
Page 28
[Kebahagiaan tak hanya diartikan dengan sebuah senyuman. Tangis yang kauberikan padaku, terkadang itu juga kebahagiaan yang kuterima.]
- Kim Sohyun -
"Ini salah! Kumohon hentikan, Kook!" Sohyun memundurkan badannya seiring dia memalingkan wajah. Memang, rasa 'gila' itu masih bergejolak di dalam diri, tapi dia tidak lupa bahwa kenyataannya Jungkook merupakan suami Jennie. Milik orang lain. Bagaimana Sohyun bisa menampik kenyataan tersebut? Tidak bisa! Kegilaan ini harus berhenti.
Cukup di masa lalu dirinya mengambil keputusan yang salah. Tidak ada kesalahan kedua kalinya. Atau luka yang berulang sama bila pada akhirnya hanya akan menenggelamkan asanya.
Sementara Jungkook menatap nanar ke arah Sohyun. Tidak hanya sulit menegak salivanya, lidahnya pun terasa pahit, sama seperti perasaannya. Tangan Jungkook mengepal erat. Sejujurnya, dia tidak tahu harus mulai berbicara dari mana, mengingat tahun-tahun yang dijalani Sohyun tidaklah mudah.
Haruskah ia mulai dari mempertanyakan siapa ayah Taejung yang sebenarnya, meski ibunya sudah memberitahu bahwa dialah sosok yang dimaksud. Atau mencari tahu kisah alasan wanita Kim itu menutupi kenyataan bahwa dia adalah korban pemerkosaan?
Mulut Jungkook tersekat. Di kepalanya penuh dengan tanda tanya, tapi tidak ada satu pertanyaan yang mampu lolos, kecuali bibirnya yang terus bergetar. Seandainya ia bisa menemukan jawabannya tanpa perlu mendesak Sohyun, pasti jauh lebih baik.
Kegetiran yang dilewati Sohyun, Jungkook bahkan tidak ingin mengingatnya. Namun, untuk saat ini pikirannya tidak bisa mencerna baik. Rasa gusar, marah, dan iba bergelut jadi satu. Ia ingin mengetahui semuanya.
"Pulanglah." Berdiri membelakangi Jungkook, suara Sohyun terdengar mengiba. Sambil memeluk dirinya sendiri, wanita itu coba meredam kegelisahannya yang masih membuncah. Di kondisi sekarang ini, Sohyun bergidik ngeri dengan dirinya.
Sohyun merasa hatinya akan melemah seandainya pria Jeon itu terus hadir di hidupnya.
Baik pikiran dan perasaannya, semua terusik. Seakan suatu hari nanti akan membangkitkan sisi jahat di dirinya yang terkungkung. Sebagian kata hatinya begitu ingin mengambil cinta Jungkook. Bukannya mereka masih saling mencintai? Namua, ada sebagian hatinya yang juga memperingati dirinya untuk tetap bertahan—sadar diri. Keputusan yang salah, tidak hanya akan membawa penderitaan untuknya, melainkan pada orang lain, seperti Daniel dan Jennie.
Sentuhan hangat dari belakang tubuhnya sontak membuat jantung Sohyun kembali berdegup tak beraturan. Melihat pinggangnya, sudah ada tangan Jungkook yang melingkar di pinggangnya. Pria Jeon itu turut menyandarkan dagunya di bahu Sohyun. Desah napasnya terasa jelas, menyentuh kulit leher Sohyun.
"Maafkan aku, Hyun."
Suara parau itu membuat Sohyun terdiam. Namun, lebih aneh karena ia merasa bahunya basah. Tatkala ingin memutar badan, geraknya dicegah Jungkook yang menahannya.
Menarik napas dalam, Jungkook berkata lagi, "Biarkan aku begini. Aku tidak mau kau melihatku yang terlihat menyedihkan seperti sekarang. Sekali lagi, maafkan aku datang terlambat."
Lanjutan kalimat yang belum utuh dimengerti Sohyun. Kendati begitu, tangan yang mendekapnya semakin erat. Bukan sandiwara, Sohyun bisa merasakan ketulusan Jungkook yang lantas membuatnya tersentuh.
Pada saat tenaga Jungkook dirasa mulai mengendur, Sohyun bergegas memutar badannya. Ia menatap Jungkook yang tertunduk. Masih sulit dipercaya, pria yang dulu terkenal dengan kepercayaan diri yang tinggi, kini terlihat sangat rapuh.
Menangis? Sohyun kira kata itu tidak pernah ada di kamus Jungkook. Akan tetapi, sepertinya ia kini mengerti kalau penilaiannya salah. Jungkook juga sama sepertinya. Sama-sama rapuh. Sosok itu juga menyimpan kepedihan di balik ekspresi tajam yang selalunya ditampilkan.
Mengikuti nalurinya, secara perlahan Sohyun mengusap pipi Jungkook. Sangat lembut. Sakit, iya. Ia juga merasa perih melihat pria yang dicintainya tampak hancur. Di sisi lain, Sohyun sadar dirinya seperti mengulang kebodohannya. Menawarkan kebaikan yang akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri.
Jungkook sontak merengkuh tangan Sohyun, lalu mengecupnya lembut. Air matanya kembali berderai diikuti rasa sesal yang berkecamuk.
"Kenapa harus sesulit ini untuk mencintaimu?" tutur Sohyun lirih.
Keduanya saling berpadangan. Bertemu hanya untuk terluka, termasuk kehidupan yang selama ini keduanya lalui dengan kekosongan.
"Aku mencintaimu, Kim Sohyun."
Kalimat yang pernah sangat dirindukan, pada akhirnya bergema di rungu Sohyun. Kalimat sederhana yang mampu membuatnya jadi wanita yang paling bahagia. Hanya saja, semua ini sudah amat terlambat.
"Juga putraku."
Ucapan Jungkook yang terakhir memaksa mata Sohyun mendelik.
Namun, tidak dengan Sohyun. Meski awalanya ia ragu, tapi Jungkook gagal menahan dirinya. Butuh keberanian untuk mengatakan langsung. Bisa jadi iu karena egonya. Ego seorang ayah. Ego seorang pria yang menuntut pengakuan sebagai ayah Taejung.
***
Memilih lokasi perkemahan yang ramah lingkungan dan menyenangkan, kedua lelaki dari generasi berbeda itu terlihat bersenang-senang.
Sesekali mereka tertawa dan bercanda dengan teman perkemahan lain, yang memang kebanyakan didominasi pasangan ayah dan anak. Hal yang tidak terlihat jauh berbeda dengan Daniel dan Taejung. Keduanya juga tampak akrab dan serasi layaknya sebuah keluarga yang bahagia.
"Apa ini menyenangkan?" tanya Daniel menatap Taejung yang hampir sepanjang hari tersenyum.
"Sangat menyenangkan, Paman," jawab Taejung lugas.
Daniel lega. "Syukurlah," ucapnya mengusap kepala Taejung. Setidaknya usaha keras untuk menarik perhatian Taejung, tidak berakhir sia-sia. Senyum di wajah Taejung dinilai setimpal.
"Paman Kang!"
Alis Daniel berjungkit tatkala Taejung menarik baju lengan bajunya. Ekspresi penuh senyum perlahan berubah jadi ekspresi serius dari seorang bocah.
"Apa Paman benar mencintai Ibu?" Satu pertanyaan tanpa basa-basi membuat membuat Daniel terkesima.
Namun, akhirnya ia mengikik. Mau bagaimana lagi, Daniel benar-benar sudah terpikat dengan Taejung. Akan menyenangkan seandaianya benar pria kecil itu adalah putranya. Cerdas, lucu, menyenangkan, ah ... terlalu banyak hal baik yang bisa dipujinya untuk menggambarkan sosok Taejung.
Kendati demikian, Daniel tidak sepenuhnya berani menyimpulkan. Bila benar Taejung adalah darah dagingnya, Daniel berpikir kemungkinannya untuk meminta maaf pada Sohyun atas dosanya dulu akan lebih besar. Tidak mungkin Sohyun akan memisahkan ikatan batin ayah dan putranya, bukan? Kemungkinan itu kecil sekali.
"Apa di wajahku terlihat tidak mencintai Ibumu, Taejung-ah?" Sambil tersenyum, Daniel gantian melontarkan pertanyaan pada Taejung.
Yang ditanya—Taejung— menatap lamat-lamat wajah Daniel. Dengan serius, pria kecil tersebut mencermati setiap lekuk wajah Daniel, seperti berusaha mencari kebohongan yang terpatri di wajah Daniel.
"Dan Ibu, apa dia juga mencintai Paman?"
Untuk pertanyaan ini, Daniel kontas tersenyum kecut sambil mengalihkan pandangannya jauh ke depan. Bukan dia tidak bisa menjawabnya, tapi bukankah lebih tepat bila Sohyun yang bisa menjawab?
Mencintai rasanya bukan kata yang tepat. Melainkan membuka diri. Apa Sohyun mau membuka diri untuk Daniel? Memberi kesempatan untuk mencintainya?
Menyelisik dari raut cantik itu, Sohyun rasanya masih menyimpan cinta untuk saingannya, Jeon Jungkook. Bisa dilihat bagaimana air muka Sohyun kerap berubah sendu setiap menatap Jungkook.
"Paman berharap Ibumu bisa bahagia. Hanya itu. Bagaimana menurutmu? Apa jawaban Paman sudah terdengar keren?" Daniel terkekeh, berhasil menyamarkan gurat miris di wajahnya.
Bahagia. Seandainya melepas Sohyun semudah ucapannya. Benarkah ia sanggup kehilangan wanita Kim itu? Membiarkannya kembali pada Jungkook?
***
"Aku tidak bisa menerima ini semua!"
Nyonya Jeon, wanita separuh baya yang anggun itu tampak menyilangkan kaki saat besannya, ibu Jennie mendatanginya dengan amarah membuncah.
"Bagaimana bisa Jungkook memiliki seorang selingkuhan saat bertunangan dengan putriku? Lalu memiliki seorang anak? Cih, sudah jelas keluarga kalian m menipu kami!" Nada nyonya Kim masih meninggi.
"Menipu?" Ibu Jungkook berdecak sinis. Bibirnya menyungging, lalu mulai berdiri. "Akui saja, kita berdua sama-sama menipu. Walau sebenarnya aku tidak sepenuhnya setuju dengan ucapanmu. Putrimu, Jennie, dia bahkan sudah mengenal gadis itu. Dia juga yang menyetujui pernikahan dengan Jungkook, meski sudah tahu Jungkook tidak mencintainya.
Bukankah sejak awal pernikahan ini hanya untuk keuntungan dua keluarga? Keluarga kalian juga tidak sesuci yang kaupikirkan. Karena itu, jangan terlalu menggerutu, Nyonya Kim. Kalau kau di posisiku, aku yakin kau juga akan melakukan hal yang sama," lanjut ibu Jungkook dengan tenang.
Sementara itu, ibu Jennie menegak ludahnya. Ucapan itu sulit dibantah. Perjodohan, sejatinya ini hal yang biasa terjadi di antara kaum elit. Menikahkan putra-putri mereka demi eksistensi di dunia konglomerasi. Cinta, itu hanya faktor kesekian, pada saat keuntungan menjadi prioritas utama.
Ibu Jennie berdesis, "Jadi sekarang kau akan membuang putriku karena dia tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga Jeon? Setelah semua yang terjadi, kau lebih menerima anak haram yang akan menjadi cucumu? Pewaris harta keluarga Jeon selanjutnya tanpa khawatir anak itu berasal dari seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya? Wah ... sulit dipercaya! Akhirnya silsilah keluarga Jeon yang terhormat akan bernoda dengan jejak anak haram dan di luar pernikahan. Menyedihkan."
Nyonya Jeon menyeringai tipis saat sindiran tajam disematkan untuknya. Tanpa dijelaskan, ia sudah mengerti. Dirinya juga menyesalkan kebodohan sang putra yang bermain-main dengan wanita tidak jelas dan tidak sebanding dengan keluarga mereka. Lebih bodoh, karena wanita itu berakhir dengan sebuah janin.
Namun, mungkin itu dulu. Mungkin itulah menariknya takdir. Ternyata, menantu ideal seperti Jennie, hanya terlihat sempurna secara fisik. Kesalahan fatalnya, ia mandul. Fakta kejam yang mengugurkan semua kesempurnaan seorang Jennie dalam sekejap.
Sekarang ... setidaknya Nyonya Jeon masih bisa bernapas lega. Ia merasa beruntung karena keluarga Jeon tetap memiliki penerus keluarga. Jeon Taejung, putra kecil Jungkook, cucu kandungnya, eksistensinya lebih dari cukup. Ya, dia cuma butuh pria kecil itu.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkan keluargaku. Tapi aku bisa mengurusnya sendiri."
Sama seperti yang dialami Jennie, kedatangan nyonya Kim berakhir denga hinaan. Kendati begitu, terlalu mudah baginya bila menyerah sekarang. Setidaknya ia perlu membalas semua hinaan yang diterima sang putri, dirinya dan keluarganya. Setelah apa yang dilakukan keluarga Jeon pada mereka, membuang putrinya bagaikan sampah, mungkin ia juga perlu membuang harga diri keluarga Jeon.
***
(to be continued)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro