05. Stupid War
What are we fighting for?
Seems like we do it just for fun.
──────╯˚⋆。˚ ⋆ ˚୨୧˚ ⋆。˚ ⋆˚╰──────
Seonghwa memandangi ponsel di genggamannya yang menampilkan pesan singkat dari Hongjoong. Sekarang ia harus menjawab apa? Mengiyakan? Menolak? Berkata bahwa ia sedang dalam sesi pendekatan dengan Juyeon? Jemari Seonghwa mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak mengerti kenapa masalah hati bisa sangat merepotkan seperti ini.
"Kau ada acara nanti malam?" Juyeon menyandarkan tubuhnya pada ujung meja kerja Seonghwa, menatap lelaki itu dengan senyum manisnya.
"Kenapa?"
"Hanya bertanya."
Seonghwa mematikan layar ponselnya dalam sekejap, "Aku sedikit lelah hari ini, jadi aku akan langsung pulang."
"Mau kuantar?" Juyeon benar-benar pria yang tidak mudah menyerah.
"Tidak, terima kasih." Seonghwa menyunggingkan senyum terbaik yang ia miliki, berusaha meyakinkan Juyeon bahwa ia baik-baik saja. Tapi Seonghwa memang baik-baik saja kan?
Dan Juyeon berlalu setelah mengusak singkat rambut Seonghwa, tanpa ia ketahui bahwa lelaki Park itu baru saja mengiyakan permintaan Hongjoong.
─────╯˚⋆。˚ ⋆ ˚୨୧˚ ⋆。˚ ⋆˚╰─────
Pasta terdengar nikmat untuk menu makan malam, maka Hongjoong berinisiatif membawa Seonghwa ke restoran Italia yang sering ia kunjungi bersama Eden. Sudah lima belas menit Hongjoong menunggu dan Seonghwa belum menampakkan batang hidungnya, membuat lelaki Kim itu sedikit gugup.
Bagaimana jika Seonghwa tidak datang? Tetapi pria itu sudah mengiyakan. Jadi, Hongjoong hanya perlu percaya bahwa semesta memihaknya.
"Hai, Hongjoong."
Semesta memang berpihak padanya.
Seonghwa datang dengan sedikit tergesa-gesa, ia langsung duduk dihadapan Hongjoong sambil merapikan rambutnya yang berantakan. "Maaf aku datang terlambat."
Hongjoong menggeleng. "Bukan masalah, Hwa."
Sesudah keduanya memesan makanan, Hongjoong mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja sambil bertanya. "Bagaimana kabarmu?"
Itu adalah pertanyaan klise dan Hongjoong tidak berharap lebih ketika Seonghwa menjawabnya.
"Aku baik." Gurat wajah Seonghwa sedikit terlihat sendu. "Hanya sedikit kelelahan akhir-akhir ini tetapi selebihnya aku baik-baik saja."
"Apakah karena pekerjaan?"
Seonghwa diam beberapa saat sebelum menjawab. "Ya."
Meja tersebut dilanda keheningan selama beberapa menit sampai seorang pelayan wanita datang untuk mengantarkan pesanan keduanya. Haruskah Hongjoong mengatakan secara langsung tentang maksud dan tujuannya? Apakah pertanyaan tentang ciuman tempo hari terlalu tiba-tiba?
"Hongjoong."
"Ya?" Lelaki itu mendongak dan mendapati Seonghwa tengah menatapnya.
"Aku tahu bahwa makan malam kali ini mempunyai maksud tertentu." Seonghwa menyendok risottonya sebelum kembali berbicara. "Bisakah kau katakan padaku?"
Hongjoong sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak gugup saat membahas tentang ciuman itu, tapi seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Hongjoong benar-benar payah dalam melakukan praktek soal cinta. Ia kembali gugup dan berkeringat ketika hendak berbicara.
"Aku ingin tahu alasan kau menciumku."
Raut wajah Seonghwa berubah tegang sebelum menghembuskan napas pelan. "Aku terbawa suasana saat itu."
"Benarkah?"
Seonghwa mengangguk. "Aku pikir, situasi saat itu sangat mendukung.Berdansa denganmu diiringi musik romantis, jadi aku menciummu begitu saja. Hanya itu, tidak lebih."
Sudah, hanya itu. Jadi, ciuman yang membuat Hongjoong uring-uringan selama berhari-hari serta tak bisa terpejam dimalam hari hanya terjadi karena Seonghwa terbawa suasana. Hongjoong ingin membanting garpu di genggamannya sekarang. Tidak lebih katanya. Apakah Park Seonghwa sangat brengsek sampai ia tidak paham bahwa ciuman itu berdampak sangat luar biasa bagi Hongjoong?
"Kau berbohong." Tukas Hongjoong, ia menaruh garpunya dengan perlahan di atas piring berisi ravioli carbonara miliknya yang masih tersisa banyak. "Aku tahu itu bukan alasan yang sesungguhnya."
"Kenapa kau tidak menerima saja bahwa itu adalah faktanya, Hongjoong? Aku terbawa suasana dan kau terbawa perasaan. Ciuman itu tidak berarti apa-apa, jangan membuat rumit keadaan yang ada."
Hongjoong menganga. "Membuat rumit? Aku hanya bertanya!"
"Dan aku sudah menjawabnya!" Nada bicara Seonghwa sedikit meninggi, membuat pasangan di sebelah mereka menoleh sejenak kemudian kembali berbincang.
Keduanya mengatur napas dan Seonghwa meneguk red wine di dalam gelas, ia kembali menatap Hongjoong yang terlihat marah. Apakah ucapan Seonghwa keterlaluan?
"Jika memang kau terbawa suasana, lalu mengapa kau mengumpat sebelum menciumku?"
Oh, sial. Seonghwa lupa akan hal itu.
"Apakah kau menciumku untuk membuat orang lain kesal? Apakah ada mantan pacarmu di pesta pernikahan itu?"
Seonghwa menggeleng. "Itu bukan apa-apa."
"Berhenti berbohong, Park Seonghwa."
"Lalu kau ingin aku menjawab apa? Bahwa aku menyukaimu?"
Hongjoong terdiam.
"Aku tidak menyukaimu dan aku tidak menciummu untuk membuat orang lain kesal. Aku melakukannya karena aku terbawa suasana." Jelas Seonghwa. "Lagipula aku sudah punya--"
"Pacar?"
Apakah Juyeon layak disebut sebagai pacar?
"Lupakan."
"Tidak, katakan." Hongjoong bersikeras. "Kau sudah punya pacar?"
"Aku tidak berpacaran dengan siapapun, ia hanya seorang teman." Risotto dihadapan Seonghwa tampak memuakkan dalam sekejap, ia tak ingin memakannya lagi.
Hening beberapa detik dan Hongjoong berkata lirih. "Apakah kau menyukainya?"
Tidak. "Aku memilihnya." Jawab Seonghwa.
Lelaki Park itu tidak menjawab pertanyaan Hongjoong yang sebenarnya dan Hongjoong bertanya-tanya kenapa.
"Kenapa kau memilihnya?" Cecar Hongjoong ingin tahu.
"Karena hatiku mengatakan begitu."
Hongjoong mengaduk pastanya dengan tidak minat. "Kau menciumku tetapi kau memilihnya."
Perkataan itu menghantam relung hati Seonghwa. Ia sadar begitu banyak kebohongan yang ia berikan pada Hongjoong untuk menutupi fakta yang ada. Seonghwa kira ia melakukan sesuatu yang benar, tetapi ia hanya berakhir menyakiti pria baik dihadapannya ini.
"Terima kasih untuk makan malam ini, Hongjoong." Lelaki bermarga Park itu bangkit dari duduknya sambil menyunggingkan senyum. "Berhati-hatilah saat menyetir pulang."
Apakah ini akhir dari semuanya? Akhir dari kisah Seonghwa dan Hongjoong yang bahkan belum dimulai sama sekali?
"Aku hanya bisa berharap yang terbaik untukmu." Hongjoong balas tersenyum walau rasanya sakit.
Seonghwa hampir menangis maka ia harus cepat-cepat melangkah pergi, tetapi sebelum itu ia menatap Hongjoong sekali lagi dan berkata. "Jangan berharap lebih padaku, kau tahu aku adalah pribadi yang rumit."
Dan Seonghwa melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan restoran tersebut beserta Hongjoong dan rasa bersalahnya.
─────╯˚⋆。˚ ⋆ ˚୨୧˚ ⋆。˚ ⋆˚╰─────
A/N :
Walaupun chapter ini ribut-ribut, tapi banyak banget hal-hal yang bikin aku happy beberapa hari ini, salah satunya adalah book oneshot vol.2 meraih 3k++ reads 😙
Terima kasih untuk antusiasme kalian, readers 💓
-yeosha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro