Chapter 5
"Terima kasih sudah bersedia mencari tau tanpa bertanya apapun." Ujar Kai. Dia menyeruput vanila latte yang asapnya mengepul.
"Berterima kasihlah pada Hazel, dan minta maaf padaku. Karena hal ini, aku ditumpahi cercaan oleh si murka itu. Dia nekat keluyuran tengah malam ke pesta pengurus perdagangan itu dengan sukarela, tapi dia malah memarahiku dan membuat surat perjanjian bodoh." Gavriel duduk di bawah sofa, menumpukan dagu di lutut.
"Kenapa tugas sebahaya itu kau serahkan pada Hazel?!" Kai hampir meninggikan suaranya. "Kau tau dia gadis yang memiliki temperamen tanpa berpikir panjang. Jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."
Tiba-tiba, secercah kenangan lama melintasi pikiran mereka berdua. Kenangan duka yang mungkin saja masih menggerogoti hati mereka. "Jangan sampai kita mengulangi kesalahan itu." Sambungnya. Kai menyisir rambut dengan jemari, merasa frustasi. Sedangkan Gavriel seperti terkena serangan listrik. Dia diam dengan sorot mata memaku ke satu titik. Memori kenangan mereka terulang kembali di kepala masing-masing seperti layar lebar.
Saat itu mereka masih berumur dua belas tahun. Mereka mencoba melakukan pemberontakan gaya anak-anak dengan membolos sekolah dan bermain ke mall yang jaraknya cukup dekat dengan sekolah mereka. Kai kecil menawarkan diri untuk membeli es krim, sedangkan Gavriel sibuk mengotak atik mainan robot yang berjajaran di rak. Aline, adik kandung Kai yang cantik jelita lebih memilih mengamati ikan-ikan kecil yang sedang menari di dalam aquarium besar yang terletak di tengah-tengah mall.
Beberapa puluh menit berlalu, Kai kembali dan menghampiri Gavriel dengan tiga es krim di tangannya. Rasa vanila milik Aline, melon milik Gavriel dan coklat mint untuk dirinya sendiri. "Ini punyamu," Kai menyerahkan satu ke tangan Gavriel. "Dimana Aline?" Jilatan pertama es krimnya mengotori bibir.
"Di aquarium," Gavriel menunjuk dengan santai arah kanannya tanpa melirik. Dia mencoba mencicipi es krimnya yang mulai meleleh ke ibu jarinya.
Kai menoleh, "Tidak ada orang di sana." Jawabnya setelah mengamati dari jarak jauh. Karena masih jam sekolah, mall terlihat sepi.
Gavriel ikut menoleh. "Kau benar. Kemana perginya Aline?"
Mereka memutuskan untuk berkeliling mencari adik kecil mereka yang dua tahun berada di bawah mereka. Kai menyeru nama Aline dengan sesekali menjilati es krimnya. Di tangan kiri Kai terlihat es krim milik Aline sudah mencair, membasahi corne-nya dan mengotori jari-jari Kai.
Tiba-tiba Gavriel berteriak memanggil Kai. Dengan panik Kai melempar es krimnya dan berlari ke arah Gavriel. Di sana lah terakhir mereka melihat Aline, dengan rambut jingganya yang ikal, di seret masuk ke dalam sebuah mobil oleh dua orang laki-laki yang memakai masker. Mulut Aline dibekap dengan sapu tangan. Dan kedua tangan gadis itu di ikat ke belakang.
Gadis kecil itu terlihat ketakutan. Namun dia tidak dapat bersuara. Sedangkan Kai dan Gavriel mematung sejenak, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lalu Mereka memanggil nama Aline sambil sesekali berteriak meminta tolong. Mobil hitam itu melaju cepat meninggalkan mall. Kai dan Gavriel mencoba mengejar mobil itu, namun sayang, kaki kecil mereka tidak bisa mendahului mobil yang melaju cepat.
Sebulan berlalu, belum ada tanda-tanda bahwa Aline akan di temukan dalam waktu dekat. Orang tua Kai mencari mati-matian gadis kecil mereka. Seluruh petunjuk dan bukti tidak ditemukan sama sekali. Bahkan CCTV mall sudah dihapus lebih dulu sebelum para polisi mengeceknya. Penculik itu sangat handal. Dia telah menyiapkan semuanya dengan baik. Orang tua Gavriel ikut mencari. Namun sebanyak dan selama apa pun mereka mencoba, Aline tidak kembali.
Ibu Kai meninggal dua tahun kemudian karena strok yang di deritanya selama kehilangan Aline. Dan tinggallah seorang ayah yang mabuk-mabukan karena terpuruk atas kehilangan putri dan istrinya.
Setahun kemudian, tuan Radmilo Meshach, ayah Kai, meninggal dunia dan ditemukan mayatnya di kamar, tergeletak bersama puluhan botol anggur di sebelahnya. Dia mengunci dirinya di kamar berhari-hari dan tidak makan dan minum apa pun kecuali alkohol.
Kai yang masih remaja membuatnya harus memikul beban tanggung jawab yang sangat besar. Orang tua nya memiliki aset kekayaan yang amat sangat banyak. Dan dia tidak tau bagaimana mengelola semuanya di saat keadaan rumah yang di tinggalinya sedang kacau. Tanpa adik, tanpa ibu, tanpa ayah dan tanpa sanak keluarga. Dia sendirian.
Lalu keluarga Bezalle mendatangi Kai dan menawarkan diri untuk mengurus dirinya dan harta warisannya. Hubungan kekeluargaan sudah melekat kuat pada mereka jauh sebelum Kai di lahirkan. Bukan saja keterkaitan dengan bisnis, keluarga Bezalle sudah seperti saudara bagi keluarga Meshach. Bebankan pada Kai sedikit lebih ringan sejak kedangan mereka. Dan ketika Kai lulus sarjana di umur 21 tahun, seluruh kekayaan ayahnya dulu, berupa aset dan sebuah perusahaan ritel buah-buah tropis terbesar di dunia, di kembalikan oleh keluarga Gavriel.
Di sinilah mereka sekarang. Mengurus perusahaan keluarga Meshach dengan bergantung satu sama lain. Perusahaan Meshach itu menganut nepotisme. Kai lebih memilih memberikan jabatan-jabatan penting kepada anggota keluarga besar Gavriel karena mereka dapat di percaya dan di andalkan. Keluarga Bezalle juga keluarga yang mengutamakan pendidikan dan moral. Tidak ada yang protes mengenai hal itu karna Kai tidak akan mengambil suatu keputusan jika pada akhirnya akan berdampak buruk bagi perusahaan. Semua karyawan dan konsumen percaya padanya.
"Maaf, tidak seharusnya aku merusak suasana." Kai berujar pelan.
"Kau berhutang tiga maaf padaku." Jawab Gavriel. Dia meraih handphonenya dan mulai mengloading sebuah game. Dia ingin melarikan diri dari perasaan kalut.
"Apa?"
"Pertama karena si tengil Hazel mencercaku, kedua karena mengungkit tentang Aline, lalu karna mama murka padaku dan lebih menyayangimu." Gavriel tersenyum sinis, lalu bangkit untuk menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, mencari posisi nyaman untuk bermain game. "Meskipun aku sudah sangat kebal di banding-bandingkan denganmu." Dia terdengar pasrah dan tidak peduli.
"Kau tidak keberatan?!" Kai bertanya serius sambil ikut duduk di sofa.
"Jadi maksudmu, aku harus merengek-rengek seperti anak manja yang kurang kasih sayang? Menyedihkan." Gavriel tertawa hambar. "Lagi pula yang mama katakan itu benar. Kau lebih dalam segala hal." Kai kaget. Memuji adalah hal yang hampir tidak pernah diucapkan Gavriel.
"Kau bukan sedang membujukku agar membiarkanmu mengungsi disini kan?" Kai curiga. Dan seketika wajah cengengesan Gavriel muncul entah dari mana.
"Kumohon, ya. Mama mengusirku. Biarkan aku tinggal disini sampai kemarahannya mereda." Gavriel mengedipkan matanya agar terlihat imut. Tubuhnya diperosok agar menggapai Kai.
"Tidak. Tidur saja di hotel." Kai bangkit, meraih kembali jasnya di sandaran sofa.
"Tunggu, tunggu. Ini semua kesalahanmu kan? Coba saja kau tetap diam. Mama tidak akan mengamuk seperti tadi. Bahkan mobilku di sita." Peralihan masalah mulai terjadi, dan akhirnya diputuskan bahwa Gavriel akan tidur di rumah Kai. Setidaknya malam ini.
*****
"Aku tidak mau." Tatapan Alec bertumpu pada setiap orang secara bergantian.
Davin bergerak, satu tangan di bahu Alec. "Kami tidak memintamu memilih." Ujarnya. "Atau jika kau sangat ingin memilih, kau boleh pilih wanita yang kau inginkan."
"Kenapa kalian semua menekanku?" Suara Alec melarat. "Aku sangat lelah." Dia menatap ayahnya dengan tatapan gelisah.
Mr. Nath menggeleng, membisu. Cal lah yang menjawab untuknya. "Karena itulah, kami membantumu untuk mengakhiri semua."
Alec tidak senang mendengar ucapan Cal. Dia tertawa rapuh, "Yang kau maksud itu menuntaskan satu dengan cara menciptakan yang kedua?"
Davin mendadak kesal. "Oh, ayolah Alec. Setidaknya masalah kedua tidak akan membahayakan karirmu." Dia meninggikan suaranya.
Mr. Nath bangkit, di bawah kakinya terbentar sehelai karpet hijau tebal yang bundar. Tangannya bertumpu pada sebuah meja diagonal yang memisahkan jarak temu mereka. "Jika dia tidak ingin di bantu, biarkan saja." Mr. Nath berujar pada Davin dan Cal, Lalu beralih pada Alec. "Aku tidak peduli dengan karir keartisanmu. Tapi jika kau masih ingin menjadi anakku, bersihkan namamu." Suara Mr. Nath terdengar lemah. Syal tebal yang bergelayut di lehernya membuat dia terlihat kurang sehat. Wajahnya pucat dan tampak sedikit cekung, dia pasti kehilangan beberapa kilogram berat badan. Dua orang pengawal memapah Mr. Nath untuk kembali ke kamarnya dan meninggalkan mereka di ruang itu.
Beberapa kali Davin mendesah, sejak tadi dia tidak butuh kursi karena yang dilakukannya hanya berjalan mondar-mandir. "Aku benar-benar menyerah padamu." Ujarnya. "Cukup disini hubungan kita, Alec. Aku tidak akan mendatangimu lagi." Davin ingin menyusul Mr. Nath untuk keluar. Namun langkah putus asanya terhenti ketika Alec memanggilnya.
"Baiklah. Akan kulakukan." Alec mendengar kehampaan dalam suaranya. "Siapa gadis yang akan ku nikahi?" Sesungguhnya dia benar-benar tidak ingin tau tentang itu. Alec berusaha bersuara hanya untuk meyakinkan Davin agar berbalik.
"Aku." Sebuah suara yang tidak di harapkan Alec terdengar samar-samar di telinganya. Dia ingin menangkis, menganggap itu hanya suara angin. Tapi tatapan satu-satunya wanita di dalam ruangan itu membuat Alec yakin bahwa suara itu berasal dari Cal.
*****
Cal duduk bersimpuh di sebelah perapian yang ditutupi pintu kaca anti panas. Tirai rambutnya hampir menutupi sebagian tubuhnya yang kecil. Sesekali dia membuka pintu kaca itu untuk menambah bahan bakarnya. Setiap kali tumpukan kayu tersulut, menyemburlah bunga-bunga api jingga yang memancarkan kehangatan. Cal memejamkan mata, membiarkan dirinya terhanyut sesaat dalam sensasi musim panas.
Di luar, hujan turun deras, di sertai angin laut yang menyerupai badai. Tirai jendela sesekali mengembul karna tiupan angin dan memperlihatkan butiran hujan yang mengguyur kaca jendela. Cal memeluk lututnya, melamun. Dia tidak menyangka Mr. Nath langsung memohon tepat setelah Cal mengutarakan pendapatnya. Cal benar-benar terkejut mendapati dirinya di tunjuk untuk menjadi bagian dari rencana yang dia buat. Menjadi calon istri Alec bukan lah tujuan dari idenya. Setelah memberitahukan kepada Davin, Cal pikir manager Alec itu akan menyusulkan seorang wanita yang berhubungan baik dengan mereka. Ternyata Alec tidak punya seorang wanita pun di sekitarnya, bahkan teman wanita sekali pun.
Satu sisi Cal berharap rencana ini akan berjalan dengan baik sehingga ia tidak lagi merasa berhutang banyak hal pada Mr. Nath. Namun di sisi lain, dia menyesali persetujuan yang telah di lakukannya hanya karena melihat lelaki paruh baya itu memohon dengan tulus dan putus asa.
Cal tidak ingin perubahan apa pun dalam hidupnya. Dia tidak pernah sekali pun mengeluh pada hidupnya yang terasa hambar. Dia tidak butuh rasa manis yang pada akhirnya menimbulkan rasa pahit. Tapi Cal tidak bisa berkata bahwa ia puas dengan hidupnya.
Cal tidak pernah bermimpi bisa bertemu Alec. Melihatnya di TV sudah membuat Cal terhibur. Dia juga tidak pernah membayangkan bagaimana struktur rutinitasnya terguncang setelah bertemu lelaki itu. Pendiam dan tidak peduli adalah sifatnya. Namun Cal keluar dari zona nyaman untuk mengurus Alec. Dia berbicara banyak ketika bertemu dengannya. Alec adalah satu-satunya pasien yang membuat Cal ingin berceloteh, juga satu-satunya pasien yang tidak membuat Cal harus menjadi gila untuk menangganinya. Yah, seperti pada umumnya, mengobati orang menyimpang, dokter jiwa juga harus menjadi seperti mereka.
Sejujurnya, Cal memang tidak menjadi gila menanggani kasus Alec, tapi Cal sudah kehilangan akal ketika menyetujui menjadi calon istrinya. Menangani Alec memang tidak serumit Cal mengobati pasiennya yang lain. Tapi karena Alec, dia membuang akal sehat.
Lamunan Cal teralihkan ketika dia menyadari beberapa kali Kiana keluar dari kamarnya menggunakan lampu dari smartphone untuk mengeluhkan listrik padam di saat dia punya tugas sekolah. Cal sedikit terperangah karena ternyata Kiana melumurkan masker di wajahnya. Kegelapan membuat wajahnya menyeramkan.
"Kak, tolong sorotkan lampu ke arahku, ya." Dia duduk di sebelah Cal, dengan alat tulis di pelukannya. Cal mengambil alih smarphone itu, menyoroti buku Kiana. Gadis itu tidur telungkup dengan sebuah bantal sofa yang mengganjal dadanya.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk tertera di handphone Cal. Satu tangan yang lain mengecek pesan tersebut. "Siapa?" Tanya Kiana.
"Tidak ada nama." Jawab Cal, lalu meletakkan kembali benda itu.
"Apa nomor terakhirnya 1897?"
"Bagaimana kau tau?" Tanya Cal, memeriksa kembali handphonenya.
"Coba tebak. Aku bertemu siapa di pelatihan minggu kemarin!" Suara nyaring Kiana melengking. "Dokter Alkaff Eltric, teman kakak." Karena semangat, pensil Kiana menggelinding jauh. "Sebelum memberi materi, MC menjelaskan identitasnya. Dia bekerja di tempat kakak magang dulu. Jadi ketika berfoto dengannya, aku bertanya apa dia mengenal kakak. Dan reaksinya tidak seperti yang aku bayangkan. Tanpa babibu dia langsung meminta nomor dan bertanya tempat praktek kakak!"
"Ooh," ujar Cal.
Kiana memandang, "Apa maksud kakak 'ooh'?" Dia berujar tak percaya. "Aku seratus persen yakin dia suka padamu."
"Dia sudah punya istri."
"Apa?" Kiana terlihat bingung. "Dia single kak. Jelas MC menggodanya karena belum menikah sampai sekarang."
"Kiana," Cal memulai, lalu berhenti karena kalimat berikutnya terasa aneh. "Aku akan menikah bulan depan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro