia sukai meskipun membuat orang yang disukainya itu tidak nyaman.
Aku mengeluarkan bukuku saat bel tanda istirahat telah berakhir. "Nanti. Gue coba di istirahat kedua."
***
"Tuh, lihat tuh. Di sana. Di kumpulan cowok-cowok itu!" seru Ara dengan tidak sabar. "Dia lagi megang handphone gue yang warna pink itu. Eh, eh, dia mainin huhu hampir jatuh!"
Aku memandang sekumpulan cowok yang—wajah-wajah mereka tidak terlihat jelas karena jauh—sedang duduk di tribun lapangan. "Sekarang banget?"
Ara mengangguk cepat. "Mau gue pakai. Nanti Nyokap marah."
Selain karena Ara tidak mau bertemu dengan kakak kelas yang mengganggunya itu, Ara juga tidak nyaman berdiri di depan belasan cowok yang sedang menongkrong. Di mataku, mereka semua hanyalah bocah-bocah SMA. Sementara bagi Dara, mereka adalah sekumpulan kakak kelas yang membuatnya canggung dan malu jika berdiri di depan mereka.
"Bisa kita ambil kalau mereka bubar nggak, sih?" tanya Reva. "Apa lo nggak kasihan sama Dara, Ra?"
Kutatap Dara yang menghentakkan kakinya pelan di lantai. "Masalahnya adalah kalau bukan sekarang kapan lagi? Dia lagi megang. Gue juga butuh banget buat kabarin Nyokap."
"Kalau gitu, kita berempat aja—" Kata-kataku terpotong karena punggungku didorong oleh tiga pasang tangan.
Aku menoleh dan menatap tiga anak itu melambaikan tangan. "Semangat!" seru mereka bersamaan bagai kembar tiga.
Aku menghela napas panjang, lalu melangkah dengan berani. Kenapa aku tidak menolak dengan tegas? Aku bisa saja menolak dengan tegas apalagi menolak permintaan remaja berusia 15 tahun. Namun, ada satu alasan yang membuatku tetap melangkah.
Kak Lio.
Aku masih berharap bertemu secara alami dengannya di sana. Kuharap dia ada di antara sekumpulan remaja laki-laki SMA itu.
Rasanya aneh melewati sekumpulan anak-anak ini hingga berhenti di satu cowok yang duduk paling pinggir. Dia memegang ponsel pink yang tak lain adalah milik Ara. Cowok itu memutar-mutarnya di tangan. Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel milik Ara ke wajah laki-laki yang telah mengganggu Ara.
Keningnya berkerut samar-samar.
Kualihkan pandanganku ke samping, ke cowok-cowok SMA lain, dan memandang wajah mereka satu per satu sampai akhirnya ... aku benar-benar menemukan Kak Lio di antara mereka.
Dia sedang duduk di tribun dan menyandarkan sikunya di tribun atasnya. Dia menguasai beberapa anak tribun dengan tubuh tingginya yang sedang bersantai. Kami berpandangan. Dia pasti melihatku karena keheranan dengan seorang siswi aneh yang tiba-tiba datang di antara sekumpulan siswa SMA.
Dari ekspresinya, dia sudah pasi tidak mengenaliku. Aku sudah berharap Kak Lio juga mengingat waktu yang terulang, tetapi itu tidak mungkin.
Aku merasa sesak karena pertemuan terakhir kami di kehidupan sebelumnya. Aku ingin bertanya tentang alasan dia meninggalkanku, tetapi sekali lagi aku tak akan pernah bisa tahu alasan itu.
"Hei, bro. Tuh cewek kenapa tiba-tiba nangis di depan lo?" Cowok di samping cowok yang menyita ponsel Ara berbicara. Sementara pandanganku tak lepas dari mata Kak Lio yang cukup jauh di sana.
"Haaah? Gue bahkan nggak kenal dia siapa!"
Kak Lio tersenyum kecil. "Jangan bilang gue yang bikin dia nangis?" tanya Kak Lio tiba-tiba. "Dari tadi dia ngelihatin gue, tuh."
Iya, kamu yang membuatku menangis. Andaikan aku berani mengatakannya, maka Kak Lio pasti akan keheranan karena ini menjadi pertemuan pertama kami.
Sebenarnya aku tidak menangis. Mataku terlalu berkaca-kaca dan membuatku terlihat seperti sedang menangis.
"Kayaknya gue beneran yang buat dia nangis?" Kak Lio masih menatapku sambil tersenyum kecil. "Apa muka gue ... serem?"
Senyumannya bahkan tidak mengartikan bahwa dia sedang keheranan. Senyumannya lebih terlihat seperti senyum menggoda. Aku segera mengalihkan perhatianku dari Kak Lio karena mataku semakin berair. Kulihat ponsel Ara yang dilempar oleh cowok di depanku ini dan langsung aku tangkap.
Aku segera pergi dan mendengar sumpah serapah dari cowok itu. "Oi, anj*ng! Pencuri lo! Balikin tuh handphone!"
Aku tidak peduli teriakannya. Aku sudah mempercepat langkah bahkan nyaris berlari saat Ara, Reva, dan juga Tiffany menyemangatiku agar segera tiba di sana.
Aku menoleh untuk memastikan cowok itu tidak mengejarku.
Dia baru saja terjatuh di dekat Kak Lio yang sedang menujulurkan sebelah kakinya tanpa sengaja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro