[Ayah pernah bilang, "Mustahil sesuatu terjadi bila tidak ada yang memulainya. Sama seperti perasaan, tak akan bertumbuh bila tidak ada yang menanamnya.
- Kim Sohyun -
Kang Daniel, pria berpostur jangkung itu menengadah. Membiarkan hangatnya sinar mentari menyapu wajah putihnya. Nyaman, rasanya. Di sela-sela hidup dan hatinya yang beku, kehangatan seperti ini tetap dirindukan. Secercah sinar untuk harinya yang terkesan suram.
Kang Yena, sebabnya. Satu-satunya adik perempuan Daniel yang menyisakan duka dan setiap hari layaknya hari berkabung untuknya. Bunuh diri, cara yang licik untuk membuatnya terpuruk sedemikian rupa.
Namun, bukan itu yang jadi penyesalan terbesarnya. Ini salahnya juga. Ia dan keluarganya tidak peka. Semuanya begitu sibuk dengan aktivitas masing-masing, hingga tidak menyadari kesepian dan luka yang dialami Yena. Ya, ini juga salahnya.
Menyedihkan.
Sesal yang tidak berguna. Semuanya sudah terlambat. Ia tidak hadir pada saat sang adik membutuhkannya. Tidak ada saat Yena butuh seseorang untuk bersandar.
Semua ini terkuak usai ia menemukan buku diari Yena. Yang lebih membuat Daniel kecewa, fakta bahwa gadis itu bunuh diri karena seorang Jeon Jungkook, menumbuhkan bibit dendam di hatinya. Memang mengecewakan. Adiknya jatuh cinta pada orang yang salah. Akan tetapi, tidak mungkin ia marah pada Yena. Mana mungkin kasih sayangnya berkurang.
Yena, ia berpikir pendek hanya karena seorang pria. Tadinya Daniel ingin melupakan semua ini. Akan tetapi, mengetahui pria Jeon itu bahkan tidak datang saat pemakaman Yena, membuatnya berang. Apa sulit untuk memberi salam terakhir atau penghiburan?
Mungkin saja karena Jungkook belum pernah merasa kehilangan. Sesuatu hal berharga darinya belum pernah terenggut.
Sebentar lagi. Daniel akan memastikan bahwa seorang Jungkook akan merasakan arti kekosongan dan hampa yang dikecapinya selama ini.
"Ah, ada orang rupanya. Maafkan aku."
Daniel menurunkan pandangannya tatkala melihat seorang wanita tiba-tiba menyela. Berada di atap gedung yang juga masih berada di perusahaannya.
Wanita itu sempat berpamitan, seakan ia sadar sudah mengganggu dan bersiap untuk menghilang lagi. Namun, baru dua langkah, wanita itu kembali memutar arahnya.
Daniel sendiri tidak mengerti mau apa wanita itu. Alisnya berjungkit seiring ia menemukan wanita itu berjalan mendekati tembok pembatas gedung.
"Maafkan aku. Hanya sepuluh detik saja. Ya, hanya sebentar. Bolehkah aku di sini?" Wanita itu menunjukkan sepuluh jarinya pada Daniel yang belum mengeluarkan sepatah kata pun.
Bahkan tanpa menunggu Daniel menjawab, wanita itu terlanjur mengangkat kedua tangannya. Membentuk kerucut seolah itu pengeras suara dengan suguhan hamparan gedung pencakar langit di depannya.
"Dasar, Berengsek! Aku harap kau menghilang selamanya! Aku membencimu! Aaa ...." Teriakkan lantang dan singkat, tetapi membuat Daniel yang masih ada di sana tertegun.
Tidak lama, wanita itu tersenyum, lalu mengepalkan tangannya ibarat sedang menyemangati diri sendiri. "Semangat, Hyun!" tandasnya kemudian bersiap pergi.
Untuk beberapa detik, irisnya sempat bertemu dengan Kang Daniel yang masih tercenung karena perangai yang dianggap pelik.
"Terima kasih untuk waktunya." Bukan menjelaskan, wanita itu malah membungkuk dan dan terus berderap pergi.
Suara pintu yang tertutup menyentak kesadaran Daniel hingga membuatnya menoleh ke arah wanita sudah menghilang.
"Siapa dia?" desisnya.
***
"Siap, ya! Hitungan 1, 2, pose! Lagi!" teriak sang fotografer yang tampak bersemangat di pemotretan kali ini.
Terlebih yang diarahkan kali ini bukanlah orang sembarangan. Melainkan wanita cantik bak boneka yang menjadi brand ambasador kenamaan Chan**l.
Bahkan tanpa perlu pengarahan yang signifikan,
wanita itu bahkan sudah mengerti harus berpose seperti apa untuk mendapatkan sudut yang terbaik dari wajah ataupun produk yang dikenakannya. Sangat profesional.
"Lagi!"
Pada suasana di lantai lima terlihat ricuh karena pemotretan, pria berambut kecokelatan yang baru tiba itu pun terlihat terkejut sesaat menemukan wanita yang sempat berada di lantai atas bersamanya lagi-lagi berada di tempat yang sama. Namun, tidak lagi berteriak, wanita yang mengikat rambutnya itu terlihat sibuk dengan kameranya.
"Kau sudah datang, Tuan Kang," sambut salah satu pekerja sambil membungkuk.
"Siapa dia?" tanya Kang Daniel seraya mengalihkan telunjuknya.
Mengamati arah telunjuk sang atasan, pria itu lekas menjawab, "Ah, dia adalah fotografer dari Perusahaan Jeon. Namanya Kim Sohyun."
"Perusahaan Jeon?" desis Daniel, lantas tak berapa lama bibir atasnya menyungging sinis.
Betapa menariknya ia bisa terlibat lebih banyak orang yang memiliki kaitan dengan Perusahaan Jeon. Dimulai dari Kim Jennie, tunangan Jeon Jungkook, dan kini ada lagi wanita menarik yang sempat menyita perhatiannya, Kim Sohyun. Itu, kan, namanya?
"Ok. Done!" teriak Sohyun, lalu ia pun menyeka peluhnya dengan menggunakan ujung kemeja luarnya.
Tidak berapa lama, Sohyun mendekati Kim Saeron, asistennya, yang kali ini ikut andil dalam pemotretan penting ini.
"Bagaimana hasilnya?" tanyanya yang dijawab dengan acungan jempol Saeron.
Sohyun tersenyum lebar. Setidaknya ia merasa kerjanya tidak sia-sia kalau sudah mendapatkan pujian dari Saeron. Senyum polosnya tanpa sadar membuat Daniel yang masih berdiri di lokasi pemotretan masih terus memandanginya. Tanpa sadar ia pun ikut tersenyum ketika melihat wanita itu tersenyum.
"Saeron-ah, aku harus pergi sekarang! Apa bisa kaurapikan semua barang di sini?"
Saeron mengangguk.
"Ah!"
Berjalan dengan ceroboh, tanpa sengaja Sohyun bertubrukan dengan Kim Jennie yang tadinya akan kembali ke ruang ganti. "Maafkan aku." Sohyun lekas membungkuk sebagai permintaan maaf.
Namun, wanita bermata besar itu tetap menyorot tajam seolah kata maaf tidaklah cukup. Terlebih ia benci perilaku fotografer ceroboh sepertinya.
"Kau bahkan tidak bisa menggunakan matamu dengan baik. Bagaimana bisa aku yakin foto yang kauambil juga akan baik?" Jennie berderap usai itu melontarkan sindiran tajam.
Sohyun mendesah sembari mengelus dadanya. Ia yang salah, ialah yang harus bersabar, pikirnya.
Fokusnya dengan cepat teralihkan sesaat merasakan ponselnya sejak tadi terus bergetar. Lagi-lagi ia menemukan nama yang sama yang terus menghubunginya.
Jeon Jungkook!
"Sial!" umpat Sohyun lalu segera bergegas pergi.
***
"Ini apa?" tanya wanita itu polos tatkla Jungkook menyerahkan bungkusan belanjaan dari brand ternama ke hadapannya.
Jungkook tersenyum angkuh mengira wanita seperti Sohyun akan terharu bila dihujani dengan banyaknya pemberian mewah. Mulai dari sepatu, baju hingga perhiasan, Jungkook membelikan semua hadiah berharga fantastis itu untuk m Sohyun.
"Kau benar-benar sudah gila!" Sohyun langsung menolak hadiah pemberian Jungkook dan mendorong semua tas belanjaan itu ke arah pria Jeon itu.
"Apa?!" Jungkook mendelik. Sulit dipercaya zaman sekarang masih ada wanita yang menolak pemberiaan darinya.
Sohyun melipat kedua tangannya di dada. "Aku tidak membutuhkannya. Jadi, tidak perlu repot membelikan semua itu untukku."
Sejujurnya, siapa yang tidak suka hadiah? Ikutkan Sohyun sebagai salah satunya. Akan tetapi, ia berhak menolak sesaat tahu Jungkook-lah yang menjadi si pemberi hadiah. Alasannya sederhana. Sohyun tidak ingin semua pemberian itu menjadi simalakama untuknya.
Bagaimana kalau ternyata hadiah itu nantinya menjadi beban hutang? Atau perangkap lainnya mengingat Jungkook itu sangat licik. Jelas ia tidak bisa menganggap kebaikan pria itu tulus.
"Apa kau lupa kalau dalam perjanjian itu menjadi kekasihku adalah tugas yang harus dipenuhi?"
Sohyun memajukan bibirnya tak senang. Kekasih? Sejak awal sudah jelas ia tidak sudi berpacaran dengannya, tapi pria itu yang jelas-jelas memaksakan kehendaknya.
Sohyun tertegun ketika Jungkook tiba-tiba menarik tengkuk lehernya dan menciumnya. Ciuman yang penuh paksaan.
Berusaha melawan, Sohyun terus menggeliat meski sebelah tangannya ditahan dicekal kuat. Jungkook tidak memberi ampun hingga ia mulai merasa kehabisan napas.
Sesaat tenaga pria itu dirasanya mengendur, Sohyun lekas mendorong tubuh Jungkook dan ia berhasil melepaskan pagutannya.
"Berengsek!" maki Sohyun sembari menyeka bibirnya dengan kasar.
Tidak dengan Jungkook yang menyeringai puas. "Kau tidak menyukainya?"
Pertanyaan aneh lainnya yang membuat darahnya mendidih. "Aku tahu kau menyebalkan. Tapi aku tidak tahu ternyata kau jauh lebih dari kata menyebalkan. Kau pria paling berengsek yang pernah kujumpai, Tuan Jeon,"geram Sohyun dengan matanya yang memerah akibat menahan marahnya.
Namun, Jungkook adalah Jungkook. Kadang ia terkesan tidak tahu malu. "Apa kau sedang memujiku?" katanya lalu menyentuh ujung dagu Sohyun, "ini belum seberapa, Sayang."
Dan untuk kedua kalinya Jungkook menyerang Sohyun. Menarik kasar wanita yang belum memasang pertahan diri. Selanjutnya, pria Jeon itu mendorong Sohyun hingga terbaring ke sofa yang ada di ruang tamunya. Mengangkat dan mencekal pergelangan kurus Sohyun yang menggeliat. Tanpa ampun, Jungkook berusaha menciumi Sohyun terus memalingkan wajahnya untuk menghindar.
"Jangan melawan atau aku bisa melakukan lebih dari ini." Ancaman ini nyata. Jungkook membuat Sohyun tidak berkutik. Ia hanya bisa pasrah, seperti sekarang. Membiarkan bibir tebal itu terus mencumbunya.
***
Sungjae mengikuti langkah Sohyun yang berderap tanpa semangat kala keduanya tidak sengaja bertemu di depan rumah kediaman Yook. Sohyun pun tidak menjawab pertanyaan Sungjae. Langsung membuka pintu rumah, kemudian merebahkan badannya di sofa ruang tamu tanpa sempat membiarkan lampu rumahnya menyala.
"Ya!" hardik Sungjae langsung menyalakan lampu rumah wanita Kim itu.
Tadinya ia—Sungjae—ingin memarahi Sohyun yang terlihat mengabaikannya. Namun, niat itu diurungkan ketika ia sadar Sohyun menekuk lutut dan menyembunyikan wajahnya. Diikuti suara isakan yang makin lama kian terdengar jelas.
Sungjae diam. Alih-alih bertanya, ia memilih duduk di samping Sohyun sambil sesekali mengusap punggung belakang Sohyun dengan harapan ia bisa membaik. Sungguh, bisa dibilang kejadian langka melihat Sohyun menangis.
Ia ingat, kalau tidak salah, terakhir kalinya Sungjae melihat Sohyun menangis tersedu-sedu saat ayahnya, Kim Jaejoong, meninggal. Setelah beberapa minggu, Sohyun sudah kembali ceria. Seberat apa pun masalahnya, biasanya Sohyun akan coba menghadapi dengan senyum.
Akan tetapi, kini siapa dan apa yang sudah membuat wanita Kim itu menangis seperti ini?
"Aku selalu siap mendengarkannya kalau kau butuh teman bicara."
Menoleh ke arah Sungjae, Sohyun langsung bersandar di bahu pria Yoon tersebut. Tangisnya menjadi seturut tubuhnya masih terasa bergetar.
"Oppa!"
Suaranya parau. Terdengar sesegukan tanpa mampu memberikan penjelasan yang jelas pada Sungjae.
Sungjae mendekap lembut. Lalu, mengusap surai panjang itu berkali-kali. "Berhentilah menangis, Hyun. Semuanya pasti akan baik-baik saja."
Sohyun terus menangis. Dalam hati ia bergumam pesimis, Bagaimana semuanya akan baik-baik saja dengan adanya Jeon Jungkook?
Pria itu hadir laksana kesialan. Mimpi buruk. Ingin sekali segera lepas dari pria Jeon sudah menciumnya dengan paksa. Sohyun merasa direndahkan. Ia juga salah menilai Jungkook. Ia sempat mengira pria itu tidak lebih dari pria bergengsi tinggi yang haus kasih sayang, tapi penilaian itu runtuh saat Jungkook memperlakukannya bak wanita murahan.
Jangankan satu tahun, satu hari bagaikan seumur hidup. Bagaimana kalau pria Jeon itu kembali memperlakukan dirinya dengan kasar layaknya hari ini? Sohyun terus menangis. Secepatnya, ia harus menemukan cara untuk lepas dari Jungkook.
***
(to be continued)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro