Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

amnesia

"Cece. Ingatan Daph sakit banget." Padahal hari ini, ia tak memaksakan ingatan sama sekali.  "Ce ... lebih sakit!" teriakan Daph membuat psikiater muda itu mendekat ke arahnya. Gadis itu berulang kali teriak dengan memegang denyutan kepala. "Ce, kenapa gue masih disini ngerasa inget sama mereka."

Daph mengingkis air mata yang hampir jatuh ke pelupuk, perasaan senang dan sedih menjadi satu.

Tubuhnya melemas, matanya belahan memejam, saat apa yang ia keluhkan belahan menghilang. "Ce, Daph pingin ketemu Mama Alesya, sejenak."

Kalimat terakhir membuat Prev tertegun.

Gadis itu tiba-tiba kehilangan kesadaran.

***

Kondisi Daph menjadi taruhannya. 

Lelaki itu masih meratapi kesalahannya dikarenakan teledor menjaga Daph. Apalagi perdebatan kedua perempuan itu tak kunjung berakhir. Meski saat ini peraturan di rumah sakit tidak diperkenankan. Memang bukan aturan tertulis namun sama saja bisa menganggu ketentraman pasien.

"Ini semua salahmu, karena kamu memaksakan kehendak." Nata tak bisa diam begitu saja, ia lebih mengenal Daph daripada Elsa. Meski sebagai Tantenya, perempuan itu tak mempunyai tanggung jawab.

"Aku tak memaksa. Dia yang memintaku untuk tinggal bersamanya."

"Kau tau apa tentang kondisinya? Kemana saja, kamu? Kau tak akan pernah tau, semua telah berubah!"

Darrio masih terdiam dalam posisinya. Sedari tadi, ia memperhatikan pertengkaran kedua perempuan itu.

"Maaf, Tante. Gara-gara aku--"

"Kenapa kau malah meminta maaf? Ini bukan salahmu!" Elsa memotong perkataannya anaknya bersih keras.

Bagi Nata, hak yang dikuatirkannya ketika ada sesuatu insiden yang memengaruhi kinerja otak Daph, apalagi mengenai tepat sel otak kepalanya.

Elsa boleh menganggap masalah itu tak perlu menjadi rumit, asal dia tau kondisi gadis yang kini berbaring di ruangan rumah sakit itu tak sebaik penglihatannya.

"Kalian menganggu kondisi pasien."

Suara serak-serak mengimindasi membuat ketiga orang yang saat ini beradu mulut mendadak hening.

Mereka kira itu pihak rumah sakit yang menegur kegaduhan. Nyatanya suami Nata, tak lain Bagas berada di antara mereka.

Nata beralih seorang anak lelaki yang sedari bersama Bagas. I mengenal siapa lelaki itu. Arga.

Arga mengangguk sopan masih mengenakan seragam sekolah namun tatapan Arga berbaik ketika memperlihatkan keberadaan Darrio, lelaki yang usianya sama dengannya.

Darrio yang merasa diperhatikan itu pun merespon, "Apa kamu punya masalah denganku?"

Suara decitan pintu dari ruangan inap. Seorang berpakaian jas putih itu menanyakan sesuatu. "Saya ingin berbicara dengan keluarga dekat pasien."

Dokter itu tersenyum menekan kata 'keluarga dekat'. Itu membuat Elsa seperti ada hantaman batin mencabik-cabiknya saat ini.

"Keadaan putri saya, masih baik, 'kan, Dok?" Dokter itu menuntun Nata dan Bagas memasuki ruangan pribadinya. Tak akan membahas masalah penting di dalam umum.

"Sus ..."

Prev menepuk bahu suster itu masih berada berdiri di sana padahal sang Dokter sudah meninggalkannya disini selang beberapa detik.

"Maaf--kalian boleh menjenguk keadaan pasien, meski keadaannya tak sebaik sebelumnya."

Suster itu menegur ketika Darrio memasuki ruangan menyusul Prev terlebih dahulu, Arga menahan langkahnya.

Lelaki jangkung itu menatap Darrio mengimindasi. Terlalu ketara ketika tak menyukai lelaki dihadapannya ini sebagai lawan bicaranya.

"Kedua kalinya, gue tanya, 'lo ada apa masalah ke gue, huh?!"

Arga mencengkram seragam Darrio kuat-kuat. "Gara-gara lo, Dapha, di sini. Brengsek!""

"Baku hantam, ayok!"

"Sial!" Arga mengumpat kasar melepaskan cengkeramannya pada lelaki itu. Rasanya ia ingin segera menghantamnya. Keadaan sengit masih saja sempat bergurau.

Arga mengetahui apa yang terjadi karena mengikuti Bagas. Sepulang Arga tidak sengaja ke rumah Daph menjenguk keadaan gadis itu, karena belakangan ini, absen alfa berurutan. Tidak sengaja, Bagas memberikan kabar buruk, gadis itu berada di rumah sakit dengan bantuan selang infus. Bagas juga memperhatikan apa yang terjadi sebelum keadaan memburuk, pria itu memperlihatkan rekaman CCTV dengan mudah. Meski dari jarak jauh sekalipun.

"Lo boleh nyalahin gue tentang hal itu. Tetapi, gue juga pingin jagain Dapha. Meski gue rasa keadaan mulai berbeda." Darrio menaikan alisnya mengulurkan tangan, "Gue Darrio, saudaranya Daph. U know's?"

"Beberapa kali, Daph cerita tentang lo."

***

[ Back to Indonesian ]

Prev, lah psikiater yang merawat Daph di Indonesia selama ini, setelah kepergian dari Negara Belanda ke tanah air.

Dengan bantuan pskiterapi dan pengobatan di luar negri sana, mempercepat penyembuhan Daph.

Namun kembali ...

Alur cerita kembali mempermainkannya dengan ingatannya.

Kurun waktu kurang dari enam bulan, perkembangan positif itu ada. Gadis itu kembali mengingat kejadian tragedi yang dialaminya.

Seputar ingatan tentang kecelakaan kedua orang tua kandungnya. Gadis itu memilih memberontak kasar. Kenyataan yang tak bisa diterima dengan baik.

"Dapha ingat siapa Mama kandung Daph ..."

Saat dimana, ia mulai mengingat. Gadis itu memberontak. Ia ingin kembali bersama orang tua kandungnya meski di alam berbeda.

"Dapha pengen nyusul Mama Alesya dan Papa Hari."

Daph mengambil kunci mobil didekatnya tak memperdulikan teriakan Nata yang sedari berusaha mencegahnya.

23:15

Meski menjelang tengah malam. Gadis itu menyetirnya ke sembarang arah. Kembali ke titik dimana ia menyaksikan sendiri kecelakaan yang dialami orangtuanya.

Dapha berhasil mengulangi kejadian yang sama. Bedanya, ia masih selamat atas insiden itu.

Kecelakaan di jalan sama kembali terulang. Gadis itu terpental hebat. Benturan keras di sel kepalanya membuat ingatan gadis itu cedera.

Yang fatal, ialah diagnosis gejala amnesia.

Daph akan kehilangan ingatannya dalam jangka waktu tak terkira.

Berbagai pengobatan dijalankan kembali mulai dari nol.

Seolah kehidupan baru.

Meski kenangan familier pun, gadis itu telah pasrah. Jika memaksakan ingatan yang ada kepalanya malah berdenyut sakit.

Tuhan berbaik hati masih memberikan kesempatan hidup. Meski dengan keadaan berbeda.

***

"Apakah hubungan Anda dengan pasien dengan Dapha El, lebih dekat?"

Nata maupun Bagas mengangguk. Pasangan suami-istri itu berada di ruangan dokter selagi membahas kondisi pasien.

"Dok? Bagaimana keadaan putri saya? Apakah membaik?" tanya Nata penuh harap.

"Ada kinerja lain di otaknya yang memengaruhi diagnosis pasien di riwayat kesehatan." Dokter itu membuka file lampiran riwayat kesehatan. "Amnesia?"

Baik dan buruk tidak bisa dikatakan begitu saja. "Saya hanya berharap, ini semoga lebih baik."

***

Daph tertegun dengan keheningan disekitarnya seolah tiada makhluk hidup bernafas hanya dipenuhi bunga-bunga indah indah semerbak wangi eskulin.

Gadis itu menyeka mengingat dimana ia kini berada. Ruangan serba putih terasa sunyi dengan jembatan gemerlap sinar, air mancur mengalir deras. Burung-burung saling menerpakan sayap indahnya di tengah hembusan angin.

Suasana sunyi yang Daph inginkan. Tak memperlihatkan keributan. Tenang dan sunyi. Bergerak seperti air mengalir datar jika tak bertemu dengan arus gelombang.

Ia menarik bibirnya, tersenyum cerah berlarian di tengah kesunyian selagi mengarah ke tanaman yang tumbuh disekitarnya. Entah, dimana ia berada. Seolah Daph menikmati detik ini.

Seseorang menepuk bahunya berlahan dengan tangan lembut hingga Daph berbalik arah.

Kejutan dan keajaiban, menjadi satu. Senang dan sedih, gadis itu tak mampu mengekspresikan dengan baik. Matanya berbinar sejenak orang dihadapannya ini.

"Ini Mama!"

Detik itu juga, entah mendapat dari arah mana, tak segan-segan Daph memeluk Alesya. Ya. Itu Alesya. Perempuan yang selama ini Daph rindukan. "Ma! Daph, kangen."

"Don't leave me, again! Mom's!" Daph terisak. Air matanya berlahan lirih seketika. Gadis itu merindukan sosok Mama kandungnya, tak lain Alesya. Perempuan yang kini berada tiba-tiba menampakan wujud dengan sebuah keajaiban. Keajaiban?

Alesya hanya bisa tersenyum, mengingkis air mata peri cantik kesayangannya itu. "Kamu gak takut ini tempat angker?" tanyanya mengandung tangan mungil Daph seperti saat Daph masih kecil, gadis itu selalu mengandeng siapapun orang terdekatnya.

Daph memilih berada di kursi taman, katanya agar dapat bergerak lebih memeluknya. "Disini, Daph seneng. Mana ada tempat angker seindah ini?"

Surga impian. Itulah pandangan Daph mengenai mesin waktu yang tiba-tiba saja membawanya ke tempat ini.

Daph berharap ini adalah perjalanan waktu. Agar ia bisa kembali ke masa depan, dimana tempat seharusnya berada dan kembali mengoper ke masa lalu, agar bertemu dengan Mamanya, Alesya. Karena Daph tau, Alesya tak mempunyai peran di kini begitu juga di masa depan.


***

Lah,

Dapha lagi holideey,
mybe?🙄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro