Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 35


[Kalau ini adalah pengorbanan, maka katakanlah seperti itu. Biarkan untuk setiap pengorbanan yang kulakukan menghadirkan pengharapan. Seperti yang akan kulakukan putraku.]

- Kim Sohyun -


Setiap kenangan sejatinya selalu akan terekam. Meninggalkan jejak sebagai ingatan, entah itu berupa memoar baik maupun buruk. Untuk setiap kejadian buruk, terkadang terkubur sementara. Mengatasnamakan ketakutan yang dijadikan tameng sementara untuk menghindar. Ya, menghindar dari kenyataan yang semestinya dihadapi. Sama halnya dengan mengumbar senyum terpaksa atas ketidakpuasan atas hidup yang dijalani. Semua itu sekadar kepalsuan untuk menutupi setiap kenangan yang sewaktu-waktu bisa kembali menyeruak. Hanya masalah waktu.


Pada akhirnya, sesuatu yang dimulai semestinya harus disudahi. Seiyanya manusia tidak akan bisa melupakan karena mereka memiliki akal. Yang bisa dilakukan hanya menepi sejenak untuk mencari ketangguhan lain untuk menghadapi kesakitan yang membelenggu secara tak kasatmata. Dan mungkin bagi Sohyun, masa itu pun tiba. Ketika labirin pikirannya kembali menemukan jalan yang lantas membuka jalan untuk menemukan kenyataan. Meski tidak ada yang menjanjikan kenyataan yang ditunjukkan padanya akan berakhir dengan senyum. Kenangan yang terlanjur dicap sebagai kenangan indah nyatanya berbaur kepahitan yang harus dihadapinya.


"Aku akan mengambil kopi untukmu." Sohyun melirik punggung pria berbahu lebar—Daniel—yang tidak lama setelah menyampirkan mantelnya, pergi keluar.


Bukankah dia jahat karena memperlakukan Daniel begitu dingin sementara pria itu hanya ingin berbagi kebaikan? Namun, entahlah. Sohyun masih merasa gelisah sebelum Taejung benar-benar sadar. Suaranya bahkan enggan keluar sekadar ingin berterima kasih.


"Taejung-ah, kau mendengar, Ibu, kan? Ibu mohon, cepatlah bangun, Sayang." Sohyun menggenggam erat tangan Taejung seolah ia tengah berdoa di tepi kasur Taejung.


Sesaat mantel yang sempat menyelimuti bahunya pun merosot. Tanpa disengaja, Sohyun membaui mantel yang dipungutnya. Mendadak iris Sohyun mendelik. Indera penciumannya mengenal bau cologne yang agaknya sudah lama dilupakannya. Memang ini bukan saatnya untuk mengagumi aroma wangi yang menyeruak di mantel Daniel, tapi bau tersebut membangkitkan kenangan buruk yang sempat dikuburnya.


Penculikan hari ini seperti mengulang jejak rekam yang pernah terjadi padanya. Keitka rasa gelap dan dingin terus membayangi dan menyelimuti kehidupannya. Termasuk membangunkan setiap potongan ingatan buruk yang berusaha disamarkan dan coba ditepisnya. Kendati demikian, masa kelam itu tak akan pernah dilupakannya. Salah satunya, bau yang kini dihirupnya sekarang. Citrus yang pekat, sama seperti bau pria yang dulu menggerayangi tubuhnya.


Salahkan takdirmu yang bertemu dengan Jeon Jungkook. Maafkan aku karena aku harus berbuat begini padamu.


Kata-kata menjijikkan itu berdengung jelas. Meski Sohyun mengerang, meronta, bahkan mengiba ketakutan, tapi tidak ada belas kasihan untuknya. Kala itu tersisa indera penciumannya yang terus membaui aroma pria untuk mendeteksi keberadaan pria tersebut. Apakah ia mendekat atau menjauhkan tubuhnya.


Petunjuk yang luput dan sempat terlupakan. Trauma yang dalam berhasil mengaburkan kewarasannya demi melupakan kelaknatan malam itu. Sohyun pernah berpikir itu adalah jalan yang terbaik untuk memulai kehidupan baru dengan janin yang dibawanya pergi. Melupakan semuanya. Ya, semua itu sempat dilupakannya.


Akan tetapi, sekarang, dia ingat. Aroma yang pernah menjajah tubuhnya demi sebuah dendam pada Jungkook. Daniel dan Jungkook, bukankah kedua orang itu saling membenci? Mungkinkah dia terseret dalam pertikaian yang tidak dimengertinya? Sejenis permainan yang berujung pada hidupnya yang tragis?


Sohyun menggeleng intens. Perasaannya carut marut. Hatinya terus meyakinkan bahwa Daniel tidak mungkin melakukan hal bejat tersebut. Tidak mungkin. Bagaimanapun dia pria kesukaan Taejung. Namun, sisi lainnya bersikeras ingin menemukan jawaban. Setidaknya ia tidak akan berpikir buruk lagi bila tahu kenyataannya. Akan lebih baik kalau tebakkannya salah.


Setelah yakin dengan pendiriannya, Sohyun bergegas keluar. Nuraninya terus meyakinkan bahwa Daniel, pria yang selama ini dianggap sebagai pelindungnya, bukan dialah yang sudah menghancurkan hidupnya. Bau yang sama, semua ini tak lebih dari kesengajaan semata. Bau yang sama dengan pria menjijikan saat itu.


"Kang Daniel-ssi ...!"

Sohyun ingin terlihat tenang, tapi hanya bertahan beberapa detik sebelum perasaan marah mengusainya. Membayangkan Daniel yang mungkin memperkosanya, membuat lubang neraka dalam hidupnya, itu cukup menjadi alasan untuk membuat emosinya tersulut.


"Soh—"


Wanita yang terlihat kuyu itu menarik lengan baju Daniel dengan tak sabaran. Satu hal lagi yang harus ia pastikan adalah parut di lengan pria itu. Sohyun masih ingat pria itu memiliki partu kasar. Seketika tenaga Sohyun bak menguap tatkala menemukan jejak itu di tangan Daniel.


"Soh—"


Plak!


Sebuah tamparan keras yang juga disaksikan Jungkook, membuat iris Daniel melebar. Tidak puas berakhir dengan tamparan, Sohyun mulai menarik kerah baju Daniel.


"K-k-kau ... kau ... bilang padaku kalau aku salah. Bahwa bukan kau pria yang sudah menghancurkan hidupku! Cepat katakan!" Sorot mata Sohyun meruncing. Di bola matanya terpantul kebencian dan amarah yang membuncah.


"Soh—"



Buk!


Kali ini sebuah pukulan lebih kuat menerjang wajah Daniel sebelum pria Kang itu menyelesaikan kalimatnya.


"Berengsek! Ternyata kau yang membu—"


"HENTIKAN!" pekik Sohyun menghentikan gerak Jungkook yang siap untuk menghantam wajah Daniel untuk kesekian kalinya. Wajah wanita itu memucat. Tanpa sadar air matanya berderai.


Sohyun kembali mendekati Daniel. Hidungnya tampak memerah dengan mata yang turut berkaca-kaca. "Katakan padaku, Daniel-ssi. Sepertinya tadi aku terlalu emosi, tapi apa pun yang kaukatakan, aku akan percaya padamu!"


Benar. Sohyun ingin percaya bahwa bukan Daniel yang sudah bersikap keji itu. Hatinya tetap ingin percaya kalau ia salah sudah menampar Daniel.


Seharusnya lebih mudah berbohong, dengan begitu Sohyun tidak akan membencinya. Namun, hati Daniel tersayat melihat tatapan Sohyun yang tampak percaya padanya. Sial sekali, mulutnya rasa kelu untuk menutupi semuanya. Semua kebaikannya selama ini terlihat semu.Di bukan orang seperti yang di harapan Sohyun. Tidak mendekati. Sebaliknya, dia hanyalah pria berengsek yang berpura-pura baik dengan harapan bisa membayar hutangnya dalam diam. Mengharapkan pengampunan di balik kejahatan yang sudah ditorehkan.


"Katakan kalau aku salah! Kumohon ...." Suara Sohyun kian parau.


Air mata menjadi saksi saat Daniel bersimpuh. Kakinya bak kehilangan tumpuan. Sama halnya dengan tenaga di tubuh besarnya ikut menguap diikuti kepalanya yang tertunduk. Bahu Daniel tampak bergetar, bergerak naik turun.


"Maafkan aku."


Sohyun sontak memalingkan wajahnya seraya menyeka air mata. Dalam beberapa detik, ia sempat menutup mata. Kenyataan ini lebih mengerikan dari yang dibayangkan. Membuatnya berharap bisa segera menghilang.


Jungkook memeluk tubuh Sohyun yang terlihat goyah.


Wanita Kim itu kembali panik. "Ini bohong. Iya, 'kan, Kook? Semua ini bohong!" Sambil memukul dada bidang Jungkook, Sohyun mengerang mendengar kata-kata yang bahkan tidak dianggapnya sebagai penyesalan. Ataupun layak untuk diampuni.


Sohyun lanjut bilang, "Tidak mungkin! Bagaimana bisa aku selama ini bersama dengan pria yang sudah menghancurkan hidupku? Dia yang sudah merusak hidupku! Dia iblis! Aku membencinya! Aku tidak akan pernah memaafkannya!"


Di koridor sepi itu, hanya terdengar raungan Sohyun yang sesekali memekik. Daniel sendiri masih terduduk bersimpuh. Menekuk kedua lutut, menundukkan kepala, dia terlihat menyedihkan. Semua ini tidak pernah terancang sebagai bagian dari rencana balas dendamnya. Termasuk jatuh cinta.


Jungkook masih mengusap kepala Sohyun. Berusaha membantu menenangkan wanita Kim yang terpukul ketimbang mendahulukan keinginannya untuk memukul Daniel. Saat ini Sohyun lebih membutuhkannya. Begitu juga dengan Taejung.


Sementara Daniel hanya akan perlu menunggu saatnya tiba. Saat untuk membayar apa yang sudah dilakukannya.

***

Setiap tetes yang mengalir di slang yang menuju nadi si wanita diharapkan bisa memulihkan tenaganya yang terkuras. Hari yang berat. Setelah mengalami kejadian buruk—penculikan—kini wanita yang sama itu harus bergulat kembali dengan kisah kelamnya. Sudah lima jam sejak Sohyun kehilangan kesadaran diri. Tidak hanya lelah secara fisik, tapi juga batin. Luka yang tidak pula terjabarkan oleh kecanggihan alat kedokteran sekali pun. Wajah rapuh itu terlihat cantik, walau terkulai pucat. Ia tampak damai. Seolah sedang tertidur untuk menepi sejenak dari segala kalut yang bertubi-tubi menghantam.


Mengusap lembut pipi wanita yang dicintainya,  Jungkook berharap Sohyun segera membuka matanya. Dia ingin memperlihatkan keajaiban lain pada Sohyun. Sekaligus menebus rentang waktu yang selama ini tak menghadirkan dirinya sebagai pendamping.


"Kumohon jaga dia sebentar." Sungjae yang menemukan Jungkook di ruang Sohyun memutuskan untuk membiarkan Jungkook untuk menjaga Sohyun. Walaupun sejak awal dia tidak begitu menyukai Jungkook, kini Sungjae bisa melihat ketulusan pria Jeon. Terlebih karena pria itu pula dia, Sohyun, dan Taejung bisa dibebaskan. Lagi pula, harus ada seseorang yang menjaga Taejung, dan Sungjae tidak mungkin bisa melakukan kedua hal itu secara bersamaan.


Untuk hari yang terbilang berat untuk dilalui, Jungkook termasuk kuat untuk bertahan. Sesekali pria Jeon itu berjalan bergantian; memeriksa kamar Sohyun dan juga putranya, Taejung. Cekungan manis terbit dari kedua sudut bibirnya sesaat ia menemukan Taejung sudah terbangun. Taejung sudah sadarkan diri dan tampak tertawa dengan Sungjae dan beberapa pria yang menjaganya.


"Taejung-ah, hyung akan keluar sebentar untuk membelikanmu makanan yang paling enak."


Taejung mengangguk ketika Seunho dan Younmin diajak pergi Sungjae dengan paksa. Keduanya pun menyapa Jungkook yang berjalan mendekati sisi ranjang Taejung.


Sekarang, menyisakan dirinya dan Taejung. Berdua. Bukan sebagai Paman Jeon dan Taejung, melainkan seorang ayah dan anak.


"Di mana Ibu, Paman?"


Namun, agaknya Jungkook berharap terlalu cepat. Ia mengira seketika sadar, Taejung bergegas memanggilnya ayah. Sayang, sebutan paman masih terdengar. Jungkook menduga Taejung sepertinya belum mengetahui statusnya.


Suara Taejung juga terdengar parau. Masih terbaring di tempat tidurnya, Jungkook tersenyum simpul pada pria kecil yang masih butuh istirahat untuk memulihkan diri. "Ibu sedang kembali ke rumah. Mengambil barang-barang yang dibutuhkan untuk menemanimu di sini," jawab Jungkook canggung.


"Paman Jeon ...."



Jungkook menaikkan alisnya saat suara kecil itu kembali memanggilnya.


"Terima kasih sudah menyelamatkanku dan Ibu," tutur Taejung.


Miris. Rasanya Jungkook tak sabar lagi ingin mengatakan bahwa dialah ayah kandung Taejung. Namun, hatinya juga dirundung rasa takut. Bagaimana kalau Taejung terguncang setelah tahu kebenarannya? Bagaimana kalau pria itu menolaknya?


Jungkook memilih mengangguk dan meremas tangan kecil Taejung sembari tersenyum. Sama halnya dengan Taejung yang ikut membalas dengan senyuman lirih.


Terima kasih, Ayah! Taejung membatin.


Sejujurnya, Taejung sangat ingin menyerukan kata 'ayah'. Akan tetapi, tidak sekarang. Tidak sebelum ibunya tiba. Taejung tetap akan menunggu untuk menyebut kata ajaib itu dari mulutnya. Akan menjadi kebahagiaan dan obat terbaik baginya bila mendapati ayah dan ibunya hadir di sini bersamaan. Menggambarkan arti sebuah keluarga yang sesungguhnya. Keluarga yang telah lama menjadi impiannya. Doa sederhanya yang selalu terhatur

***

To Be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro