Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 25


Bukankah semuanya terbilang terlalu mudah untuk jadi kenyataan? Kendati begitu, Sohyun tidak bisa menampik rasa bahagianya. Wanita itu menyambut baik tawaran Kang Daniel yang memintanya kembali bekerjasama di Seoul.


Meski terdengar biasa, tapi bagi ibu tunggal seperti Sohyun, satu-satunya cara agar ia bisa terus membiayai hidupnya dan Taejung adalah dengan bekerja. Ia bukan anak konglomerat yang diwariskan harta yang tidak bakal habis tujuh keturunan. Karena itu, bekerja bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan. Lagi pula Sohyun sadar diri. Dirinya tidak ingin menjadi beban pada orang-orang di sekitarnya.


Singkatnya, Sohyun menilai Kang Daniel adalah orang yang baik. Bahkan terlalu baik. Terkadang kebaikan pria Kang itu membuat Sohyun merasa cemas. Ada rasa khawatir setiap berjumpa pria bermata kecil menggemaskan itu. Namun, saat ini Sohyun tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Daniel.


Sohyun tersentak. Lamunannya burai. Ia yang tadinya sedang merapikan baju Taejung, bergerak cepat menuju pintu depan tatkala mendengar bunyi bel. Sohyun menduga Sungjae yang datang, sosok akrab yang juga adalah tetangga yang tinggal di rumah bawah. Mungkin ia dan Taejung sudah selesai berjalan-jalan.


"Tuan Kang?"


Namun, tebakannya salah. Iris Sohyun membola kian lebar tatkala menemukan pria berbahu lebar dengan tampilan agak kacau itu; rambut belum tertata rapi, kemeja agak keluar, tetap mengumbar  senyum khasnya. Kang Daniel.

"Lama tidak berjumpa, Sohyun-ssi." Pria itu terengah-engah, lalu menyapa dengan kikuk. Tampak ragu mengangkat tangannya—meski pada akhirnya ia berhasil. Hanya sebuah senyum yang dirasa bisa menyamarkan detak jantungnya yang berantakan. Termasuk kedatangannya yang buru-buru.

***

Hening. Senyap.

Suasana yang sejak awal sudah terkesan sepi itu, tak  pula berubah, walau kini sudah ada dua orang yang berada di rumah. Hanya ada suara dentingan rapuh dari gelas kaca dari arah dapur yang sesekali memecah kebungkaman pada saat Sohyun sedang  menyeduh teh.


Sementara Kang Daniel, kakinya terus bergerak naik turun. Kepalanya mendadak kosong. Ia lupa topik apa yang pertama kali harus dibicarakan. Ada pertentangan di benaknya. Di satu sisi, suara hatinya yang terdengar kesal menyuruh Daniel untuk pergi secepat mungkin. Kedatangannya dianggap sia-sia. Wanita itu mungkin masih menaruh perasaan pada Jungkook. Namun, di sisi lain, suara yang lebih lembut memerintahkan dirinya untuk bertahan. Bahwa kesalahan di masa lalu masih bisa diperbaiki. Suara hati itu juga mengatakan bahwa tidak apa-apa untun jujur. Mengatakan kalau dirinya sangat merindukan si wanita Kim yang terlanjur memporak-porandakan perasaannya.


"Silakan diminum, Tuan Kang."


Daniel kembali gelagapan. Sohyun menyuguhkan  minuman untuknya. Segelas teh untuk mukanya yang sudah terlebih dulu memanas.

Tidak jauh berbeda, Sohyun juga gelisah. Terlihat dari cara ia meremas tangannya, sementara Daniel tidak juga membuka suara. Jujur saja, pria Kang itu tidak terlihat seperti biasanya. Sosok yang kerap terpancar ramah terlihat aneh duduk mematung dengan wajahnya yang terpasang kaku.


"Kau baik-baik saja, Tuan Kang?"


"Di mana Taejung? Aku ke sini ingin melihat Taejung." Bukan menjawab tanya Sohyun, Daniel kelimpungan dan mengalihkan bahan pembicaraan.


Taejung. Ya, nama itu membuatnya merasa lebih santai. Setidaknya ia menemukan bahan obrolan dengan harapan mengikik rasa canggungnya yang hanya berduaan dengan Sohyun.


"Taejung sedang keluar."

Jawaban singkat Sohyun lantas membuat keduanya kembali diam. Daniel juga merasa aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak seperti ini. Namun, entah kenapa setelah Sohyun memutuskan kembali ke Seoul, semua kepercayaan diri Daniel seakan turut runtuh. Dirinya tidak pernah menyangka rasa suka pada Sohyun akan sebesar ini. Ditambah sosok itu adalah wanita yang dulunya pernah disakiti olehnya. Ada rasa takutnya yang mencecarnya bila semua ini ketahuan.


Mendapati Daniel yang terus diam, Sohyun lantas memberanikan diri bertanya, "Maafkan aku, Tuan Kang. Bolehkah aku bertanya sesuatu? Mungkin pertanyaan ini akan membuatmu sedikit merasa tidak nyaman."


Leher Daniel menegak. Mata kecilnya menatap Sohyun yang terus meremas jemarinya.

Melihat Daniel tersenyum, lalu mengangguk, Sohyun kembali bersuara. "Kenapa? Kenap kau sangat baik padaku?" Akhirnya pertanyaan yang menyelimuti rasa penasarannya berhasil dilontarkan. Tanya yang kadang membuatnya cemas.

Sohyun percaya, pasti ada alasan tertentu. Rasanya tidak mungkin Daniel memberikan peluang dan kesempatan yang baik padanya tanpa terlalu mengenalnya. Hal itu yang ingin diketahui Sohyun dan mungkin, hari ini pula dia bisa mendapatkan jawabannya.


Daniel tampak terkejut. Alisnya meninggi secara spontan. Bibir atasnya juga menyungging per sekian detik sebelum akhirnya ia mengular senyum lebih hangat. "Karena aku tertarik padamu."


Sebuah jawaban lugas bergantian membuat Sohyun tertegun. Perasaannya berubah. Cemas yang berganti dengan gemuruh hebat di dadanya. Sebelum pada akhirnya sekujur tubuhnya terasa memanas. Sebuah sipu di pipinya tidak terhindari seiring Sohyun mengamati wajah tampan itu tetap tersenyum.


Daniel sendiri lega. Lebih mengejutkan karena kecemasannya bak menguap. Memang, tidak ada teori sempurna perihal waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaan seseorang. Daniel hanya melihat kesempatan ini sebagai peluang baginya. Kesempatan untuk menggugah perasaan Sohyun padanya.


"Aku sudah menyukaimu sejak lama, Kim Sohyun," sambung Daniel. Kali ini ucapannya lebih jelas.

***

"Kau akan pulang malam ini?"

Jungkook memutar badannya dan—jujur saja— terkejut melihat kehadiran sang istri yang sudah berdiri di  pintu kamarnya. Maklum saja, sejak menikah, keduanya memang tinggal di kamar terpisah. Baik Jungkook dan Jennie, sama-sama tidak mengusik kehidupan satu sama lain.


"Rasanya janggal kalau kau perhatian padaku," ketus Jungkook, lalu melanjutkan mengenakan jas kerjanya. Sosok tegap itu memperhatikan dirinya sekali lagi di depan kaca sebelum akhirnya ia merasa cukup puas.


"Aku akan menunggumu pulang." Ucapan lainnya yang membuat Jungkook memandang heran pada Jennie.


Namun, tidak dengan Jennie. Ia tidak merasa ada yang aneh dengan ucapannya. Bukankah suatu hal yang wajar bila seorang istri bertanya kapan sang suami pulang? Terlepas ia sangat sadar bahwa pernikahan ini dilandasi tanpa cinta. Tetap saja, secara hukum, Jungkook adalah suaminya. Miliknya yang sah. Tidak ada yang aneh kalau dia bertanya ke mana pria itu akan pergi. Atau kapan ia pulang. Itu semua jadi haknya selaku istri yang sah.


"Aku akan ke Jeju sore ini," ujar Jungkook sembari memasang jam tangan mewah di pergelangan tangan kirinya.

Jennie berdesis. Air mukanya berdecak sini. "Kau mau ke Jeju dan menemui wanita yang bahkan tidak merindukanmu? Kau menyedihkan, Jeon Jungkook." Sindiran tajam terus terhujam dari si pemilik bibir tipis itu.


Jungkook menanggapi dengan seutas senyum tipis. Ia tidak terlalu mengambil hati ucapan Jennie. Toh, dia pun tidak memerlukan izin dari Jennie untuk hal yang diambilnya. Atau yang nantinya akan dilakukan.

Sohyun. Nama itu sudah cukup alasan penting baginya. Terlepas carut marutnya hidup yang keduanya jalani, Jungkook bersikeras untuk mencari caranya sendiri agar bisa kembali berbicara dengan Sohyun. Setidaknya dia butuh penjelasan. Dan semua itu tergantung Sohyun. Apakah penjelasan wanita Kim itu nantinya bisa meluruhkan ambisinya Jungkook yang membuncah.


Jungkook akan berhenti pada saat ia merasa harus berhenti. Namun, sebeluam ia puas dengan penjelasan dari Sohyun, tentang alasan wanita itu meninggalkan dan menghilang darinya selama ini, Jungkook tidak berniat melepaskan wanita Kim itu dari hidupnya.


"Aku pergi dulu."

Tepat pada Jungkook akan meninggalkan Jennie, sosok bertubuh mungil itu lantas menangkap tangan Jungkook. Mendekat, lalu berjinjit. Mendaratkan ciuman singkat di bibir Jungkook.


"Apa yang sedang kaulakukan?" Alih-alih tersentuh, Jungkook berujar dingin. Perlahan ia menjauhkan tubuh Jennie. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan dirinya tergoda.


Bekunya hati Jungkook menjadi tamparan sendiri bagi Jennie. Sakit hati, jelas. Tindakan ini bukan hal yang mudah. Selain butuh keberanian, Jennie seakan menggadaikan harga diri dan kesadarannya demi memenuhi tuntutan sekitarnya. Khususnya, demi keluarganya.


"Aku ingin memiliki seorang bayi darimu." Jennie kembali membuat pernyataan yang membikin dahi Jungkook berkerut. Jennie sudah tidak peduli lagi. Ia memutuskan untuk mengikuti rencana sang ibu yang terus mendoktrin bahwa inilah—memiliki anak—jadi satu-satunya jalan keluar bagi mereka. Sebuah pengorbanan yang jadi tanggung jawab Jennie.

"Kau ... sakit," jawab Jungkook menohok, " berhentilah meminta hal yang kau sendiri sudah tahu jawabannya."


Mata Jennie memerah. Hatinya seperti dulu dilubangi begitu besar. "Kalau begitu, apa perlu aku memberitahu tentang Kim Sohyun pada ibumu?" ancam Jennie.

Bibir Jungkook tergagu. Curang. Selain menyebalkan, ucapan Jennie terdengar licik. Membawa nama keluarganya, Jennie yang sekarang tidak ada ubahnya dengan ibu Jungkook yang sama menyebalkannya.


"Silakan. Aku tak peduli."


Jungkook kembali berderap pergi. Pintu depan apartemen tertutup agak kuat.

Tidak lama berselang setelah kepergian Jungkook, tubuh Jennie terperosot. Wanita kecil itu menitikkan air mata. Terhina, malu, terpukul, rasanya tak ada hal baik yang diterimanya. Suami? Keluarga? Semua sama saja. Bagi mereka, dia tak lebih dari pajangan atau boneka. Senyum Jennie sama matinya dengan hatinya yang terlanjur menghitam karena rasa benci.

Kim Sohyun. Nama itu memuakkan. Memikirkan wanita itu selalu jadi benalu di hidupnya, membuat Jennie berang. Tak ubahnya bak ancaman kecil yang perlu disingkirkan.

***

Sudah kesekian kalinya si pemilik mata agak sayu itu terpukau dengan megahnya bangunan pencakar langit yang tampak menghiasi pusat Kota Seoul. Aneka ragam kendaraan mewah dan unik, tampak silih berganti dan membuat pria kecil itu tak juga menutup mulutnya.

Kondisi yang sungguh berbeda dengan Jeju. Meski hotel tempat sang ibu bekerja juga megah dan tinggi, tetapi dirinya tidak pernah mendatangi tempat sepikuk ini. Paling hanya pantai dan area sekitar rumahnya yang sering jadi tempat ia menghabiskan waktu.

"Taejung-ah, apa kau suka es krim?" Sungjae, pria yang sedari tadi menggenggam tangan Taejung, menunjuk ke sebuah toko yang terletak di seberang dari posisi mereka berdiri saat ini.


Melihat Taejung bergegas mengangguk, Sungjae ikut tersenyum puas. Memang, hari ini Sungjae-lag yang menawarkan diri untuk menjaga Taejung. Ditambah jadwal kerja Sungjae yang lebih fleksibel, membuat Sungjae bisa memiliki banyak waktu. Contohnya seperti sekarang. Sebenarnya dia tidak benar-benar bebas, melainkan ia juga sudah berjanji dengan salah satu klien. Dan lokasi pertemuan itu di sebuah kafe yang ditunjukkannya pada Taejung.


Sekarang Taejung tak ubahnya bagian dari keluarganya. Sohyun dan Taejung, keduanya sama-sama berharganya di mata Sungjae.

Sungjae dan Taejung akhirnya memasuki kafe dari pintu kedua yang terletak di bagian belakang. Klien yang juga adalah teman lama Sungjae tampak sudah tiba. Melambaikan tangan ke arah Sungjae yang sontak mengajak Taejung untuk segera mendekati meja. Bekerja sambil menjaga Taejung, inilah yang sedang dilakukan Sungjae.


Seperti yang dijanjikan Sungjae, semangkuk banana split yang dipesan, membuat mata Taejung berbinar. Cara itu terbilang ampuh untuk menenangkan Taejung, dan Sungjae bisa dengan tenang membicarakan pekerjaannya.


Setiap sendok yang masuk ke mulut Taejung seakan menggambarkan rasa nikmat yang luar biasa. Sesekali manik Taejung beredar, mengamati sekelilingnya. Kebanyakan diisi orang-orang dewasa yang bergaya. Namun, dari sekian orang yang ada,
ada satu orang yang menarik perhatiannya. Perhatian yang memaksa Taejung untuk segara turun dari kursinya. Masih memegang sendok kecil di tangan kanannya, Taejung bergerak mendekati salah satu meja yang terletak di bagian depan. Sungjae yang begitu asyik membahas materi presentasinya, bahkan tidak menyadari Taejung sudah bergerak menjauhinya.

"Paman Jeon?"

Pria yang disentuh tangan kecil itu memandang ke arah sosok kecil yang tersenyum ke arahnya. Pertemuan ajaib yang kembali membuat dadanya bergemuruh. Rasa senang yang melonjak. Masih pria yang sama menatap tak percaya.

"Taejung-ah ...."

Pada saat bersamaan, Sungjae yang menyadari Taejung menghilang, lantas menyerukan nama pria kecil itu dengan lantang. Ia menemukan Taejung tersenyum pada seseorang.

Mata Sungjae menyipit, memastikan sosok yang tampak terperangah melihat Taejung.

"Dia ... bukankah pria itu?" gumam Sungjae yang meyakinkan bahwa pria bersama Taejung itu pernah muncul di masa lalunya.

***

(to be continued)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro