
Page 22
[Semua luka itu bagaikan terus menghujamku. Hingga aku sendiri tak mengerti lagi. Ini hanya sekedar luka atau memang hanya dalam anganku. Batas mimpi dan nyata tak lagi tegas di hidupku. Dan itu menakutkan.]
- Kim Sohyun -
Bagaimana rasanya ketika hidup membiarkanku terhempas begitu kejam hingga kau sendiri lupa rasa yang sesungguhnya?
Apakah hanya akan menyakiti dan meninggalkan bekas di seluruh tubuh, hati, dan percaya jiwamu tak akan ikut remuk? Hingga untuk berdiri kembali pun, rasanya tenagamu tak cukup banyak untuk bertahan.
Apa kau kadang kau juga mempertanyakan apa yang sebenarnya direncanakan atas hidupmu, meski setiap harinya yang kauinginkan hanyalah sebuah hidup yang sederhana dan penuh senyum?
Cuma itu. Tidak lebih. Namun, apa permintaan itu terbilang berlebihan?
"Selamat. Kehamilan Anda sudah memasuki tiga minggu."
Seharusnya kalimat ini adalah ucapan yang membahagiakan. Terlebih buat kaum hawa. Kesempatan untuk menjadi seorang ibu, bukankah itu cita-cita sederhana seorang wanita? Kendati demikian, tidak demikian yang dirasakan Sohyun saat pertama kali mendapat ucapan selamat dari dokter. Sebaliknya, Sohyun merasa dunianya perlahan runtuh. Menelan dan menghancurkannya sampai ke titik terendah, diikuti jiwanya mulai rusak.
Kejam. Nasib benar-benar mempermainkannya dengan kejam.
Hamil?
Rasanya ini bukan jawaban yang dibutuhkannya setelah dua hari lalu ia baru saja diperkosa. Jangan tanyakan betapa mengerikannya Sohyun berpikir kala itu. Mana mungkin dia bisa tersenyum sesaat tahu fakta kalau dirinya diperkosa pada sedang hamil.
Seandainya masih ada kata yang lebih buruk dari kata mengerikan, mungkin kata itu yang mewakili perasaan Sohyun.
Anak? Bagaimana dia bisa membiarkan adanya janin di tubuhnya sementara traumanya sendiri belum juga usai. Setiap menitnya ia bergumul dengan ketakutannya sendiri. Lantas kini dia dihadapkan pada kenyataan kalau harus menjaga kehidupan lain yang bersemayam di tubuhnya.
Pemilik bola mata hazel itu memerih. Air matanya perlahan berderai. Mungkin dokter berpikir kalau Sohyun bahagia dengan berita kehamilannya. Padahal tidak sama sekali. Sebaliknya. Ini pertama kalinya Sohyun merasa takut hidup sendirian. Setelah ayahnya meninggal, ia selalu meyakinkan dirinya akan baik baik. Namun, tidak hari ini. Saat ini dia butuh ayahnya. Atau seseorang yang bisa membuatnya berpegangan.
Yook Sungjae?
Tidak! Pria itu terlalu baik untuk ikut menanggung beban ini.
Jeon Jungkook?
Apalagi nama itu. Sohyun meringis sadar permainan cintanya hanyalah sebuah kontrak di atas kertas. Keputusan bodoh yang membuat hidupnya berantakan layaknya sekarang. Pada saat kehilangan Jungkook, dirinya malah menanamkan benih cintanya dengan Jungkook.
Tidak ada pilihan lain. Sohyun tidak punya siapa pun. Lagi pula, siapa yang akan percaya dirinya hamil, apalagi setelah tahu dirinya diperkosa. Tidak mungkin ada yang akan menerimanya. Dan tidak juga untuk janin yang dibawanya.
Pergi. Satu-satunya jalan yang dipikirkannya terbaik. Mempertaruhkan takdir padanya begitu saja. Seandainya angin masih bisa membawanya ke tempat hidup yang lebih baik, maka pada saat itu ia akan bertahan. Namun, bila yang ditujunya hanyalah gurun yang kering, mungkin itu akhir segalanya. Ia bakal tersenyum puas. Sejatinya, menghilang selamanya jauh lebih mudah.
Di masa yang akan datang, Sohyun tidak tahu di mana posisinya nanti. Apa pun hasilnya, setidaknya ia sudah mencoba salah satu dari pilihan itu.
***
Sohyun masih menundukkan kepalanya dengan jemari yang teremas. Kakinya terus bergerak naik turun seiring rasa cemasnya yang belum surut. Berapa kali pun ia menggeleng, ia tetap mengingat ekspresi Jungkook ketika melihat Taejung. Bahkan sampai sekarang degup jantungnya masih berantakan setiap mengingat potongan kejadian sore ini.
"Ibu ...."
Sohyun tersentak tatkala sang putra tiba-tiba menghampirinya yang duduk di ruang makan. Padahal ini sudah larut malam. Masih dini hari untuk Taejung terbangun.
"Apa kau mimpi buruk Taejung-ah? Masih terlalu cepat untukmu terbangun, Sayang." Sohyun berjongkok sambil menatap wajah Taejung yang kusut.
"Aku ingin bersama Ibu."
Hatinya perih. Sohyun tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Taejung. Dia mungkin salah dan kejam karena menutup mulutnya pada saat jelas putranya telah bertemu dengan ayah kandungnya. Sayang, kata-kata itu tersekat di ujung mulutnya. Sohyun tidak bisa mengungkapkan hal ini dengan mudah mengingat hubungannya dengan Jungkook.
Terlebih lagi, pria itu sudah menikah. Bagaimana kalau Jungkook sudah memiliki anak sepertinya? Sohyun tidak bisa menggadaikan kebahagiaan sang putra dan menghancurkan impian keluarga lainnya demi keegoisannya.
***
"Dasar, Berengsek! Beraninya kau membuatku malu di depan semua keluargaku!" Kim Jennie langsung mengumpat tepat pada saat Jungkook membuka pintu kamarnya. "Apa kau sengaja mempermalukanku?!" Masih Jennie yang marah dan bercekak pinggang di hadapan Jungkook yang duduk termangu di tepi tempat tidur.
Jungkook bungkam. Tidak melawan atau menggubris. Terus duduk terdiam dengan pandangan yang kosong.
"Jeon Jungkook!" Jennie menaikkan suaranya seoktaf dari sebelumnya.
Pria Jeon itu pada akhirnya mengusap wajahnya dengan pasrah. Ia abai dengan semua gerutuan Jennie. Pikirannya masih dipenuhi tentang Sohyun. Dan tentu saja Taejung, pria kecil yang menyebut wanita Kim itu sebagai ibunya.
Mungkinkah?
Jungkook memiringkan kepalanya. Entahlah. Terlalu banyak tanda tanya di benaknya. Ia sendiri tidak ingin mengakui wanita itu sudah menikah dan memiliki keluarga bahagia dengan seorang anak.
Sementara dia? Dia harus hidup tersiksa bertahun-tahun. Terjebak dalam pernikahan yang bukan keinginannya. Masih ada! Dia juga tersiksa selama pencariannya. Menderita akan rasa rindunya yang tidak terlampiaskan.
"Jeon Jungkook!" Jennie kehabisan batas kesabarannya. Dia memukul lengan sang suami yang benar-benar mengabaikannya.
"Jennie-ya!"
Wajah Jungkook yang lelah menatap Jennie. Kedua pemilik bola mata itu saling menatap lekat. Hitungan detik yang terasa bak berjam-jam.
"Aku masih mencintainya," desis Jungkook.
***
Tepuk tangan berlangsung meriah seiring kedua pasangan yang baru mengucapkan janji pernikahan kini saling merekatkan bibir keduanya di depan para tamu. Raut bahagia dari senyum kedua mempelai terpatri lebar. Sesungguhnya menghadirkan rasa iri yang terselip di benak Sohyun yang cuma bisa melihat keduanya dari kejauhan.
Bukan karena dia tidak bisa mendekat, tapi karena Sohyun menang tidak berani. Tanpa sengaja ia melihat pasangan suami istri Jeon di sana. Tidak aneh lagi melihat Jungkook bersama Jennie. Tunangannya sejak dulu yang kini sudah berubah status jadi istri yang sah. Dan bagi Sohyun, bersembunyi jauh lebih baik.
"Sohyun-ssi?"
Sohyun tersentak. Ia membalikkan tubuhnya dan menemukan Daniel menyapanya. "Aku hanya memastikan semua kegiatan pernikahan berjalan lancar, Tuan Kang," kilah Sohyun sedikit menundukkan.
Sayangnya, raut berbohong itu sempat tertangkap jelas oleh Daniel. Bagaimana mungkin akan berjalan lancar sementara Sohyun sebagai pengambil gambar berdiri cukup jauh dari pasangan berbahagia itu? Daniel segera sadar alasannya tatkala irisnya mengedar, lantas menemukan sosok yang membuatnya ikut terkejut. Jeon Jungkook dan Kim Jennie. Pasti itu alasan Sohyun menghindari kerumunan.
"Kalau begitu berikan saja kamera ini pada Tuan Jung. Sementara kau, ikutlah denganku."
Sohyun mengerjapkan matanya beberapa kali. Daniel mengambil keputusan sepihak dan mengambil kamera yang terkalung di lehernya begitu saja. Kemudian memberikan pada sang asisten yang ikut tergagu—gagal memahami maksud Daniel.
Tanpa canggung, pria Kang itu menggenggam tangan Sohyun sambil mengumbar tersenyum. Kemudian mengajak wanita itu pergi bersamanya. Bukankah itu yang diinginkan Sohyun?
Pada waktu yang bersamaan, Jungkook yang tengah berpaling ke belakang sempat melihat sosok Sohyun yang pergi bersama pria yang dibencinya.
"Kau mau ke mana?!"
Langkah Jungkook tertahan Jennie bertepatan niatnya untuk mengejar kepergian Sohyun.
Jennie mencengkeram lengan Jungkook lebih erat. Sudah cukup kemarin ia dipermalukan. Tidak lagi hari ini. Apalagi demi mencari wanita yang ia tahu siapa itu. Masih wanita yang sama dan pernah membuat pernikahannya tertunda. Kim Sohyun. Cuma nama itu yang terus diingatnya. Satu-satunya wanita yang mampu menggerakkan hati dingin sang suami.
"Kau tidak boleh mengejarnya! Hari ini kau adalah suamiku. Bukan cuma aku! Tapi semua orang di sini juga mengakui kau adalah suamiku. Jangan berpikiran bodoh, Jeon Jungkook." Jennie menyorot tajam.
Menyebalkan! Yang diucapkan Jennie sama sekali tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa dilakukan Jungkook selain menahan rasa dongkolnya. Lantas melanjutkan adegan drama keluarga bersama Jennie meski hatinya terus terusik dengan kepergian sosok yang semakin menjauh darinya.
***
"Huwaaa ...."
Takjub.
Satu kata itu tergambar jelas dari air muka wanita yang tampak mengagumi pemandangan di depannya kini. Dataran tinggi dipenuhi hamparan hijau yang luas dan langsung mengarah ke arah tebing dikelilingi laut yang mengitari pulau Jeju terlihat menyejukkan.
"Kau suka?"
Tidak perlu berpikir panjang, Sohyun mengangguk. Rambut panjangnya terlihat ringan sesaat melayang diterpa angin yang berembus agak kencang.
Daniel ikut tersenyum. Atensi terus mengikuti pergerakan si wanita yang terlihat bebas. Merentangkan tangannya seolah ia siap untuk terbang.
"Tuan Kang."
Sohyun terkesiap. Raut bahagianya berubah drastis. Kini terlihat kikuk sesaat mendapati tangan kekar melingkar di pinggangnya dari arah belakang. Diikuti kepala sang atasan bergelayut di bahunya. Menyisakan jejak parfum yang membaui di indera penciumannya.
"Biarkan aku sebentar seperti ini, Sohyun-ssi."
Sejujurnya, permintaan itu terbilang sederhana. Akan tetapi, degup jantungnya yang berantakan membuat wajah Sohyun merona. Tubuhnya membatu dan isi kepalanya mendadak kosong. Sohyun tidak pernah berpikir bahwa Daniel akan memeluknya seperti ini.
"Aku lelah dan aku ingin me-recharge tenagaku sebentar. Dan bersamamu adalah pengisi daya bateraiku yang paling sempurna." Daniel semakin mengeratkan pelukannya.
Bibir Sohyun kelu. Kenapa hatinya berdebar seperti ini? Padahal hatinya masih kacau karena pertemuan dengan Jungkook. Lantas, bagaiamana caranya menolak kelembutan ini?
***
Kebanyakan tamu tampak bercengkerama. Saling mengakrab diri satu sama lain. Termasuk Taejung yang tak canggung membaur di keramaian yang masih diadakan di Hotel Kang. Layaknya bagian dari tamu, Taejung, pria kecil itu memuaskan penasarannya dengan mendekati meja buffet. Sekadar mencari tahu apa ada menu yang menarik perhatiannya atau tidak.
"Apa ada yang sedang kau lakukan di sini, Taejung-ah?"
Bahu Taejung bergidik diikuti ia memutar pelan badannya.
Sebuah senyum ramah yang menyambutnya membuat Taejung ikut lega. "Paman!" serunya yang ceria bisa bertemu dengan Jungkook.
"Kenapa aku selalu melihatmu berkeliaran tanpa ada yang mengawasimu?" Jungkook merendahkan tubuhnya. Menyamakan tinggi badannya dengan Taejung untuk mempermudah keduanya bicara.
"Aku hanya kebetulan mampir. Hanya itu. Lagi pula, aku sudah bisa menjaga diriku sendiri, Paman." Pria kecil itu sedikit membusungkan dada tipisnya.
"Aigo ...." Jungkook mengusap lembut kepala Taejung.
Aneh. Jungkook merasakan dirinya berubah lebih lembut setelah bertemu dengan Taejung. Mungkinkah karena kepolosan pria kecil itu yang berhasil menarik sisi rapuhnya sebagai seorang pria? Sebagai orang yang lebih dewasa?
Jennie yang berdiri tidak jauh dari keduanya, tidak sengaja menangkap pertemuan Jungkook dengan sosok pria kecil yang belum dikenalnya. Dia tersentuh bisa melihat sang suaminya tak henti-hentinya mengumbar senyum. Sosok dingin ternyata bisa berubah lebih hangat. Bisa bersikap lembut. Walaupun sikap itu selalu ditunjukkan bertolak belakang padanya, tetap saja Jennie terkesan.
"Apa kau sangat menyukai anak kecil, Jeon Jungkook?" lirihnya seturut menyeringai sendu.
Hatinya kian memerih. Sadar kebahagiaan itu tidak bisa diberikan pada Jungkook. Atau pada siapa pun.
Jennie, dia lumpuh sebagai seorang wanita.
***
(To be continued)
Makin kesini, apa masih penasaran? Atau cuma ya biasa aja?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro