Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05

by sirhayani

part of  zhkansas

...

Bayangkan.

Aku sedang makan bahkan sebelah pipiku gembul karena ada bakso yang belum terkunyah, lalu datang seorang cowok yang mengulurkan tangannya padaku dan menyuruhku untuk mengikutinya. Beberapa detik kemudian, dia menarik tangannya dan menarik sebuah kursi ke dekat mejaku. Dia duduk di kursi itu dan memandangku dengan senyuman menawannya—yang belakangan ini tak pernah aku lihat— sembari melipat kedua tangannya di atas meja dan berkata, "habisin makanan lo dulu. Gue tunggu di sini."

Sikapnya itu membuatku jadi sulit untuk makan dengan nyaman. Dipandangi oleh cowok yang sempat membuatku tertarik padanya, menjadi pusat perhatian Sherly dan teman-temannya, dan juga aku menyadari teman-teman Kak Lio sedang mengejek Kak Lio di seberang sana.

"Ternyata selama ini lo juga ngincer anak baru, ya?" teriak salah satu teman Kak Lio yang membuat Kak Lio berdiri buru-buru dari kursinya dan menghampiri teman-temannya.

Setelah itu, aku tak tahu apa yang terjadi karena perhatianku tertuju pada Sherly, orang yang sejak tadi kurasakan menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku merasa tidak nyaman saat melihat tatapan penasaran Sherly dan ekspresinya yang sepertinya sedang menduga-duga. Mungkin ini perasaanku saja bahwa Sherly sedang berpikir negatif tentangku karena aku benar-benar berurusan dengan Kak Lio yang diketahui adalah cowok nakal yang suka bermain cewek.

Aku melepaskan sendok dan garpuku ke atas mangkuk dan segera kukunyah makananku dengan baik tanpa memedulikan tatapan penuh selidik Sherly dan teman-temannya. Sempat juga aku mendengar bisikan dari teman-teman Sherly yang cukup jauh dariku disertai dengan tawa cekikikan yang membuatku merasa tersinggung. Aku sepertinya benar-benar sensitif sekarang karena takut dibicarakan negatif. Segera kuteguk setengah minumanku yang tersisa, lalu pandanganku beralih pada Sherly karena merasa dia masih memandangku.

"Lo nggak ngerasa ada yang harus lo ceritain ke gue?" tanya Sherly.

Kugelengkan kepala karena memang tak ada yang perlu aku katakan kepadanya, lalu aku melihatnya tersenyum kecut dan beralih ke teman yang paling dekat dengannya dan membahas hal lain.

Kupandangi Kak Lio dan dia sedang melambaikan tangannya ke arahku. Aku merasa harus segera pergi dari sini.

"Duluan, ya?" ujarku pada Sherly yang tak menggubrisku sama sekali. Dia sedang tertawa dengan temannya. Kupandangi teman-teman Sherly yang lain, satu pun tak ada yang melihatku dan membuatku segera pergi dari sana dengan buru-buru. Ini pasti hanya perasaan seseorang yang tidak punya teman dekat.

Ketika aku keluar dari kantin, seseorang menyambar tanganku dan menggenggamnya. Aku terkejut dan semakin terkejut lagi ketika mengetahui bahwa pelakunya adalah Kak Lio. Dia tidak mengatakan apa-apa dan menggenggamku begitu saja dengan begitu erat. Langkahnya terlalu lebar, membuatku sulit untuk menyamakan langkah sehingga yang aku lihat hanyalah lengan dan punggungnya.

Perasaanku campur aduk. Rasa takut itu kembali muncul. Ini benar-benar berkaitan dengan apa yang aku lihat hari itu. Apakah dia marah? Aku tak tahu ekspresi apa yang sedang terpasang di wajahnya. Caranya menarikku seperti orang yang sedang kesal, tetapi aku tak bertanya-tanya karena belum tahu seperti apa sosok asli Kak Lio. Belum lagi, hatiku sedang tak keruan saat ini karena terus merasakan sentuhan fisik lewat kulit tangan kami.

"Lo pasti nggak pernah cuci piring di rumah," kata Kak Lio tiba-tiba, membuatku segera menatap tanganku yang lain. Tipis dan halus. "Lo sering denger pertanyaan kayak gitu, kan?"

Kenapa tiba-tiba bahas tangan....

"Bener," balasku. Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa jalanan ini menuju ruangan waktu itu. Perasaanku tidak enak, tetapi dia bisa membahas hal yang membuatku tak fokus pada dugaan-dugaan aneh.

"Gue juga nggak pernah cuci piring. Apa tangan gue halus?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng meski Kak Lio tak melihatku. Kuusap jemari Kak Lio dengan jemariku. Seperti ada yang berdesir di hatiku.

"Ada bekas luka," gumamku. Kuangkat wajahku dari tangan kami yang saling menggenggam. Ini terlalu akrab untuk dua orang yang baru bertemu beberapa kali. "Apa karena main gitar?"

Dia tidak meresponsku dan membawaku memasuki ruangan di mana aku melihatnya bersama cewek itu. Kak Lio menutup pintu, membuatku hanya bisa berdiri kaku.

"Walau pun kita baru kenalan, tapi gue nggak mau lo salah paham tentang apa yang lo lihat di tempat ini hari itu." Kak Lio perlahan-lahan melepaskan tanganku dan menatapku lekat. "Belakangan ini gue sudah berusaha nggak mau peduli dengan apa pun yang lo pikirin, tapi gue selalu ngerasa harus jelasin kalau apa yang lo lihat itu nggak seperti yang terlihat."

Aku memang merasa respons Kak Lio terlalu datar pada cewek itu saat digoda, tapi untuk apa juga Kak Lio harus memikirkan pendapatku seserius ini sampai selalu muncul di sekitarku? Aku salah paham atau tidak, seharusnya itu tidak penting baginya.

"Kalau cuma rumor gue yang suka ngecas sana-sini, main di hotel atau punya fwb-an, gue nggak masalah. Ngga ada buktinya." Dia terus bicara dan aku hanya diam sembari memandang wajahnya. Aku selalu hampir tersenyum jika saja tidak sadar situasi. "Tapi gue nggak bisa diem aja karena lo lihat dengan mata kepala sendiri adegan yang ambigu."

Aku selalu heran dengan Kak Lio. Beberapa kali aku melihatnya, dia jarang tersenyum. Namun, ketika berpapasan denganku, senyumnya akan mengembang setipis apa pun itu. Bagaimana aku tidak berpikir bahwa aku merasa spesial sekarang? Dari caranya tersenyum sampai dia yang berusaha untuk membuatku tidak salah paham, membuatku jadi merasa dibawa terbang tinggi.

"Terserah lo mau percaya atau enggak." Kak Lio yang sempat menatap lantai ruangan ini, kini kembali menatap ke mataku. "Gue nggak seperti rumor yang beredar."

"Maksudnya, Kak Lio ngaku cowok baik-baik?" tanyaku. "Bukan cowok nakal seperti rumornya?"

"Gue nggak bilang gue cowok baik, sih. Gue cuma bilang kalau rumor yang beredar tentang gue itu nggak bener."

"Terus cewek itu...?"

Kak Lio tertawa. "Otaknya memang agak miring."

Aku merasa cemburu hanya karena tawa Kak Lio ditujukan kepada cewek lain.

"Lo terkenal karena gosip aneh tentang lo, Kak," kataku pelan. "Jadi, semua itu nggak bener?"

Sebelah sudut bibirnya terangkat. "Percaya gue, kan?"

Aku langsung memalingkan wajah karena salah tingkah. "Nggak semua rumor itu fakta. Ada juga yang fitnah."

"Jadi?"

Kembali kutatap Kak Lio yang menunggu jawabanku. "Jadi..., manusia yang tahu pasti ya cuma Kak Lio."

Kak Lio menghela napas panjang dan mendongak. Mataku tertuju pada rahangnya yang terbentuk tegas, lehernya yang indah, juga jakunnya yang bergerak ketika dia meneguk saliva. Aku mengerjap dan segera memalingkan pandanganku dari segala keindahan yang ada pada diri Kak Lio yang membuat hatiku berdebar.

"Gue dikira suka main cewek dan udah nggak perjaka karena muka gue kata mereka tipe muka playboy ditambah lingkungan pertemanan gue adalah cowok-cowok bebas yang suka main di hotel."

Jadi, maksudnya, Kak Lio masih perjaka...? Aku tak mungkin mempertegas hal itu!

"Temen-temen Kak Lio memang parah, sih. Sampai Kak Lio terseret." Kutatap Kak Lio dengan pandangan heran. "Lingkungan tuh faktor terbesar sifat seseorang terbentuk. Walaupun Kak Lio sampai sekarang nggak kayak mereka, Kak Lio apa nggak takut terbawa arus?"

"Kan ada elo." Kak Lio mendekat dan mengangkat ujung rambutku. "Rambut lo halus," katanya pelan. "Tinggal tarik gue supaya gue nggak kebawa arus yang lo maksud."

Otakku jadi tidak sinkron sekarang. Terkadang dia membahas hal-hal di luar tema pembicaraan. "Nariknya ... pake apa?"

"Pakai tali?" Kak Lio menolehkan pandangannya ketika kami terdengar suara bel, lalu menatapku kembali sambil menaikkan alisnya. "Waktu istirahat habis. Balik kelas?"

"Gue mau tanya sesuatu, Kak," kataku dan Kak Lio hanya terdiam menatapku. "Kenapa Kak Lio peduli soal pikiran gue tentang Kakak?"

"Nggak tahu." Dia menggeleng sambil menyisir ujung rambutku dengan jemari panjangnya, membuat jantungku semakin berdetak kencang. Tatapannya berpaling dari rambut ke mataku. "Kepikiran aja. Sampai gue nggak bisa tidur."

Apa benar seperti itu? Mengapa aku merasa Kak Lio melebih-lebihkan perkataannya? Namun, aku tetap merasa senang. Bagaimana aku tidak merasa melayang ketika kata-kata yang seharusnya ada dalam mimpiku malah kudengar di dunia nyata?

"Kak?" Aku mulai heran karena Kak Lio tidak hanya menggunakan satu tangannya seperti sebelumnya, tetapi kedua tangannya kini mengangkat semua rambut yang memang selalu aku uraikan. "Kak Lio mau ngikat rambut gue? Kadang memang ada orang yang risi lihat rambut orang berantakan."

Kak Lio mengerjap. Aku mendengar suara tegukan salivanya, lalu dia menarik tangannya dan mendengkus. Ibu jari dan telunjuknya memijat pangkal hidungnya yang mancung sembari tertawa pelan. Tawa khas yang selalu membuatku jatuh cinta.

"Gue barusan praktekin apa yang semalam gue lihat di video," kata Kak Lio sembari kembali menatapku. Dia tidak menatap mataku, tetapi sedikit ke bawah.

Bibir...?

"Ternyata tontonan negatif bikin gue ngelakuin hal di luar kendali." Kak Lio lalu memunggungiku. "Kita harus cepat pergi dari sini."

Aku tanpa sadar menyentuh bibirku. Apa ... yang Kak Lio bayangkan?

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro