expression diary (A)
Dalphin's Pov
Aku melemaskan otot-otot kelelahanku di atas sofa. Masih berada di tempat yang sama. Mainan yang telah dimainkan oleh Daph, kini aku hanya melihatnya berantakan.
Si pengawal perempuan kurus hingga tak terlihat bertulang itu kini memainkan kakiku menggambar nail art di celah kuku panjangku. Rasanya seperti di spa. Tak perlu mengeluarkan biaya banyak di beauty spa.
Kapan lagi Dalphin ingin mempercantik badannya, hayo?
Aku membuka file-file dokumen yang kini berada di genggamanku dengan membolak-balik layar ponsel.
Keyla Adista. Nama itu terpaut di dokumen yang saat ini aku genggam. Di sana tertera jelas, mulai dari asal-usul hingga keluarga, tempat tinggal, ataupun sebagian biodata, dan hal lain yang ku butuhkan.
Dan Keyla ... aku muak dengan orang yang bertindak sombong. Melebihkan sesuatu terkesan mempunyai kelebihan di antara semuanya.
Keyla dan Rossa, sama-sama dalam habitat yang sama. Bedanya cara menyampaikannya mereka berbeda.
Aku Dalphin ... mungkin dari sini, kalian telah mengenalku. Sikapku yang kasar dan liar.
Aku tak mau berbasa-basi lagi. Ini sungguh membosankan.
Jika tak ada kekerasan, dunia merasa ekstrim dan ... bagiku itu, terkesan membosankan. Kalian tau, dunia ini lebih kejam!
Aku terkadang merasa heran dan merasa kasihan kepada orang-orang berhati lembut. Tak jauh ialah Dapha.
Apa yang bisa mereka lakukan? Bertindak seolah tidak dapat melawan kejamnya dunia. Kau tau sendiri, Daph masih membutuhkanku. Meski dari segi perkataannya, dia selalu ingin membuangku!
Lu kira gue gak seberguna, itu?
Aku kembali memposisikan benda pipih itu di celah jemariku selagi para pengawal perempuan lainnya memotong kuku jemariku.
Kalian masih menebak Daph lah si pengirim pesan? Oh. Rupanya salah besar, sobat!
Aku mengetik panjang lebar dengan kalimat yang paling sukai--sekedar ancaman atau membawanya ke ujung maut.
2.5\4. Aku dapat menguasainya.
Salah satu alasan dimana aku sering menampakan diri dengan bebas. Membodohi orang disekitarku dengan tipu muslihat.
Hm, ya. Gadis itu lemah, dan sangat sensitif. Disaat itulah aku dapat menguasai tubuhnya dengan mudah. Aku tak sejahat itu membiarkannya di tengah kekejaman dunia. Bagaimanapun, dia adalah temanku dalam jiwa sama.
Faktor lainnya, ialah temanku yang lain. Davert, si ironis --jika terkena splite Davert, bisa-bisanya kami berada di ujung antara langit dan bumi. Perbatasan langit ke tujuh seolah kami akan terbang dari langit terjun ke pemakaman. Dan Dalvin ... aku tak bisa menebak seperti apa yang akan terjadi. Baik ataupun buruk.
Apakah kalian tak memperlihatkan kebaikanku?
***
Daph terbangun dari alam bawahnya membuka matanya lebar-lebar masih berada di ruangan yang sama. Sofa.
Ia menselonjorkan badannya berlahan. Pantas saja, dengan tertidur tengkurap membuatnya badannya pegal-pegal.
Dan ... tunggu! Apalagi ini?
Mengapa ia mengenakan nail art, kuku panjangnya kini terlihat ... cantik!
"Daph? Gimana, lo udah bangun?" goda Minke bersiul ringan. Lelaki itu berada di ruang makan menyiapkan makanan. Mungkin ini waktunya makan siang." Gimana, spa nail art-nya?"
Pertanyaan berbondong-bondong itu membuat Daph menahan pelipisnya. Gadis itu belum mencerna perkataan lelaki itu sekaligus nyawanya masih berada di ambang.
"Ha? Spa?" Pertanyaan polos membuat Minke tertawa lalu berbalik arah. Meninggalkan gadis itu dengan rasa penasaran tinggi.
Tiba-tiba saja suara berdengkur terdengar di pendengaran Daph sedekat ini. Pastinya itu ialah Dalphin, mengatakan bahwa dialah yang melakukannya!
"Dalphin!!!"
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu berulang kali di ketuk oleh seseorang meski kali ini pintunya terbuka lebar.
Daph berbalik arah mengamati seseorang dari balik pintu dengan sedikit menjinjit. Gadis itu sudah berteriak melengking dengan heboh. "Papa!"
"Ma. Papa udah pulang!" Teriak Daph seraya tersenyum menyambut kedatangan Bagas.
Nata segera menyusul keluar dari kamarnya, menyambut suaminya dengan membawakan barang-barangnya di tas ransel tersebut.
Rupanya Nata habis bermain masker. Wajahnya kini dilapisi dengan masker hitam dengan rambut yang di cepol erat.
"Kamu, tumben banget pulang jam segini," tegur Nata dengan membuka obrolan singkat. Namun Bagas tak kunjung merespon beralih ke arah Daph yang saat ini berada di ruang makan.
"Daph, ambilin Papa makan."
Singkat, padat dan jelas.
Daph tersenyum singkat beranjak berlahan mengambil nasi di magic com.
"Mas, biarin aku aja yang ambil makanan." Sebagai penolakan, Bagas menghentikan pergerakan istrinya agar tetap pada posisinya.
"Aku pingin nyuruh dia."
Nata menelan saliva susah payah. Sempat tertegun dikarenakan perkataan suaminya menampakan aura yang berbeda.
Biasanya meski kedekatan Daph dan Bagas jarang berinteraksi dikarenakan Bagas yang melulu di kantor, tetapi tak mengurangi kebersamaan ketika memiliki waktu untuk berkumpul bersama.
Saat ini, yang ia lihat dari tatapan Bagas, suaminya terkesan berbeda. Apa ada masalah dengan pekerjaan kantor?
Begitu juga menatap kediaman rumah dengan datar. Jika, mungkin saja kelelahan dikarenakan tugas kantor. Cobalah berfikir positif think, dan tak seperti biasanya pulang siang seperti saat ini.
Semoga yang dikhawatirkan tidaklah terjadi.
Nata bergegas membersihkan barang-barang suaminya selagi memindahkan ke ruang kerja menghindari kecanggungan yang ada. Sedangkan Bagas mengarah ke kursi meja makan selagi menunggu gadis itu menyiapkan makan siang untuknya.
"Kamu menyukai kehidupan baru, atau tetap berada di kehidupan lama?"
Entah dorongan dari mana. Kalimat itu sangatlah sensitif bagi lawannya bicaranya, Daph. Seketika perkataan itu membuatnya ekspresinya berubah.
"Ma ... maksud, Papa, apa."
"Bukannya, kamu udah ingat? Siapa kamu dan dimana kamu?"
PYAR!!!
Tidak sengaja Daph menjatuhkan piring berisi nasi yang kini berada di genggamannya. Matanya berair menerjap Bagas ...
Dan itulah yang Daph sebut dengan sebutan Ayah. Kini memperlakukannya dengan kasar. Memperlakukannya seolah keberadaannya disini bukan siapa-siapa. Daph tak seegois itu, meminta semua memperhatikannya. Dan Daph akan sadar itu, bahwa disini ialah bukan siapa-siapa.
Paling mengecewakan, bertindak seolah kemarin baik-baik saja dan hari ini semua akan ilang ditepis oleh kenyataan pahit yang ada.
Semua orang berhak berubah, bukan? Apa rasanya sesakit ini?
"KAMU DISINI GAK GUNA!!! Lihat apa yang barusaja kamu lakukan!" sentak Bagas kasar memperhatikan berkas pecahan kaca kini berserakan.
Gadis itu segera beranjak pergi menghiraukan pecahan kaca yang masih berserakan di atas lantai. Ia pun tak berniat membereskannya.
Hancur. Itulah yang ia rasakan seperti retakan pecahan kaca itu. Hancur lebur menjadi satu.
***
absurd banget, sih
gak nge-feel banget wkwk
Papa Bagas jadi brubah 😤😤
🌚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro