Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06

by  sirhayani

part of zhkansas

...

Kak Lio membuka pintu dan langsung berhenti. Aku ikut berhenti dan melihat siapa yang ada di hadapan kami. Cowok-cowok itu adalah teman-teman Kak Lio. Segera kuturunkamn jemariku yang menyentuh bibir saat seseorang di antara mereka memperhatikanku dengan saksama. Pandangan cowok itu beralih memandang Kak Lio dan tersenyum penuh arti.

"Ehem, habis ngapain di dalam?"

Pertanyaan dari salah satu teman Kak Lio tak digubris oleh Kak Lio sama sekali. Kak Lio malah menarikku dan segera pergi dari sana. Aku merasa gugup saat mendengar sorakan dari teman-teman Kak Lio. Dari perkataan mereka, seolah aku dan Kak Lio melakukan hal aneh-aneh di dalam ruangan itu.

Kak Lio berhenti di belokan koridor.

"Kita pisah di sini, ya?" Kak Lio melepaskan gengamannya di tanganku, membuatku merasa kehilangan. Dia mengangkat tangannya dan berjalan mundur. "Intuisi gue bilang, kita akan terus ketemu."

Kubalas perkataan Kak Lio dengan senyuman yang tak bisa aku sembunyikan lagi. Aku berbalik untuk segera ke kelas ketika Kak Lio sudah tidak terlihat di pandangan mataku lagi. Belum melangkah satu kali, aku dikejutkan oleh cewek yang merupakan teman Kak Lio. Cewek yang pernah bersama Kak Lio di ruangan tadi.

Dia bersedekap dengan ekspresi marahnya. Ketika mataku tak sengaja mengarah pada nametag kakak ini, aku terkejut melihat nama Abel tertera di sana. Dia memiliki nama yang mirip dengan Abel, sahabatku!

"Hei."

Suara dan eskpresinya membuatku tanpa sadar meneguk ludah.

"Gue awasin lo belakangan ini. Apa yang udah lo kasih ke Lio sampai dia kayak gitu?" Dia menatapku dengan tatapan tajamnya, lalu memalingkan pandangan dan melewatiku sambil mengomel. "Awas aja kalau lo makin berulah!"

***

Ancaman dari Kak Abel sama sekali tidak aku pedulikan. Kak Lio sudah pernah mengatakan bahwa Kak Abel adalah temannya dan apa yang terjadi hari itu di ruangan saat bersama Kak Lio hanyalah bercandaan.

Selama beberapa hari ini, aku dan Kak Lio berpapasan mau itu disengaja atau tidak. Terkadang aku memang sengaja berada di tempat-tempat yang sering dilalui Kak Lio dan aku benar-benar melihatnya. Dia akan tersenyum ke arahku jika tak sengaja melihatku, lalu mengangkat tangannya. Terkadang dia menghampiriku dan kami membicarakan hal-hal acak di tempat yang tidak bisa ditemukan oleh teman-teman Kak Lio.

Aku menyadari Kak Lio sedikit nakal, tetapi itu adalah nakal "wajar" untuk ukuran anak-anak SMA seperti membolos sekolah atau tidur di kelas. Kak Lio tidak merokok, mabuk, apalagi memiliki tato di tubuhnya.

Setidaknya, seperti itu lah yang aku ketahui dari pengamatanku.

Terkadang kesan misterius di diri Kak Lio membuatku merasa semakin penasaran. Aku belum berani untuk mengetahui segala hal pribadi tentang Kak Lio seperti keluarganya karena aku menyadari untuk beberapa orang, keluarga adalah hal yang sensitif untuk dibicarakan. Kak Lio juga tidak pernah bertanya tentang keluargaku walau aku merasa sedikit kecewa akan itu karena aku selalu berpikir untuk tidak membuat batas apa pun itu di antara kami.

Sekarang, aku memiliki pemikiran yang melekat di hatiku bahwa aku tidak ingin Kak Lio dimiliki oleh cewek mana pun selain diriku.

Aku tahu ini lancang. Aku bahkan bukan siapa-siapa Kak Lio selain sebagai teman cerita di waktu bosannya.

Aku bahkan merasa tidak sendirian saat mendengar Sherly dan teman-temannya bercerita tentangku dari belakang karena berpikir masih ada Kak Lio di sekolah ini yang tidak akan meninggalkanku sendirian.

Aku masih di sini, mendengar tawa dan percakapan dari orang-orang yang aku pikir adalah oran baik selama ini.

"Dia pikir kita seneng-seneng aja kali, ya, kalau dia deket-deket kita gitu?"

"Ada gejala autis nggak, sih, dia?"

"Hus."

"Masalahnya tuh dia kayak punya banyak ciri-ciri autis. Suka jarang kontak mata. Kalau ngomong ada suatu waktu dia ngomongnya ngulang-ngulang dan nggak jelas."

"Memang agak aneh tuh anak. Makanya nggak heran dia nggak punya temen di sekolah ini."

Mereka menongkrong di area samping perpustakaan. Sementara aku sedang sendirian di samping laboratorium Kimia, mendengar semua cerita yang sejujurnya menyayat hatiku. Aku tak tahu mengapa aku tidak segera pergi. Aku malah tetap di sini seperti orang bodoh, mengambil daun dari tanaman di depanku dan memotongnya sedikit demi sedikit dengan kuku sembari mendengar tawa dari orang-orang yang membicarakanku.

"Tapi Dara kelihatannya nggak neko-neko."

Aku tersentuh mendengar suara yang cukup asing.

"Nggak neko-neko gimana? Dia aja kegenitan gitu sama kakak kelas."

Lalu jawaban dari seseorang yang aku kenali, Sherly, membuatku tanpa sadar menggigit bibir karena menahan tangis.

"Maksud lo Kak Lio."

"Siapa lagi?"

Aku tak lagi mendengar apa pun. Hanya ada suara langkah sepatu yang cukup banyak. Mereka sepertinya sudah pergi. Apa barusan bel berbunyi? Aku tak mendengarnya.

Aku menoleh saat ekor mataku menangkap seseorang yang aku kenali dan aku terkejut karena orang yang barusan ingin berbelok benar-benar Kak Lio.

Kak Lio sama terkejutnya ditambah wajah keheranannya kemudian tergambar di sana. "Apa lo dari tadi dengerin mereka?"

Aku hanya bisa menunduk untuk menghindari kontak mata.

"Lo dengerin semua omong kosong mereka dari tadi?"

Entah. Aku tak tahu mengapa aku sebodoh itu. Kurasakan Kak Lio mendekat, lalu duduk di sampingku. Aku terkejut dan melupakan kesedihan yang sempat kembali karena kulit lengan kami yang bersentuhan tanpa sengaja.

Kak Lio menghela napas panjang. "Di dunia ini, orang yang paling gue benci adalah tukang gosip." Kak Lio diam sejenak. "Mereka begitu bangga sampai nggak peduli kalau kelakuan mereka bisa buat orang lain bunuh diri."

Aku menoleh dan tak bisa berkata-kata. Aku menyadari bahwa ucapan Kak Lio barusan tak ada hubungannya denganku.

"Dengan kata lain, mereka itu pembunuh kan?" Kak Lio menoleh padaku dan melomparkan senyum terpaksa setelah bertanya demikian.

Dengkusan pelan terdengar darinya. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Ucapan Kak Lio tidak mungkin hanya karena melihat situasi di kehidupan orang-orang sekitar. Mata beningnya yang terlihat berkaca-kaca itu, membuatku berpikir bahwa ucapannya berhubungan dengan seseorang di hidupnya.

Aku memalingkan pandanganku dari Kak Lio. "Pem—pembunuh mental. Iya. Begitu. Pembunuh mental." Lalu kupandangi Kak Lio sekali lagi sambil mengepalkan kedua tangan. "Tapi gue nggak akan kalah dari mereka, Kak!"

"Makanya lo sanggup di sini dari tadi dan dengerin semua omong kosong mereka, ya?"

Aku mengangguk dengan semangat, lalu Kak Lio tersenyum kecil sambil merangkulku. Aku membelalak terkejut. Seluruh tubuhku menjadi kaku merasakan sentuhan fisik paling dekat. Biasanya kami hanya sekadar berpegangan tangan.

"Ayo. Sekalian aja kita buat mereka semakin sibuk ngurusin kehidupan kita daripada kehidupan mereka sendiri," kata Kak Lio, membuat pikiranku jadi tak terarah. Ditambah lagi tangannya naik menyentuh rambutku dan mengacak-acaknya dengan pelan.

"Mulai sekarang, gue temen lo."

*** 


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro