Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Savira

Did you ever hear about goosebumps? Or rather, have you ever felt it?

Well, that was what I felt 1 hours and 3 minutes ago.

Dan bahkan, goosebumps itu masih kurasakan hingga sekarang, detik ini, dengan kaki yang berdiri di dekat gantungan baju-baju, mulai dari kaus hingga gaun yang bisa dipakai untuk pernikahan.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa ada di sini, berdiri layaknya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang kutahu adalah keadaan ini disebabkan oleh cowok itu.

That Aditya.

"Udah nemu baju yang bagus?" tanyanya, membuatku menoleh ke kanan dan mendapati sosoknya yang tengah mengobrak-abrik dress di salah satu gantungan.

Sebenarnya yang cewek di sini siapa? Kok kamu yang sibuk, Dit?

Kebiasaannya untuk mencari dan memilihkanku pakaian memang sudah ada dari dulu. Meskipun Adit nggak pernah protes pakaian apa pun yang kukenakan, tapi menurutnya tetap saja aku sesekali harus membeli pakaian yang mempercantikan penampilanku.

Aku hafal betul selera Adit. Dia sukai motif bergaris atau motif bercak putih. Nggak jarang shirt dengan motif-motif itu masuk ke dalam lemariku sebagai hadiah dari Adit. Selain shirt, dia pernah membelikanku beberapa dress pendek dan satu gaun yang kami pilih bersama saat anniversary ke dua kami. Tapi, aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk memakainya di depan cowok satu ini.

Well, I won't ever do that.

Aku bahkan belum menyentuh gaun itu sama sekali. Dan seingatku, gaun itu masih ada di kardus barang-barang kuliahan yang ada di apartemen Bagas. That dress still sleep quietly in my past box.

Harusnya aku buang sekalian sama boksnya ya?

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan kembali memerhatikan Adit.

"Kita cuman mau makan siang, 'kan? Aku hanya perlu pake gaya casual, right? Untuk apa belanja beginian, Dit?" kataku setengah memprotes. Aku menatapnya heran bercampur tak suka, namun nampaknya dia mengabaikanku dan kembali memerhatikan baju-baju yang tergantung itu.

"Dit, please listen to—"

"Sav, seenggaknya kamu harus kelihatan rapi." Adit tiba-tiba memotong ucapanku begitu dia mengambil beberapa pakaian dan memegangnya. "Kamu tahu Mami gimana, 'kan? Kamu masih ingat kan Mami, kan? Kerjaannya Mami? Dan penampilan itu salah satu faktor bukan ngeyakinin Mami."

Oh, aku lupa. Tante Ratna itu fashion designer, dan otomatis penampilan adalah perhatiannya.

"Jangan protes. Anggap aja hadiah dari aku," putus Adit tiba-tiba, membuatku melongo. Lagi-lagi keputusan sepihak.

"But I don't need those."

"No, you need these."

"I don't."

"Yes, you do."

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Sumpah, ya! Apa dia nggak tahu yang namanya mengalah dari perempuan?

Oh, bodoh. Bahkan dia sepertinya nggak mau tahu.

Adit berjalan mendekati salah satu pegawai dan memberikan pakaian tersebut. Ada sekitar beberapa menit Adit menunggu di sana sampai pegawai tersebut memberikan sebuah plastik dengan nama dari toko tersebut tertulis di sana. Kemudian, Adit berjalan ke arahku dan langsung menyodorkan plastik itu ke arahku.

"Aku nggak tahu kalau selera kamu udah berubah atau nggak. But I know my mom will love how this dress suits you." Ada sedikit kekesalan begitu aku mendengarkan ucapannya yang seakan terdengar di telingaku seperti "you have to wear this tommorow".

Hanya saja suaranya membuatku sedikit hanyut. Dalam hitungan detik otakku bahkan mulai membayangkan waktu-waktu yang dulu kuhabiskan bersama cowok satu ini untuk berbelanja.

We were a lovely couple, Dit. We were. But now that "lovely couple" thing has turn into thing to be hated. Isn't that funny?

Rasanya pikiranku masih melayang, dengan hati yang kembali tergores karena imajinasi sendiri. Tapi begitu ada kehangatan yang menggenggam tangan kananku, rasanya hati ini berhenti melukai diri sendiri.

"Yuk." Cuman satu kata itu yang Adit ucapkan, lalu dia menarik tanganku dengan lembut dan membawaku keluar dari butik tersebut.

Aku tidak bisa melawannya. Tapi di sisi lain, aku tidak merasakan adanya unsur paksaan di dalam genggaman tangannya. Genggaman ini terlalu nyaman dan hangat untuk dikategorikan sebagai paksaan.

Adit menghentikan langkah kakinya begitu kami berada di luar mall. Kini tangan kanannya bergerak menyentuh bibirku, mengusap sesuatu di sana sebelum dia menempelkan salah satu jari yang dia pakai untuk menyentuh bibirku barusan ke bibirnya.

"Dari tadi remahan rotinya sedikit ngeganggu."

Aku tidak mengerti. Why he said it that easily?

Tidak ada ekspresi berlebihan yang ditunjukkan wajahnya. Dia tetap pada posisi dan ekspresi calm and cool miliknya itu, dan jujur aku mulai merasa risih. He did that thing to win the deal?

Aku tertawa. Well, you just ten years too fast to win, Dit. I'm not that stupid.

Kuyakinkan diriku sendiri kalau aku harus membalasnya. Membalas perbuatannya dan tertawa kalau-kalau dia tiba-tiba mengaku kalah setelah pembalasanku.

Aku melakukan tepat seperti yang dia lakukan, menyapu bibirnya dengan jari telunjukku.

Well, I did just like what he did to me. But, Dit. Please explain this one to me.

Did your heart bumps when you touched my lips with those fingers?

Fuck you, Dit. Kamu buat hati aku nggak nyaman karena ini.

But still, I won't let you win.

*

Begitu selesai berbelanja, Adit langsung mengantarku.

Satu hal yang kutahu sekarang, sebuah tindakan bisa memengaruhi masa depan. Well, act always do.

Hanya karena ajang balas dendam konyol tadi, aku dan Adit nyaris tidak berbicara mengenai apa pun. Cowok itu diam, tatapannya tetap tertuju ke depan dan fokus pada jalanan, sementara aku hanya duduk dan merasa baru saja menjadi orang linglung.

Tuhan, untuk berikutnya tolong ingatkan aku untuk berpikir dua kali sebelum bertindak.

Sesekali aku memerhatikannya. Dia masih sama. He doesn't even care to look at me. Even for a second.

Sekitar 30 menit aku menghabiskan waktuku dengan new part time job. Duduk sambil memikirkan kebodohan apa saja yang kulakukan hari ini. Dan bagusnya, kebodohan terbesarku hari ini baru saja kulakukan tadi.

Aku menghela napas menyadari kalau aku sudah sampai di apartemen. Kutepuk pundak Adit tanpa mengatakan apa pun. Hanya sekadar memberi tanda untuk menghentikan mobilnya.

Meskipun canggung dan setengah ikhlas, aku tetap mengucapkan terima kasih.

"Thanks for the ride. Aku turun di sini."

"Jangan lupa besok, Savi."

Aku baru saja membuka pintu mobil dan Adit sudah mengeluarkan suaranya. Matanya menatapku sebentar sebelum beralih ke plastik belanjaan yang ada di tangan kananku.

"You should wear that dress."

"Aku punya baju sendiri, Dit."

"Sav, kamu lagi nggak nyuruh aku buat ngejelasin soal Mami lagi, kan?"

Adit mengangkat sebelah alisnya, menatapku seakan berkata apa yang kukatakan tadi salah. Aku seharusnya tidak membuat perlawanan.

Yah, buat kamu, aku emang selalu salah sih, Dit. Nggak heran.

Hanya untuk kali ini saja, aku mengalah. Kali ini nggak ada niat sama sekali untuk berdebat dengan Adit.

Aku masih memegang pintu mobil sampai Adit memanggilku. Kali ini suaranya lebih pelan dibanding sebelumnya.

"Savira."

"What?"

Untuk beberapa detik raut wajah Adit masih seperti biasanya. Tapi kemudian sebuah senyuman mengembang di wajahnya dan aku tahu kalau...

"Mungkin kapan-kapan kamu harus nyentuh aku di tempat lain buat bikin aku kalah. Misalnya di..." Adit sengaja menghentikan kata-katanya dan matanya memandangi celananya sendiri. Just what the heck is in his mind? Pervert!

Shit! Shit! Kenapa harus dibahas sekarang, Dit? It was already a half hour ago and you try to talk about it now?

Aku harus mengingatkan diriku lagi, lagi, dan lagi. Apa pun yang dilakukan Adit ke depannya, seberapa manisnya dia, itu hanya sebuah taruhan.

It's just a stupid deal. And I don't want to look stupid because lose from that stupid deal.

"Aku jemput kamu besok di kantor. I'll call you tomorrow."

Suara Adit mengembalikan setengah kesadaranku yang hampir saja terbakar. Cowok itu masih tersenyum.

Mungkin kebanyakan orang akan menggunakan waktu seperti ini untuk mengucapkan perpisahan. Tapi aku berbeda. Adit juga jelas tidak membutuhkan hal semacam itu.

"Aku nggak bakal kalah, Dit. Nggak bakal," kataku lantang, dan nampaknya Adit menyambutnya dengan santai.

Does he think that he will win this?

"Me too, Sav. Cowok nggak bakal segampang itu nyerah," katanya sebelu mengedipkan matanya.

Aku cepat-cepat menutup pintu mobilnya, menatapnya tajam sebelum berlari ke dalam apartemen tanpa mengatakan satu kata pun padanya. Entah dia mau mengedipkan mata lagi atau apa, I don't give a fuck. Kalau aku terus di sana bisa-bisa aku dikirim ke rumah sakit jiwa.

Oh, mungkin aku harus. Aku harus bertanya barangkali ada penyakit khusus yang disebabkan cowok menyebalkan seperti Adit. Atau mungkin Adit memang benar-benar benda berbahaya yang tidak seharusnya didekati manusia normal seperti diriku.

Kakiku baru saja melangkah naik ke tangga, namun seseorang sudah menyebut namaku dari atas tangga.

"Savi!"

Aku bahkan belum sempat menyahut dan orang itu langsung menyerangku dengan kalimat lain.

Dan demi Tuhan, aku berharap kalau dia bukan...

"Cowok tadi siapa?"

Orang yang memanggilku ini memang Bagas. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro