Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 30


[Hujan tak selamanya terlihat seperti tetesan hujan yang menggerus waktu untuk menunggu langit kembali cerah. Hujan terkadang hadir untuk memberikan kesejukan dalam setiap langkah saat mencari langit cerah.]

- Kim Sohyun -


Masih terlalu pagi kala seorang wanita yang mengenakan kaca mata hitam, dengan heels tak tak terlalu tinggi, dress di bawah lutut—sedikit lebih panjang—melakukan pertemuan dengan seorang pria. Pria yang dari penampilan luar terlihat kontras dengan si wanita.

Ia yang terlihat seperti bagian dari kaum elit, tidak tampak sepadan bersanding dengan pria yang memiliki parut di pipi kirinya. Meski mengenakan pakaian formal; kemeja dan jas hitam, tak lantas membuat si pria terkesan rapi.

"Aku akan memberikan sisanya setelah pekerjaanmu benar-benar beres! Kau mengerti?"


Pria itu mengangguk. Aturannya sederhana. Ia hanya akan menuruti perintah orang yang membayarnya. Uang sama dengan titah. Sebagai pelaku kejahatan bayaran, itu jadi prinsip teguh selama menggeluti bisnis dunia gelap ini.

Sebelum pergi, wanita itu kembeli memutar badan. "Satu lagi! Kalau kau tertangkap, jangan libatkan aku dalam kecerobohanmu!" Peringatan lain yang membuat sang pria berdesis sinis.


"Tenanglah. Aku dibayar untuk melakukan semua dosa kotormu! Bukan untuk membuka topengmu!" sarkas si pria sambil menyeringai.

Sudah cukup puas, wanita yang sama beranjak. Ia terlanjur membulatkan tekad. Cara ini yang paling mudah dan tak Peru mengotori tangannya demi sesuatu hal yang ingin dicapainya. Yang perlu ditunggunya ketika semua alur cerita ini berubah mengikuti rencananya. Kalaupun ia harus terjatuh, maka ia tak ingin jatuh sendirian.

***

Usapan lembut membuai Taejung yang tertidur lelap. Akan tetapi, tidak dengan Sohyun. Matanya masih awas. Sulit terpejam. Masih hari yang mesti dilalui dengan berat. Semakin lekat dirinya memandang Taejung, lantas semakin kuat ingatannya mengulang semua pertemuan dengan Jungkook.

Hari ini Sohyun mungkin lolos dari semua kebohongan. Namun, besok? Atau keesokan harinya? Hari lainnya? Hanya menunggu waktu. Semua ini bagaikan bom yang menanti kapan akan meledak. Tinggal menunggu kapan terbongkar.

Seandainya hari buruk itu benar datang, apa saat itu Taejung akan memaafkannya?

Aku mencintaimu ... dan putraku.

Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Buaian yang jelas terlarang dan hanya menyeretnya jatuh pada lubang yang sama. Berkali-kali Sohyun menggeleng, menampik segala ingatan yang tidak boleh dikenangnya. Tidak juga menyimpan semua kata-kata manis sebagai harapan.


"Sohyun-ah!"

Wanita yang dipanggil namanya itu bergegas menyeka air mata tatkala ada Sungjae yang datang dan berdiri di depan pintu kamar Taejung yang sedikit terbuka. Sohyun kembali menyelimuti putranya. Setelah memastikan pria kecil itu tertidur lelap, secara perlahan ia pub beranjak dari kamar Taejung.

"Kau sudah meminum obat yang kubelikan untukmu?" tanya Sungjae.

Sohyun tersenyum simpul, lalu mengangguk. Setelah menegak obat pun, perasaan sakitnya masih sama. Bibirnya tetap pucat, hanya tidak menampik denyut di kepalanya jauh lebih baik. 


"Sampai kapan kau akan menyimpannya sendiri?"

Kepala Sohyun mendongak. Ia menatap Sungjae. Sepertinya dia terus membuat orang-orang di sekitarnya merasa cemas, terlepas mereka belum mengetahui pergumulan batin yang dihadapi Sohyun. Keinginannya begitu kuat untuk menyimpan semua masalah sendiri, tapi apa hari ini terbaca dengan mudah sehingga dirinya terlihat begitu kasihan?

"Atau apa perlu aku yang menebak apa yang sebenarnya terjadi denganmu?"

Tenggorokan Sohyun kian mengering usai mendengar ucapan Sungjae yang lugas. Tidak ada yang menyukai berbohong. Nyatanya, berbohong itu melelahkan. Menyita pikiran dan tenaganya. Terlebih ketika kebohongan itu kini jadi bumerang, berbalik menyerangnya.

***

Cuaca hari ini terbilang tak biasa. Hujan sedari malam kemarin belum berhenti. Hingga pagi ini yang mendesak Sohyun untuk kembali bekerja, rintik hujan belum juga reda. Ditambah beberapa kali hentakkan petir, membuat Sohyun bingung memikirkan cara untuk segera berangkat ke kantor.


"Taejung-ah, Ibu sudah meminta Paman Yook menemanimu hari ini. Jadi, jangan membuka pintu pada sesiapa pun selain Paman Yook. Mengerti?"

Putra kecil itu mengangguk mantap. Tangannya diangkat dan ditempelkan di pelipis kanan, memberi hormat pada sang ibu layaknya kapten kapal yang ada di imajinasinya.

Perangai Taejung membuat Sohyun tak tahan untuk terkekeh. Tingkah polos yang jadi penyemangat dan terang di hidupnya. "Aigo ... putraku!" Sohyun lantas mendekap tubuh kecil Taejung yang tertawa karena sesekali Sohyun menggelitikinya.



Keduanya berhenti bergurau ketika mendengar suara ketukan dari luar pintu.

"Tuan Kang?" Sohyun tampak terkejut sesaat membuka pintu.

"Paman!"

Namun, tidak dengan Taejung. Dia berlari kencang menghampiri pria tampan yang pernah menghabiskan malam bersama. Dekapan Taejung agak kuat hingga membuat Daniel memundurkan langkah.


"Bagaimana pagimu, Kapten Kecil?" Dengan mudah Daniel mengangkat tubuh Taejung.


"Luar biasa, Kapten Besar!" balas Taejung tak kalah semangat.

Sohyun tersenyum geli mendapati tingkah kedua pria yang mengabaikannya. Hanya butuh waktu semalam, dan lihat sekarang, pria yang berbeda tinggi dan umur itu menjadi sangat dekat. Layaknya ayah dan anak.


"Sohyun-ssi ... aku ke sini untuk menjemputmu!"

Kedua alis Sohyun meninggi. Senyum lebar pria Kang itu menjadi pesona lain yang membuat hatinya berdesir.


"Kuserahkan ibuku padamu, Kapten Besar!"

Baik Daniel dan Sohyun, keduanya sama-sama tertawa mendengar selaan Taejung. Begitu polos. Ia terus mengucapkan semua hal yang terlintas di kepalanya.


Hari ini mungkin tak sekelam hari kemarin. Walau diawali dengan hujan yang begitu deras, buktinya masih ada seseorang yang menawari Sohyun sebuah payung. Memberikan keteduhan yang saat ini memang dibutuhkan.

***

"Aku diperkosa!"

Mulut Sungjae bak terjatuh kala untuk pertama kalinya mendengar pengakuan Sohyun.

"Aku pergi karena aku harus, Oppa. Aku takut saat itu. Aku merasa jijik dengan diriku. Mungkin tak sama seperti dulu, tapi ketakutan itu masih tersimpan dalam ingatanku."

Sungjae masih tergagu mendengar penuturan Sohyun. Tangannya ingin menyeka air mata yang perlahan turun membasahi pipi si wanita. Kendati demikian, tidak semudah yang dibayangkan. Tangannya malah tersekat. Ia takut sentuhannya bakal menyakiti Sohyun.

"Paman!"

Lamunan Sungjae sontak buyar. Atensinya beralih pada pria kecil—Taejung—yang menarik bagian bawah bajunya.

"Bagaimana kalau mengerjakan ini?"


Taejung begitu polos. Dengan iris jernihnya, pria kecil itu tampak memelas sekadar ingin diajari Sungjae. Belajar mewarnai di buku gambarnya.

Sungjae menatap iba pada Taejung. Sama halnya dengan Sohyun, ia pun merasa kesal pada dirinya yang sama sekali tidak berada di samping Sohyun kala wanita itu tersakiti. Ketika wanita itu merasa dunia telah membuangnya. Kenapa dia tidak segera menyadari bahwa Sohyun sedang membutuhkannya?


Membayangkan Sohyun yang trauma harus pergi sembari membawa jiwa lain di tubuhnya, menurut Sungjae itu juga bukan perkara mudah.

"Paman!" Sekali lagi Taejung menyentak tangan Sungjae yang larut dalam pikirannya sendiri.


Tangan lebar si pria Yook menyentuh lembut kepala Taejung. Mengusapnya penuh perasaan. Rasa yang bercampur aduk kini bermain bebas di hati Sungjae. "Taejung-ah, maafkan, Paman!" Sungjae lantas memeluk Taejung dengan air mata yang menitik.

Matanya ikut terpejam seiring rasa bersalah di dirinya belum surut. Sungguh ia menyesali datang terlambat untuk menyembuhkan luka hati sang adik, Kim Sohyun.


Sementara itu di salah satu kediaman mewah yang terletak di salah satu kawasan elit Kota Seoul, pria Jeon itu duduk berhadapan dengan wanita yang masih sah berstatuskan istrinya.


"Kenapa dengan mukamu? Kau habis berkelahi?" Jennie mencoba mencari tahu alasan wajah berantakan Jungkook.

"Ini!" Tidak menjawab pertanyaan Jennie, Jungkook malah menyerahkan berkas yang katanya harus ditandatangani sang istri. Bisa ditebak apa yang jadi isi berkas itu. Benar! Surat perceraian mereka.


Selain mendengkus, tidak ada lagi yang bisa dilakukan Jennie. Tidak terpikirkan satu pun cara yang bisa membuat Jungkook berhenti memikirkan untuk menceraikannya. Jennie tidak punya apa pun yang bisa dipakainya agar bisa bernegosiasi dengan Jungkook yang sebentar lagi akan membuangnya.

"Apa setelah pernikahan kita berakhir, kau akan menikahi Kim Sohyun? Bersatu dengan putramu dan membina rumah tangga yang harmonis seperti permintaan ibumu?" Jennie sendiri tidak tahu kenapa sampai saat ini mulutnya tidak pernah bisa berkata lembut pada Jungkook. Terus melontarkan nada sinis yang memperburuk image-nya di depan sang suami. Ah ... mantan suami, tak lama lagi.


"Kau bisa mengantarkannya setelah menandatangani semua berkas ini. Kalau kau tidak bisa mengantarnya, aku akan menyuruh orang untuk menjemputnya. Aku pergi dulu!"
Jungkook berdiri. Sama sekali tak membalas sindiran Jennie.

Aneh. Dia tidak terlihat seperti Jungkook yang dikenal Jennie. Terlalu mudah bagi seorang Jungkook yang angkuh untuk menerima semua sarkasme tanpa membalas.


"Yak! Tunggu!"


Jennie menghadang langkah Jungkook. Menyelisik wajah pria yang sama sekali tidak menghadirkan aura ketus. Malah menampilkan raut lelah yang kentara.


Jauh tidak terbayangkan, Jennie merasa hatinya sakit melihat pria Jeon itu bersedih bukan karenanya. Melainkan demi wanita yang dulu hampir menggagalkan pernikahannya, Sohyun.


"Kalau aku bilang aku mencintaimu, apa mungkin semuanya akan tetap seperti ini Jeon Jungkook?"

Inilah keputusan Jennie. Tiba di titik akhir, ia bisa mengakui perasaannya ketimbang tidak dianggap selamanya oleh Jungkook. Ditolak daripada tidak pernah mengungkapkannya. Setidaknya setelah ini, ia memiliki alasan untuk menyudahi hubungannya dengan Jungkook. Ataupun perasaannya.

Ya, setelah ini dia mungkin akan menangis lagi. Namun, begitula. Kadang, kenyataan tidak seindah bunga tidurnya.

***
To Be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro