Chapter 6
Begitu selesai makan siang, Savi langsung pamit untuk kembali ke kantor. Namun semua itu langsung ditepis dengan Adit yang memaksa untuk mengantar Savi ke tempat kerja.
Adit bilang tidak baik membiarkan cewek pulang sementara dia bisa mengantar. Dan lagi, ini bisa jadi awal yang bagus buat memulai sandiwara mereka. Meskipun awalnya Savi menolak, pada akhirnya dia menerima tawaran Adit karena dia sendiricukup sadar kalau sudah tidak sempat untuk kembali ke kantor dengan bus.
Nggak banyak obrolan yang terjadi di antara Savi maupun Adit begitu keduanya masuk di dalam mobil. Adit menyibukkan diri dengan persneling dan stir—meskipun sejujurnya dia ingin bicara banyak dengan Savi—sementara Savi mulai mengeluarkan batangan logam yang dipercaya bisa bekerja sebagai obat anti canggung di saat seperti ini.
''Sav.'' Akhirnya, Adit mengeluarkan suaranya dan membuka percakapan. ''Pulang kerja kapan?''
''Pulang kerja?'' tanya Savi mencoba memastikan, dan kepala Adit langsung mengangguk.
Tadinya Savi ingin menjawab ''None of your business, Dit'' atau kalimat serupa. Tapi yang keluar dari mulutnya justru kalimat lain, entah kenapa.
''Kalau lagi nggak lembur, jam 6 sudah sampai di rumah.''
Mata Adit sedikit melebar begitu menangkap satu titik baru dari respons Savi. ''Oh, kamu tinggal di rumah? Kirain di apartemen atau flat.''
''Tinggal bareng teman,” koreksi Savi, membuat Adit manggut-manggut. Secara teknis, itu memang apartemen sih. Tapi mengingat Bagas yang sering menyebutnya rumah, Savi jadi ikut menyebutnya dengan hal yang sama.
Lagi pula, dia tidak perlu menjelaskan segala macam detail ini pada Adit kan? Untuk apa juga?
Gumaman pelan lolos dari bibir Adit tatkala cowok itu membalas, ''Oh, gitu.''
Hanya itu. hanya sebuah percakapan singkat nan sederhanan sebelum mobil kembali sunyi. Adit jadi bingung mau mengangkat topik apa lagi jika balasan Savi terus begini.
He misses the old time, to be honest. Bagaimana Savi tertawa dengan tatapan yang tertuju pada Adit, bagaimana Savi menggenggam tangan Adit, dan bagaimana cewek itu mencuri ciuman di pipi Adit.
Can we go back, Sav?
Pertanyaan itu selalu terngiang di kepala Adit. Tapi apa daya, dari gelagatnya saja Adit yakin kalau Savi membencinya. That old Aditya Bhagawanta sudah hilang dari peredaran bagi Aruna Savira .
Adit sempat memerhatikan Savi sejenak sebelum matanya teralih pada karton putih yang tergulung di ransel cewek itu.
''Itu apaan? Sketsa baru?'' tanya Adit, sekali lagi memecah keheningan.
Pertanyaan Adit barusan membuat Savi ingat akan satu hal. Tanpa pikir panjang dia mengambil gulungan karton itu dan membukanya, mencoba menunjukkan karton tersebut pada Adit.
''Ini proyek baru. Tapi aku ngerasa ada bagian yang kurang... you know, something is missing here,'' ujar Savi. Tanpa sadar cewek itu sudah berbicara cukup panjang pada Adit.
This is a good chance to start a conversation, pikir Adit dalam hati. Begitu lampu merah, Adit menginjak rem mobilnya, mengalihkan kepalanya ke arah karton sebelum meminta Savi untuk sedikit menggeser karton itu lebih dekat ke arahnya.
''Soal fasad* sih menurutku sudah bagus kok, Sav,'' celetuk Adit santai. Cowok itu kembali meneliti coretan demi coretan pensil yang Savi buat.
(*tampak depan bangunan.)
''Tapi menurutku nih mending kamu bikin mezanin* juga. Barangkali kalau ada barang-barang yang perlu, bisa ditaruh di sana. Buat apartemen cocok tuh.'' Jari-jari Adit bergerak menunjuk ke salah satu sketsa gedung dengan perspektif burung di karton. “Ini rancangan buat apartemen kan, ya?”
(*lantai tambahan di antara lantai dengan atap.)
Sadar akan lampu yang sudah berubah warna, Adit langsung menginjak gas dan kembali menyetir mobil. Sementara itu, Savi masih memandangi gambarnya dengan otak yang mencoba menggabungkan gambarnya dengan Savin Adit.
Memang itu yang kurang.
Savi kembali menggulung kartonnya dan memasukkan ke dalam ransel. Dia memandangi jalan di depan sebelum meminta Adit untuk menghentikan mobil. ''Kamu nggak perlu masuk. Aku turun di sini aja.''
''Nggak papa?''
''It's fine.''
Adit langsung memutar stir ke kanan dan memberhentikan mobilnya di situ. Saat mobil berhenti, Savi belum juga turun. Dia memandangi Adit untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang perlu dia beritahu.
''Thanks, Dit. Makasih sudah ngantar dan ngasih saran juga.'' Meskipun lidahnya sedikit kelu, tapi kata-kata itu tetap saja keluar.
Adit tersenyum kecil kemudian mengangguk. ''Bukan apa-apa kok.''
Sekarang Savi makin yakin kalau Adit memang nggak berubah. Cowok ini tetap pintar, sama seperti dulu, di samping fakta kalau cowok ini juga masih jadi bajingan.
''Kalau gitu aku pergi dulu. Takut telat,” putus Savi sambil membuka pintu dan keluar dari mobil.
''Kay, take care.''
Savi menarik ranselnya sebelum tangannya membuka pintu mobil. Belum Savi mengeluarkan kakinya, Adit kembali memanggil.
''Savi, nanti cek email.''
Kalau saja Adit nggak membantunya tadi, mungkin Savi sudah berteriak memaki cowok ini. Tapi kali ini, anggap saja Savi mau membalas budi.
''Gonna check it later,'' ujar Savi pelan. Dia tersenyum kecil kemudian turun dan menutup pintu mobil.
Savi masih berdiri di dekat trotoar saat Adit melajukan mobilnya kembali ke jalan. Rasanya ada yang sedikit aneh di sini. Perlakuan Adit sedikit melembut.
Apa itu karena persetujuan mereka tadi? Atau Adit memang sedang memamerkan bakat barunya berupa acting ala soap opera?
Ternyata Adit punya bakat baru. Karena sekarang Savi justru merasa dia baru saja kembali ke masa lalunya.
Kesepakatan ini terasa sedikit lebih nyata dibanding yang Savi bayangkan sebelumnya.
*
Savira
Begitu memasuki kantor, Lisa, teman sekantorku, langsung menghampiriku yang baru saja menapaki kaki masuk ke ruang reservasi.
''Where have you been?'' tanya cewek berambut pirang itu sambil menepuk pundakku.
''Makan siang bareng teman lama,” aku menjawab seadanya sambil terkekeh pelan. Harusnya aku teman lama. Tapi, sudahlah. Hanya kata itu yang terpikir dalam kepala.
''Pak Bagas bolak-balik ke kantor nyariin, lho,'' Lisa langsung menyambar kemudian dia menghitung jarinya, seakan mencoba memberitahuku sesuatu. ''Tiga kali dia nyariin lo.''
“Nyariin aku? Untuk?”
Bahu Lisa seketika mengendik selagi dia menggelengkan kepala. ''Kayaknya mau ngajak makan siang,'' jawab Lisa menerka-nerka. Aku hanya bergumam kecil sebelum membenarkan ranselku dan berjalan ke arah lift. Mungkin aku harus menemui Bagas lebih dulu.
''Ternyata di sini kamu, Sav.''
Pintu lift yang tadinya hampir tertutup kini kembali terbuka lebar, memberi jalan untuk cowok berjas hitam yang masuk ke dalam lift bersamaku. Yang aku cari ternyata sudah datang sendiri.
Aku sedikit menunduk sebelum membalas senyumannya. “Pak Bagas.”
''Dih, berasa tua dipanggil gitu.'' Bagas berdecih pelan, namun dia masih tersenyum. ''Kamu kemana? Tadi aku nyariin di kantor nggak ada.''
''Habis makan siang,'' jawabku cepat. Mataku mencoba memerhatikan angka-angka yang berubah di dekat pintu lift. Kenapa mau ke ruangan saja lama sekali? Aku jadi agak canggung.
Mungkin aku cukup dekat dengan Bagas, tapi beda cerita kalau di kantor. Semenjak namaku menyelinap ke dalam gosip karyawan, aku berusaha untuk tidak begitu menonjolkan kedekatanku dengan atasan yang sering dipanggil ''Pak Ganteng'' oleh para bawahannya ini. Sungguh, menjadi bahan gosip merupakan hal yang cukup fatal untuk karir.
Lagi pula, sebenarnya aku dan Pak Bagas ini tidak sedekat yang orang pikirkan. Sorry for disappointing.
Aku masih penasaran dari mana asal-usul gosip kedekatan kami, dari kabar kami sering pulang bareng sampai kami yang terlibat dalam hal-hal ekstrim—I don’t really have to mention it, right?—tapi aku dan Bagas tidak punya hubungan apapun. Kami hanya kebetulan tinggal di satu atap yang sama. That’s it and that’s all.
''Kenapa nggak bilang? Biar bisa bareng.'' Suara Bagas membuatku menolehkan kepala ke arahnya.
Aku mencoba mencari kata yang tepat untuk menjelaskan, karena tidak mungkin aku dengan gamblangnya bilang ''Habis makan sama mantan pacar, Pak”. Aku masih cukup waras.
Terkekeh pelan, aku meralat isi pikiranku dengan, “Habis makan sama teman lama, Pak.”
Aku bersyukur karena Bagas tidak bertanya lebih soal apa yang kulakukan. Yang dia tanyakan justru, ''Oh, teman lama yang waktu itu kamu ceritain?''
''A-ah, iya, yang waktu itu.''
Pada akhirnya, lift berbunyi dan pintu pun terbuka. Dengan cepat aku langsung melangkahkan kakiku keluar lift. Sebelum pintu lift tertutup, bisa kulihat Bagas tersenyum ke arahku.
''Tadinya aku kira lunch bareng pacar. Jadi parno sendiri.''
Okay. That sentence just kills me directly.
“Semangat kerjanya, Sav. See you at home.”
Pintu lift tertutup, membuat sosok Bagas hilang dari pandanganku.
Begitu sosok itu hilang, aku langsung menjongkokkan tubuhku. Ingin rasanya aku berteriak sambil menarik rambutku dan seluruh bulu di kulitku.
Oh, seketika aku merasa baru menjadi trichotilomania*.
(*Penyakit/sindrom dimana
seseorang ingin mencabut
seluruh bulu di tubuhnya,
dari rambut sampai kaki.)
Ucapan Bagas seakan jadi kaset rusak dengan suara yang terus-menerus terputar ulang dalam kepalaku.
Pacar, katanya.
Pacar.
Pacar.
Astaga! Kenapa aku baru sadar sekarang?
Bagaimana nanti kalau Bagas tahu aku dan Adit punya kesepakatan untuk... pacaran? []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro