Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4/1

"Siapa pula yang menerima tantangan bodoh itu." Daph berdecak mencondongkan arah.

Begitu juga dengan Dalphin berbalik arah mendekat ke Daph berada dengan pertanyaan konyol itu. "Sial! ... Dan kau, Daph jangan terlalu bersikap pengecut. Sungguh memuakkan!" Tegas Dalphin sekali lagi dengan rahang mengeras.

Ruangan berdimensi modern ini mungkin akan menjadi tempat mereka berkelahi dengan jiwa yang sama dan raga yang berbeda. Mereka mungkin mempunyai wujud terbilang sama, namun karakter dan kepribadian mereka saling bertolak belakang.

"Kita disini bukan untuk adu debat!" cegah salah satu dari mereka berteriak lantang. Maksudnya mencegah namun yang ia dapatkan sorotan tajam dari Dalphin.

"Diam kau, Davert! Setelah ini aku akan memberikanmu cutting."

"Kau tau? Aku memenangkannya dengan mudah! Jangan buat dirimu tak berguna. Kau tau? Sungguh membosankan." Telak spontan dari Dalphin sekali lagi membuat kedua orang itu terdiam bergeming tak bersuara.

Angin menghembus menggoyangkan benda-benda di sekitar ruangan berdomisili serba lukisan dinding dengan cat yang mulai merapuh seiring dengan waktu.

Tiba-tiba saja pintu berdecit di tengah suasana mencengkram ini ditambah dengan cuaca tiba-tiba mendingin. Rasanya gemerintik hujan akan segera datang.

"Dia akan datang saat salah satu dari kita bertengkar hebat," gumam Davert, si ironis sekedar memperingatkan. Ia memiliki tatapan lebih rendah dari Daph --lebih tepatnya seolah merasa dikasihani dengan wajah putih pucatnya. Dibalik itu, salah satu kepribadian yang tidak ingin mempunyai kenangan indah. Bunuh diri --salah satu keinginan Davert.

Seperti yang dikatakan Davert, langkah seseorang terdengar jelas, buru-buru Daph beranjak lalu berkata kepadanya, "Gue disini, cuma karena pingin akhiri perbedaan argumen ini."

"Apa kau bilang? Akhiri? Seharusnya kau yang mengakhiri, kita disini juga karena kau!" Dalvin mendorong tubuh Daph dengan keras dengan tatapan datar mengintimidasi lalu mencengkram seragam putih Daph dengan berbagai sorot isyarat peringatan dari tatapannya.

Seorang pria dari balik pintu menutup mulutnya hingga tak menghasilkan suara keterkejutannya. Ia hanya melihat Daph tersungkur di lantai.

"Cukup! Kau menyakitinya sama sama saja menyakiti kita!" jerit Davert dengan tatapan memohon hingga Dalvin membanting melepaskan cengkraman pada Daph.

Yang mereka dapatkan malah tamparan keras dari Dalvin. Selain berwajah dingin tak berperasaan, ia jauh menyukai tindakan spontan daripada di dahului dengan perkataan omong kosong.

Hanya saja, kedatangan Dalvin bertindak memihak ketika terjadi pertengkaran hebat mengenai posisi mereka.

Sedangkan Davert kini membuka ventilasi jendela, menggenggam erat cutter selagi memperhatikan raut wajah Daph yang kini melemah lalu menunjukan benda yang ia bawa sebagai wujud pertolongan. "Bukankah ini jauh menyenangkan, Dapha?"

Daph mengambil cutter di tangan Davert lalu menggores horizontal dengan hingga menimbulkan luka senyatan.

Rasa sakit yang ditimbulkan dari luka senyatan itu, tentunya terkesan menyenangkan bagi Daph. Jika boleh, Daph akan menggoresnya berulang kali tak peduli hingga terus mengeluarkan darah segar.

"Pilihan ada di tanganmu, Dapha. Lebih baik, akhiri saja disini." Dalvin tersenyum sumringah saat ini otaknya dipenuhi dengan berotak iblis.

Kedatangan Dalvin memang penengah pertengkaran mereka, hanyalah yang lebih menakutkan dari sisi Dalvin, ketika segalanya menjadi jalan akhir satu-satunya. Tak ada kata bertahan atau memulainya lagi.

Arga yang sedari tadi berada di ambang pintu itu kini menghampiri Daph dengan cutter yang masih berada digenggamannya. Dengan sigap mengambil benda tersebut. Meremas secara paksa. Tak disadari bagaian cutter mengenai goresan kulit tipis Arga berlahan.

Daph mengepalkan tangan erat memutar bola mata mengarah ke Arga dengan tatapan menahan amarah sebelum bisikan dari Dalvin berasa seolah menghipnotisnya.

"Cinta itu bohong. rekayasa. menyakitkan, bukan? Temporary. Semuanya omong kosong!" Decak Dalvin dengan tawa mengemah di pendengaran Daph.

Begitu juga dengan Dalphin, Davert tersenyum sinis memperhatikan kedua orang remaja dihadapannya ini dengan berbagai tatapan jengah.

"Daph, tatap gue sekali lagi." Arga berpinta berjongkok dihadapan gadis itu. Hingga tatapan mereka sejenak bertemu, Arga kembali memenangkan gadis berambut perak itu, "I am here to be with you," ujarnya berlahan dengan mengelus rambut perak milik Daph yang kini berantakan. Semrawut.

Daph segera mengikis tangan itu bergerak mundur. Perkataan Dalvin terakhir kali masih terngiang. "Dasar! Bodoh dan lemah."

Gadis itu bersender di pojok ruangan menumpahkan seluruh tangisan air mata menenggelamkannya di balik lutut. Hampir tak menyadari seseorang di dekatnya memperhatikan gadis itu dengan perasaan campur aduk. Lagi, lagi, tak bisa melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.

Arga memukul samsak dengan tangan kosong tak memperdulikan darah yang sedari tadi berlahan menetes di ujung lengan tangannya, ia abaikan begitu saja.

Sekian detik, Daph berlahan mendongak dikarenakan mendengar suara remang-remang disekitarnya. Memutar bola mata ke seisi ruangan.

Kini suara itu menjadi terdengar jelas. Rentetan suara-suara acak yang ia sendiri tak tau asalnya dari mana.

"Bodoh. Lemah."

"Masih beruntung, kau masih hidup."

"Aku turut prihatin."

"Semoga tenang di alam, sana."

Diingatan sana, Daph kecil membubuhkan bunga anyelir di salah satu tempat peristirahatan terakhir. Tak lupa memberikan buket bunga matahari di dekat batu nisan.

"Siapa yang meninggal?" Daph bertanya dalam hati. Ingatan itu seolah memberikan petunjuk cukup jelas, seolah mengingatkan kembali apa yang pernah ia lakukan saat itu.

"Bodoh."

"Lemah."

"Lemah."

"Lemah."

"Kau bodoh dan lemah, Daph!"

Tawa renyah bergeming menjadikan alunan lagu tak bertempo. Suara-suara dan ingatan selalu menghiasi langkahnya. Terkadang ia berpikir, apakah ada yang salah dengan kinerja otaknya? Dan apa yang terjadi di masa lalu, sampai merasa sulit untuk kembali mengingat?

Daph menggeleng lemah, berusaha menyatukan materi kepingan yang selalu janggal di ingatannya. Namun ... tak sampai di situ ... ia selalu gagal. Dan dikalahkan rasa sakit yang ada. Meski mencobanya untuk melawan.

"Aarkgh!"

Lagi lagi dan lagi teriakan putus aja selalu lolos dari bibirnya ketika mencoba bertahan. "What the ..." Daph mengacak rambutnya kasar, menutup telinganya erat-erat berharap teriakan itu berhenti, meski hanya sejenak.

Arga bergegas mendekat kembali ke arah gadis itu berada, menggenggam erat pergelangan kedua tangan Daph dengan sedikit berbisik, "Haii! Semua akan membaik."

Mengapa rasanya deja-vu? Dengan cepat, Daph mengalihkan arah menghindari tatapan dari lelaki itu.

"Arga?"

Arga terlebih dahulu menarik Daph ke dekapannya. Ia hanya tak mau kehilangan gadis yang kini berada dipelukannya untuk kedua kalinya.

"Arga, biarin gue istirahat bentar."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro