Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 14


[Tidak ada yang meminta luka ketika aku masih mengingat garis senyum masih meninggi di wajah. Aku juga tidak meminta hujan untuk menemaniku menangis. Yang kuinginkan hanya lekas bangun dan mendapati kalau semua ini tak lebih dari sebuah mimpi.]

~ Kim Sohyun ~


Jungkook sedari tadi melirik jamnya. Dari cara ia meremas jemarinya, kentara sekali bahwa ia tidak tenang. Terlebih tidak satu pesan atau panggilannya bisa tersambung ke ponsel Sohyun. Perilaku yang seperti ini bukannya tidak lebih meyakinkan kalau dia benar-benar sudah jatuh hati pada wanita yang berpacaran dengannya secara kontrak? Sial! Meski berat untuk mengakui, tetapi Jungkook juga tidak bisa menepis rasa tertariknya pada wanita Kim itu.


Tersisa beberapa bulan sebelum keduanya berpisah. Setelahnya, apa dia benar-benar bisa melepaskan wanita itu? Tanpa sadar Jungkook mulai menggigiti kuku jarinya. Namun, selain gelisah memikirkan waktu yang kian menipis, dadanya berdebar cepat seolah ada hal buruk menimpa Kim Sohyun.


Bunyi bel dari depan pintu sontak memicu langkah Jungkook yang bergegas. Sudut bibirnya sempat membentuk lengkung, sebelum garis senyim itu perlahan memudar tatkala ia menemukan Jennie yang ternyata datang.


Alis Jennie berjungkit. "Kau terlihat kecewa," sindirnya dingin.


Wajah Jungkook sama sekali tidak bisa berbohong. Pasti ia sangat kecewa bertemu dengannya. "Kau sedang menunggu seseorang?" Masih Jennie yang bertanya sembari mengikuti langkah Jungkook dan memasuki rumah.


"Mau apa kau ke sini?" balasa Jungkook usai merebahkan dirinya di salah satu sofa di ruang tamu. Kakinya menyilang dengan kedua tangan yang terentang. Sangat terlihat angkuh.


Jennie bedecak tidak suka. Salah satu sifat buruk Jungkook yang sulit diubah. Tanpa berbasa-basi, Jennie langsung menaruh kasar beberapa lembar foto yang diambilnya dari tasnya.


"Kau pikir aku ke sini karena ingin melihatmu? Hah, kau berharap lebih padaku, Sayang."



Jungkook mengambil salah satu foto yang terletak agak berserakan. Detik berikutnya pelupuk matanya melebar. Foto itu dengan jelas menangkap gambar Sohyun yang selalu mendatangi apartemennya.



"Apa dia kau menunda pernikahan kita? Wanita ini, dia fotografer itu, kan?"


Suara  Jennie masih membungkam mulut Jungkook yang terus memerhatikan foto—satu per satu.



"Kau memata-mataiku?" Jungkook mendongak. Melihat Jennie bersedekap, ia pun mulai berdiri.


Bukan merasa takut, Jennie malah tampak menantang Jungkook yang menyorot tajam padanya.


"Aku bukan orang bodoh, Tuan Jeon! Aku juga bukan wanita yang bakal diam saat tahu alasan tunanganku membatalkan pernikahan ternyata hanya karena seleranya rendah. Yang kumau hanya kepastian tentang pernikahan kita." Jennie mengambil jeda sebelum ia meneruskan, "Sampai kapan permainanmu dan wanita ini berakhir?"


Salah satu foto yang ada di tangannya diremat. Menampilkan senyum asimetrisnya, Jungkook lantas mengusap paras Jennie. "Aku terharu karena kau begitu perhatian padaku." Perlahan Jungkook memajukan badan mendekati telinga Jennie. "Tenanglah, aku tetap menikahimu walau aku tidak mencintaimu," sambung berbisik.

***

Suara gemericik dari shower yang terus dinyalakan di kamar mandinya terus mengguyur tubuh perempuan yang berada tepat di bawahnya. Seturut tangisnya ikut tergerus bersama air yang terus mengalir.


Berapa kali pun ia membersihkan tubuhnya, tetap saja ia merasa kotor. Tidak cuma itu, tapi juga jijik ketika suara dan sentuhan pria tidak dikenalnya masih teringat jelas. Lengannya mulai memerah karena terus tergosok scrub mandi yang biasa dikenakannya. Namun, ia masih belum merasa bersih meski harus terluka.


Sedikit demi sedikit hatinya membeku. Mengingat kejadian itu, rasanya ia ingin mati. Entah berapa lama ia pingsan setelah kejadian naas itu, sesaat ia terbangun, Sohyun baru menyadari bahwa dirinya disekap di sebuah tempat layaknya motel yang terletak di tempat yang jauh dari lokasi pusat kota. Matanya tidak lagi tertutup, pergelangan tangannya berbekas dan agak memar. Ada bekas luka layaknya cakaran di lengan kanannnya.


Tubuhnya terasa sakit. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Kenyataan bahwa semua ini bukan sekadar mimpi, itu bagian terperih. Melihat bajunya tercecer dan cuma ada selimut cokelat yang menutupi dirinya, bagaimana caranya ia harus melewati hari-hari berikutnya? Atau ketika bertemu orang lain?


Semua ini mengerikan. Diperkosa! Tidak sedetik pun dalam hidupnya memikirkan hal keji ini bakal menimpanya.


Sohyun akhirnya kembali dengan langkah yang tertatih. Di setiap derap langkahnya, air matanya terus berderai. Tubuh dan jiwanya tidak lagi utuh.


Dan di sinilah dirinya sekarang. Masih di bawah kucuran air yang terus menyamarkan tangisnya. Sudah ada satu setengah jam dan ia belum bergerak dari tempat yang sama. Kalau bisa Sohyun bahkan tidak ingin aliran air berhenti membersihkan tubuhnya dari jejak yang ingin dilupakannya.



"Aaa ...!"  Sohyun memekik, lalu kembali menangis
seraya menyandarkan tubuhnya ke tembok kamar mandi. Tubuhnya tidak lagi merasa kedinginan. Sebaliknya, dunialah yang sudah bersikap dingin padanya.


Sungguh tidak adil!


Kesalahan apa yang sudah dilakukannya hingga membuatnya mendapatkan perlakuan kejam seperti ini? Tangisnya terus berderai tanpa ada satu pun pegangan yang bisa diandalkannya.


Kisah ini, cukup dirinya yang tahu.

***

Sudah tiga hari tepatnya wanita Kim itu tidak menampakkan diri. Baik di rumah ataupun di kantor. Bukan hanya tidak bisa ditemui, teleponnya juga tidak bisa dihubungi.


Bukan hanya Jungkook yang merasa kehilangan Sohyun. Ada Sungjae, Woohyun, Younim, Seunho, Taewan, dan bahkan Saeron, semuanya tampak bingung ketika Sohyun menghilang. Tanpa pesan, tanpa sesuatu yang bisa membuat jejaknya terlacak.


Jungkook mengepalkan tangannya kemudian memukul meja dengan keras. Ia marah. Merasa bahwa Sohyun mengkhianatinya. Wanita Kim itu  melanggar kesepakatan, begitu pikirnya.


Jungkook enggan mengakui kalau kekesalannya lebih dari sekadar rasa dikhianati. Ketakutan bahwa ia mungkin tidak akan lagi bertemu dengan Sohyun, ia berusaha menyangkal perasaannya sendiri.


Tadinya itu yang jadi pikirannya sebelum asistennya menyela masuk ke ruangan.


"Permisi, Tuan Jeon."


Salah satu alis Jungkook meninggi.


"Aku baru mendapat kabar kalau Nona Kim ingin bertemu dengan Anda malam ini."


Jungkook yang awalnya terduduk dengan sigap langsung berdiri dan mendekati pria yang masih berdiri di hadapannya. "Di mana dia? Apa dia ada di kantor?" tanya Jungkook sambil mencengkram kerah baju sang bawahan.


"Nona Kim tadi menelpon lobby."


Jawaban yang mengecewakan. Jungkook lekas menyuruh bawahannya itu untuk pergi.  Ia berusaha menghubungi nomor yang sama, tapi lagi-lagi, nomor itu tidak pernah lagi aktif sejak tiga hari lalu. Jungkook menggenggam erat ponselnya seturut rasa penasarannya membuncah.


Kenapa kau menghindariku Kim Sohyun?

***

Embusan angin sejuk seolah menyapa wanita yang menengadahkan wajahnya menatap pantai yang terhampar hamparan luas. Sebuah sensasi yang memberikan kenyamanan seiring ingatannya akan sosok ayahnya memenuhi benak. Ya, dulu ayahnya—Jaejoong— sering membawa Sohyun ke pantai. Kenangan yang sangat membahagiakan.


Masih pantai yang sama dengan yang didatangi Sohyun sekarang, tempat ini menyisakan banyak kenangan. Dulu, ia dan ayahnya sering berbagi suka dan duka. Walau sang ibu lebih dulu meninggalkan mereka, tak lantas membuat Sohyun kehilangan kasih sayang dari ibunya. Jaejoong melakukan peran ganda dengan baik. Hal yang sangat disyukuri Sohyun yang memiliki ayah yang hebat seperti Kim Jaejoong.

"Hyun-ah."


Gadis kecil itu berpose seiring bunyi tuts kamera terdengar.


"Aigo, putriku yang cantik," puji Jaejoong melihat gambar tangkapannya.


Gadis kecil itu segara berlari dan memeluk kaki sang ayah. Ayah yang amat disayanginya. Sosok yang selalu berada di sampingnya.


"Kau suka hasilnya?" Jaejoong merendahkan badannya, kemudian menunjukkan hasil foto pada sang putri yang langsung mengangguk.


Bagi Sohyun kecil, tak ada yang tidak ia sukai selama itu hasil jepretan ayanhnya. Ia ingat saat itu ayahnya belum menjadi fotografer terkenal. Kendati demikian, kesederhanaan ayahnya tidak pernah berubah. Bahkan setelah Jaejoong mulai meraih ketenarannya, di mata Sohyun, ia masihlah ayah yang biasa. Sederhana, lembut dan ramah.



Tidak jarang Jaejoong membawa sang putri menemaninya ketika ada pemotretan. Tanpa sadar ialah yang menjadikan putrinya jatuh cinta dalam dunia fotografi.



"Kita ke pantai?" tanya sang ayah suatu hari. Maklum saja, seminggu sebelumnya Jaejoong disibukkan dengan banyak pekerjaan.



Tanpa ragu, Sohyun kecil mengiyakan saran ayahnya.



"Hiduplah dengan bahagia, Hyun, karena hidup ini hanya sekali untuk dinikmati. Tidak peduli seberapa berat masalahmu, ingatlah selalu akan ada jalan lain yang terbuka untukmu. Sebelum kau menemukan pintu itu, jangan pernah berpikir untuk berhenti ataupun menyerah." Kata-kata itu kembali terngiang.


Pesan yang membuatnya kembali terkenang dan menitikkan air mata. Lagi, untuk kesekian kalinya.



"Hidup ini tidak indah, Ayah. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Wanita berambut panjang itu berujar lirih seraya memegang perutnya yang rata.


Ia hanya ingin kembali ke masa dulu. Saat hanya ada dirinya dan sang ayah. Tanpa perlu merasa takut dengan hari esok.

***

(to be continued)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro